Sedang Membaca
Anak-Anak dan Doa
Yulita Putri
Penulis Kolom

Begiat di Bilik Literasi, Kamar Kata Karanganyar dan Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS).

Anak-Anak dan Doa

Suasana anak-anak di mushola, mengaji dan berdoa.

Sepak bola mengingatkan kita pada kemenangan, lalu doa. Tiga hari lalu, seluruh penonton menjadi pendoa. Di tribun dan sosial media, terlihat  orang-orang menengadahkan kedua tangan, lalu memegang tasbih, lalu mengucapkan basmallah dengan akhiran kata amiin.

Kita tidak menjumpai orang dewasa berdoa dengan bait sebuah puisi, kutipan dalam novel atau kutipan dialog dalam film. Padahal, sepanjang menonton pertandingan sepak bola, kita bisa saja melafalkan penggalan kalimat dalam film Dune (2021): “Saya tidak perlu takut. Ketakukan adalah pembunuh pikiran. Ketakutan adalah kematian kecil yang membawa kelenyapan.” Lalu, dilanjutkan dengan kalimat yang kita peras dari rasa berharap, bangga, senang dan takut.

Selepas pesta kemenangan, kita teringat lirik sebuah dendang berjudul Lagunya Begini, Nadanya Begitu (2019) gubahan Jaon Ranti yang menyebut kata doa: “Barangkali hidup adalah doa yang panjang/ Tapi oh sayang doanya mesti seragam.” Lirik menggelisahkan hati kita untuk sekedar bertanya, kenapa cara berdoa kita selalu sama? Apakah Tuhan, tidak memperbolehkan bedoa dengan cara yang bervariasi? Apakah doa harus dilakukan dengan cara pengulangan dari zaman ke zaman?

Buku Keutamaan Doa dan Dzikir untuk Hidup Bahagia Sejahtera (2006) gubahan M. Khalilurrahman Al Mahfani mengisahkan tata cara berdoa agar didengar dan dikabulkan Allah: “..dilakukan pada waktu yang mulia, dilakukan dalam keadaan yang khidmat seperti pada waktu sujud atau setelah sholat wajib, menghadap kiblat,  dengan ber-tawassul,  dalam keadaan suci, memakai pakaian yang bersih dan seterusnya….”. Waktu dan gerak tubuh dalam berdoa, telah ditentukan.

Baca juga:  Abu Janda dan Kadrunisasi

Dalam buku Doa Al-Ma’tsurat dan Doa Sehari-Hari (2014) kalimat doa juga sudah tersajikan lengkap. Sederet aktivitas sudah terdaftar: Doa ketika pagi dan sore, doa keluar rumah, doa masuk rumah, doa menjelang tidur, doa bangun tidur, doa makan, dan sederet aktivitas lain. Kita hanya perlu membeli buku, menghafalnya, lalu sesekali melihat artinya jika sempat. Kita tidak perlu bertarung dalam kegetiran, keringat dan air mata untuk memperoleh kalimat doa. Hidup orang dewasa berputar dalam repetitif doa.

Lalu, kita lekas mengajarkan cara berdoa kepada anak-anak. Proses mewarisi dilakukan sejak di rumah, sekolah dan TPA.  Orang dewasa khawatir, anak-anak akan salah tata cara berdoa pada Tuhannya. Pemilihan kata, pemilihan gerak, pemilihan waktu segara diikatkan pada anak menurut standar orang dewasa.

Doa kerap disandingkan dengan kata perintah, ancaman dan ganjaran. Anak tidak belajar ketulusan, kesungguhan dalam doanya. Mereka lekas didorong untuk sampai pada lafaz doa sebelum memaknai arti kata “doa”. Perintah yang lekas diberikan pada anak untuk menghafalkan doa-doa berpotensi menjauhkannya dari rasa khidmat.

Dalam novel kasik Anne of Avonlea (1908) gubahan Lucy M. Montgomery dikisahkan seorang anak bernama Davy, protes kepada Anne sebab Marilla, ibu angkatnya, selalu memerintahkan untuk berdoa dengan banyak gertakan:  “Selasa lalu, dia bilang sesuatu yang buruk akan terjadi padaku kalau aku nggak berdoa. Aku udah nggak berdoa seminggu ini, pengin tahu saja apa yang terjadi… tapi nggak terjadi apa-apa,” kata Davy kesal. Perintah doa kerap melahirkan kekesalan bukan keimanan pada anak.

Baca juga:  Pemuda Ideal Menurut Syair As-Shafadhi

Buku Pangeran Kecil (1981) gubahan Antoine De Saint-Exupery mengisahkan kegagalan orang dewasa memahami dunia anak sejak dalam tindakan, pikiran, perasaan lalu merambat menuju keimanan: “Orang dewasa tak pernah mampu mengerti sendiri dan sungguh sangat menjemukan bagi anak-anak untuk selalu dan selalu memberi penjelasan”.

Sepertinya, kita tidak perlu terburu-buru mendorong anak untuk lekas  seragam dalam berdoa. Ia punya imajinasi dan kadar keikhlasan yang berbeda dari orang dewasa. Mungkin, ia akan berdoa dengan terbata-bata dalam merangkai kata juga dalam gerak yang kacau, tapi itulah cara berdoa yang sesungguhnya bagi anak-anak.

Novel Anne Of Green Gables (1908) gubahan Lucy M. Montfomery merekam sosok anak bernama Anne Sirley yang meraih doa dengan imajinasinya. Ia berlutut di dekat lulut Ibu asuhnya dan menatap ke atas dengan wajah penuh keharuan: “Jika aku benar-benar ingin berdoa, aku akan mengatakan kepadamu apa yang akan kulakukan. Aku akan pergi ke sebuah padang rumput yang sangat luas, hanya seorang diri, atau masuk jauh ke dalam hutan, kemudian aku akan menatap ke atas- jauh ke atas- terus ke atas- ke arah langit biru yang indah, yang warna birunya bagaikan tidak berbatas. Kamudian, aku hanya akan merasakan-bahkan tak perlu mengucapkan-doaku dalam hati..” Pertemuan bahasa antara gadis cilik itu dan Tuhannya, terjadi dalam gerak tubuh dan mata yang berinteraksi dengan alam.

Baca juga:  Jenazah Ditolak, Tokoh Agama Tidak Bertindak

Kita tidak bisa berharap beragam variasi dari aktivitas berdoa orang dewasa. Gerak tubuh dan bahasa sudah ditentukan dengan ajeg. Barangkali, kita boleh percaya pada anak-anak untuk menemukan cara berdoa dalam keterbatasan kata, keaktifan gerak dan peristiwa dalam permainannya.

Berdoa, yang lekat dengan ikhlas dan ketulusan lebih mudah diraih oleh anak-anak dengan cara mereka ketimbang cara orang dewasa. Anak memiliki stok ikhlas berlimpah, seperti yang digambarkan dalam puisi Joko Pinurbo  Hujan Khong Guan (2019): Sesungguhnya/ ia hanya takut/ menjadi dewasa/ sebab ketika dewasa/ ia akan menafsirkan hujan/ sebagai berkah/ atau bencana,/ padahal ia ingin/ hujan tetaplah hujan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top