Sabtu lalu (8/6/), aku melakukan kunjungan ke tempat yang keramat. Aku janjian dengan seorang teman. Kami bertemu tepat pukul 09.30 WIB. Kedatangan tidak disambut ucapan selamat pagi dari penjaga kios-kios buku. Kita langsung menikmati embusan angin, aroma tumpukan kertas, suara burung, dan suara kendaraan.
Sepasang beringin besar menaungi dua kapling berisi ribuan buku. Cahaya matahari menerobos celah-celah bumbungan. Sawang dan beberapa poster lawas menemani atap seng yang banyak ditambal plastik. Alunan lagu-lagu lawas menjadi pengiring suasana di kios-kios buku. Tempat itu mempertemukan buku dari berbagai lintas waktu dan tema.
Orang-orang menyebutnya Gladag. Tempat ini terletak di sebelah utara Keraton Kasunanan Surakarta dan dekat Masjid Agung. Di hadapannya, membentang alun-alun utara, sebelah sisinya berdampingan lapak penjual stiker, gula, rokok, jajanan, dan angkringan.
Di sini, jarang ditemukan buku tersusun rapi di dalam lemari. Pembeli akan menemukan kejutan-kejutan: buku dalam peti, buku dalam karung, buku dalam plastik, dan buku dalam buntalan kain. Judul dan tema buku beragam.
Biasanya, di toko buku umum, kita hanya perlu menyediakan uang lalu mengambil buku yang dimau. Jika tak kunjung menemukan, pertugas akan sigap ikut membantu atau bisa mengetikkan nama judul pada layar komputer yang tersedia. Pembeli sungguh dimuliakan.
Di Gladag, yang terjadi justru sebaliknya. Buku bertempat sembarang, tidak terdaftar. Pembeli akan dibuat capek, cemas, senang, dan banyak berpikir. Aktivitas menjadi lebih kompleks, tidak hanya sekadar jual beli. Pelibatan gerak tubuh sangat terasa. Terjadi proses perburuan, tawar-menawar, hingga pagelaran saling melempar guyon penjual dan pembeli.
Tubuh kerap dibuat capek karena harus mengangkat tumpukan buku, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menyortir satu demi satu, dan sesekali bersin karena debu. Tangan juga menjadi kotor. Capek terasa berkurang ketika bertemu buku-buku langka dan bagus. Rasanya seperti mendapat kemenangan besar.
Peristiwa tidak berhenti di situ. Perasaan cemas menerka-nerka harga sering membayangi buku yang ingin dimiliki. Setelah buku ditemukan dan ingin segera termiliki, terbesit sebuah tanya, dari mana akan mendapatkan uang untuk membayar? Hutang bisa menjadi solusi penyelesaian atau memilih mengambil risiko. Di hadapan harga-harga, kita harus mengambil keputusan berani untuk mempertaruhkan uang makan di hari esok. Buku membuat kita nekat, tak jarang juga menjebak dalam situasi pelik.
Pelesiran buku tidak hanya mengandalkan mata dan tenaga. Buku juga persoalan intuisi. Aku mengenal beberapa orang yang berbakat dalam hal itu. Temanku salah satunya, selain guruku yang berasal dari Mamaju, Sulawesi Barat. Ia melakukan pelesiran kurang dari dua jam, hasilnya mengejutkan. Ia menemukan buku-buku yang menyilaukan mata: Anak-Anak Masa Lalu (2015) gubahan Damhuri Muhammad, Perfume The Story of a Murderer (1985) gubahan Patrick Suskind, The Subtle Knife (1997) gubahan Philip Pullman, Perompak Lanun Mata Keris Membuka Rahasia (1952) gubahan Ahmad, Mutiara (1974) gubahan John Steinbeck, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (1983) gubahan JS Badudu (1983), dan sederet buku lain.
Sementara aku, pemula dalam dunia perbukuan hanya berhasil meminang 2 buku: Dari Presiden ke Presiden (2009) gubahan Benny Rachmadi dan Lost in Bali (2008) gubahan Benny& Mice. Digenapi dengan 3 majalah Basis. Di penghujung waktu muncul kejutan, aku dihadiahi novel Perfume The Story of a Murderer gubahan Patrick Suskind (1985) oleh temanku itu. Senang rasanya.
Sepanjang kunjungan, ada dua potongan realitas yang terekam lama dalam pikiran. Pertama adalah kakek penjual buku yang sedang membaca. Kedua, melihat lapak yang sudah ditinggalkan.
Terlihat seorang kakek berumur sekitar 65 tahun duduk di depan dagangannya sambil memangku sebuah buku. Dibaliknya halaman demi halaman dengan amat khusyuk. Matanya tidak lagi muda sehinga perlu ditopang dengan kacamata. Ia tampak tak mempedulikan sekitar, asyik menikmati buku bacaannya. Di sisinya, buku-buku banyak terlipat dan lusuh, warna kertas terlihat mulai menguning dan di beberapa sisi terkoyak rayap. Hari sepi pengunjung. Pembeli dan penjual seperti mendekati batas pesimis.
Tak jauh dari potret itu beberapa lapak sudah mulai tergulung waktu. Lemari-lemari yang dulu pernah dipenuhi buku kini dihuni oleh debu. Kursi dan meja telantar. Keadaan memprihatinkan. Lapak itu seolah bercerita dalam kemurungannya. Dahulu, kejayaan intelektual hadir di sini. Pernah begitu banyak mata dan tangan yang tergoda menjamah buku yang bertumpuk. Mereka rela berebut dan berdiam berlama-lama.
Apakah buku akan tetap dianggap penting di hadapan era digitalisasi? Dugaanku: ya. Ageng Indra dalam epilog buku berjudul Kenapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun? (2023) menginformasikan: “Membaca buku adalah bentuk lain percakapan, baik berbentuk cetak, e-book, atau audio buku. Namun, dalam mewariskan imajinasi, buku lebih efektif.” Buku mengajak berpengetahuan dengan pelibatan tubuh. Peristiwa membaca buku cetak melahirkan banyak gerak yang lebih melekat dalam ingatan.