Akhir bulan Oktober lalu, kabar gembira datang dari She Builds Peace, akun sosial media yang bergerak untuk menyuarakan isu perdamaian dan kesetaraan. Talkshow perdana yang tayang di YouTube sangat menginsipirasi dan memberikan kekuatan bagi perempuan untuk bisa menjadi berdaya. Adalah Ibu Rohimah, ketua Sekolah Perempuan Pondok Bambu yang hadir untuk menceritakan segudang pengalamannya.
Dengan dipandu oleh Ibu Ruby Kholifah, selaku tuan rumah talkshow di akun YouTube She Builds Peace, Ibu Rohimah berbagi kisah dan perjalanannya selama menjadi pemimpin di komunitasnya, Sekolah Perempuan Perdamaian Pondok Bambu – Jakarta.
Seringkali kebanyakan orang memahami bahwa kerja-kerja perdamaian hanya bergerak pada saat terjadi peperangan saja. Padahal, konflik yang dihadapi masyarakat tidak hanya soal peperangan, tetapi juga perihal keberagaman serta ketimpangan sosial yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kelas sosial, suku, budaya, agama, kepercayaan maupun gender.
Bahkan di daerah perkotaan yang sering dianggap lebih maju atau modern sekalipun, berbagai macam konflik sosial masih tetap dihadapi masyarakat. Misalnya, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Peristiwa ini pernah dihadapi oleh Ibu Rohimah beserta anggota komunitasnya.
Ketika ada kasus KTD di daerahnya yang menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat, Ibu Rohimah justru mengatasinya dengan membawa korban ke Rumah Aman, tempat dimana korban bisa merasa tenang, nyaman dan aman.
Kemudian, Ibu Rohimah dan perempuan-perempuan lainnya yang tergabung dalam komunitas Sekolah Perempuan Perdamaian Pondok Bambu, mengajak orang tua korban untuk berdialog agar menghadapi peristiwa tersebut secara damai. Tak hanya itu, Ibu Rohimah juga mengajak para tetangga dan orang-orang sekitar untuk peduli dan berempati kepada korban.
Dengan cara dan pendekatan yang dilakukan Ibu Rohimah dan komunitasnya, justru terbukti lebih efektif dan solutif untuk mengatasi konflik di masyarakat daripada dengan amarah dan ujaran kebencian. Penting sekali besikap dan menunjukkan kepeduliaan kepada korban, alih-alih menghakimi dan mencaci makinya.
Contoh peristiwa yang digambarkan diatas, baru satu dari ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dan, Ibu Rohimah bukan hanya menjadi penggerak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi ia juga pernah menjadi penyintas pernikahan anak dibawah usia 18 tahun.
Dari pengalaman buruknya sebagai penyintas, Ibu Rohimah termotivasi untuk berusaha memutus mata rantai perkawinan anak di lingkungan terdekat dan sekitarnya. Perjalanan Ibu Rohimah sampai menjadi perempuan yang kuat, mandiri dan berdaya dimulai sejak ia bergabung di Sekolah Perempuan Perdamaian yang diinisiasi oleh AMAN Indonesia pada tahun 2007.
Selama proses pembelajaran berlangsung dan berbagai materi disampaikan, pola pikir dan pengetahuan para perempuan di Sekolah Perempuan berubah, sehingga memberikan dampak baik bagi lingkungan sekitarnya.
Karakter masyarakat di Pondok Bambu menjadi lebih terbuka dan peduli terhadap sesama. Para perempuan diajarkan untuk berani berbicara di depan publik, saling membantu dan menguatkan dalam menyelesaikan konflik.
Dari titik balik ini, kepercayaan diri para perempuan terbentuk untuk kemudian mengambil peran menjadi pemimpin dan suara perempuan mulai terdengar nyaring di masyarakat. Sehingga, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat dipertimbangkan.
Banyak kontribusi yang telah dilakukan Ibu Rohimah dan para ibu lainnya di Sekolah Perempuan Pondok Bambu. Beberapa diantaranya, berkegiatan aktif di Posyandu, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Jumantik (Juru Pemantau Jentik) dan berbagai kegiatan sosial lainnya setingkat RT, RW bahkan kelurahan. Terlebih, saat wabah pandemi terjadi.
Ibu Rohimah dan para ibu lainnya berinisiatif untuk membantu warga yang terdampak Pandemi Covid-19. Mereka bergerak dari satu rumah ke rumah lainnya untuk menggalang dana. Meskipun keadaan ekonomi masyarakat sekitar tidak lebih, tapi semangat gotong royong dan solidaritas warga sangat tinggi. Jika bukan tetangga yang membantu, lantas siapa lagi?
Ibu Rohimah dan para ibu lainnya juga mendistribusikan bantuan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan. Semua kerja baik dilakukan secara sukarela atas dasar kemanusiaan dan kepeduliaan kepada sesama tanpa memandang perbedaan suku dan agama.
Tidak hanya bergerak di komunitas saja, Ibu Rohimah juga menerapkan kesetaraan di rumah dengan keluarganya. Beliau berhasil menyekolahkan kedua putrinya hingga lulus di perguruan tinggi, yang artinya beliau tidak melanggengkan tradisi kawin anak.
Sebagai orang tua, pencapaian terbesar untuk anak adalah membekali dengan ilmu pengetahuan dan mendukung hingga sekolah setinggi-tingginya. Pendidikan adalah prioritas, termasuk untuk perempuan.
Keberhasilan Ibu Rohimah tidak hanya dapat mengantarkan kedua putrinya hingga menjadi sarjana, tetapi juga menjadikan suaminya sosok laki-laki yang baru. Bapak Sirto, suami Ibu Rohimah, menjadi contoh bagi masyarakat sekitar bahwa laki-laki juga harus berperan di ranah domestik.
Ia sebagai laki-laki tidak enggan untuk mencuci baju, memasak di dapur atau membuat kopi sendiri. Berkat pengaruh dari Ibu Rohimah, Bapak Sirto menjadi sosok laki-laki baru, yang paham tentang relasi setara antara laki-laki dan perempuan.
Belajar dari tokoh Ibu Rohimah, membuktikan bahwa memberikan edukasi kepada perempuan berarti mendidik sebuah keluarga, komunitas, bahkan sebuah bangsa. Maka dari itu, pendidikan bagi perempuan sangatlah penting. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebaikan orang-orang disekitarnya.