Kita seringkali mendengar ceramah tokoh agama baik laki-laki maupun perempuan yang mengatakan bahwa pasangan suami istri harus menutupi aib satu sama lain. Pandangan ini merujuk pada firman Allah Q.S al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi: “(Para istri) mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
Ayat tersebut secara literal sudah menunjukkan perspektif kesetaraan. Namun, jika kekerasan terjadi dalam relasi suami-istri, apa itu juga termasuk aib pasangan yang harus ditutupi?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu tahu konteks aib dan kekerasan itu sendiri. Senyatanya, konsep aib dan kekerasan itu berbeda.
Menurut KBBI, aib diartikan sebagai cela atau noda yang dapat menimbulkan perasaan malu. Misalnya, pasangan kita memiliki karakter yang ceroboh. Kita sebagai pasangan yang menerima apa adanya, harus menutupi aib pasangan kita tersebut.
Meskipun aib berarti sifat negatif, bukan berarti 1 aib menandakan keburukan seluruhnya. Ada banyak kelebihan yang dimiliki pasangan kita, misalnya walaupun ia ceroboh tapi bertanggung jawab atas kekeliruan yang dibuatnya.
Menutupi aib ini bertujuan agar pasangan kita tetap percaya diri dalam lingkungan sosialnya, sembari ia berusaha untuk berproses ke arah yang lebih baik dengan dukungan tanpa makian.
Sedangkan kekerasan menurut KBBI bermakna perihal yang bersifat keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga diartikan suatu paksaan.
Secara terminologi, penggunaan kata aib dan kekerasan terlihat berbeda. Jika orang-orang menganggap tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah aib yang harus ditutupi, artinya masyarakat tersebut masih menormalisasi budaya kekerasan.
Aib itu suatu hal yang akan membuat orang malu, oleh karenanya ditutupi agar orang tersebut merasa nyaman. Sebaliknya, kasus kekerasan harus diungkap agar korban mendapat ruang aman, alih-alih disembunyikan yang berpotensi terjadi kekerasan berulang-ulang.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini sudah diatur oleh negara sejak masa pemerintahan presiden ke-5, Megawati Soekarno Putri. Hukum yang mengatur KDRT tertuang dalam UU No.23 Tahun 2004 yang memiliki 56 Pasal.
Adapun pasal yang menerangkan tentang hukuman bagi pelaku KDRT dibahas di Pasal 44 sampai Pasal 53. Pasal 44 ayat 1 menjelaskan hukuman bagi pelaku KDRT maksimal 5 tahun penjara, atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).
Aturan hukum yang telah disebutkan di atas, sangat jelas mengatakan bahwa KDRT adalah tindakan kriminal! Bukan aib yang harus ditutupi pasangan!
Sayangya, banyak orang yang masih tabu menyingkap kasus KDRT. Selain itu, perkara ini juga sama halnya dengan kasus pemerkosaan dalam rumah tangga. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa ketika sudah berada dalam bahtera rumah tangga, maka kedua insan yang telah disatukan atas nama Tuhan harus hidup rukun tanpa pertikaian.
Apalagi seorang istri dituntut untuk patuh kepada suami. Banyak tokoh agama yang berdalih bahwa ridho Allah tergantung ridho orang tua, ketika sudah menikah maka tergantung ridho suami. Pemahaman ini sangat keliru karena kita sebagai manusia mutlak hanya boleh menyembah pada Allah semata.
Ditambah lagi, pandangan masyarakat terhadap pasangan suami selalu diromantisasi. Ketika suami berperilaku keras terhadap istrinya dianggap sebagai bentuk kepedulian. Ketika istri ridho atas perlakuan suaminya, sekalipun kekerasan, ia akan mendapat gelar istri shalihah.
Pandangan tersebut sangat menyesatkan. berdasarkan hasil catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2020, dari 8.234 jumlah kasus yang ditangani, kasus yang paling menonjol adalah KDRT sebanyak 79% atau 6.480 kasus, dan kasus KTI (Kekerasan Terhadap Istri) menempati peringkat pertama, yakni sebanyak 50% atau 3.221 kasus.
Angka-angka tersebut sangat bisa mengalami kenaikan setiap tahunnya, apalagi dihadapkan dengan berbagai faktor lainnya, seperti pandemi, keluarga, atau bahkan ekonomi.
Meskipun telah disatukan dalam ikatan suci pernikahan, suami dan istri tetap menjadi individu yang utuh, atau istilah yang sering digaungkan ibu nyai Dr. Nur Rofiah (founder Ngaji Keadilan Gender Islam) adalah subjek penuh kehidupan.
Pemikiran ibu nyai Dr. Nur Rofiah ini sangat menguatkan dan mencerahkan, khususnya bagi perempuan yang acap kali menjadi korban kekerasan. Ketika perempuan menyadari sepenuhnya atas dirinya sebagai manusia yang utuh, ia akan mampu berjuang mempertahankan hidupnya, bukan pasangan atau hubungannya.
Banyak perempuan korban KDRT yang bertahan sampai berdarah-darah dengan pasangan atau hubungan yang beracun (toxic), karena ia masih bergantung baik secara finansial ataupun mental. Padahal, berada pada situasi tersebut justru akan memperburuk diri kita sendiri.
Kalau kita enggan untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan karena takut membuka aib, sama saja dengan kita melukai diri kita sendiri. Tidak ada toleransi untuk tindakan kekerasan, sekalipun yang terjadi pada relasi pasutri.
Jika terjadi ketidakadilan, ketimpangan, atau kekerasan, maka suami atau istri berhak menuntut keadilan, kesetaraan dan keamanan untuk dirinya. Sebagai pasangan yang baik, kita harus selalu ingat tujuan pernikahan yakni menciptakan keluarga yang sakinah (tenteram dan bahagia), mawaddah, wa rahmah (berlandaskan cinta dan kasih sayang).
Jadi, kalau kamu atau orang-orang di sekitarmu mengalami kekerasan dari pasangannya, jangan anggap itu aib yang harus ditutupi. Kalau kita berhenti bersuara, sampai kapan ruang aman bagi perempuan hanya sebatas asa?