Ibnu Qudamah secara khusus menulis sebuah kitab dengan tajuk at-Tawwabin yang berarti para-para pentaubat, karena memang seluruh isi kitabnya itu berisi tentang kisah dan hikmah pertaubatan para nabi, sahabat, tabi’in, hingga orang-orang shaleh sepanjang sejarah Islam yang beliau ketahui.
Diantara kisah yang beliau kutip dan benar-benar mengandung hikmah besar adalah hikayat seorang pemuda yang bertaubat di bawah tangan sufi besar Ibrahim bin Adham.
Begitu masyhur nama Ibrahim bin Adham kala itu, sehingga siapa saja tidak segan datang seraya meminta nasehat kepadanya. Semua kata yang keluar dari mulutnya bagai mutiara yang mampu menghipnotis semua pendengarnya. Ilmu yang telah mewujud dalam perilakunya menjadi sumber pancaran hikmah-hikmah itu.
Syahdan, seorang pemuda yang penuh dosa terketuk lubuk hatinya untuk datang menemui Syekh Ibrahim bin Adham. Pemuda paruh baya itu, mengeluh seraya mengadukan semua yang sedang dialaminya. Dia jujur selama ini dirinya sangat banyak melakukan dosa. Dan saat ini dirinya telah merasa lelah dengan maksiat yang selalu ia lakukan. Ia ingin taubat dan mengubah hidupnya menjadi orang yang lebih baik.
“Wahai Syekh, aku adalah seorang pendosa, berilah aku nasehat untuk mengingatkanku serta membuatku jera dari dosa yang selama ini aku lakukan”. Pinta si pemuda itu kepada Ibrahim bin Adham.
Ibrahim bin Adham lalu menjawab: “Wahai pemuda, jika engkau sanggup melakukan lima perkara kamu bebas melakukan maksiat sesukamu”.
Sungguh menggiurkan bukan, si pemuda itupun sangat tertarik hingga bertanya kepada Ibrahim bin Adham. “Apa saja lima perkara itu wahai Syekh?” Tanya dirinya.
Ibrahim bin Adham berkata: “Pertama, jika kau ingin bermaksiat, carilah makanan selain milik Tuhanmu” “Wahai Syekh, bukankah semua makanan hanya milik Allah dan tidak satupun yang memiliki makanan kecuali hanya Dia?” tanya pemuda itu dengan keheranan.
“Hei pemuda, jika demikian pantaskah bagimu memakan rizki Tuhanmu tetapi kamu bermaksiat kepada-Nya?” timpal syekh Ibrahim bin Adham. “Tentu tidak wahai syekh” jawab pemuda itu seraya meminta syarat yang kedua.
Syekh Ibrahim bin Adham melanjutkan “Kedua, jika kau ingin bermaksiat maka carilah tempat tinggal yang bukan milik Tuhanmu” dengan nada sedikit keras pemuda itu berkata “Wahai syekh, semua isi di dalam dunia ini milik Allah!. Bagaimana aku menemukan tempat tinggal yang bukan milik Tuhanku?” “Kalau begitu, pantaskah kau yang makan makanan dan menempati tanah Tuhanmu lalu kamu bermaksiat kepada-Nya?” jawab Ibrahim bin Adham. “Tidak pantas wahai Syekh” jawab si pemuda itu.
“ketiga, jika engkau ingin bermaksiat carilah satu tempat dimana Tuhan tidak akan melihatmu melakukan maksiat?”. Pemuda itu menjawab, “Wahai Syekh, mana mungkin Allah tidak tahu, bukankah Allah maha mengetahui?”. “Jika demikian, pantaskah kamu yang makan makanan-Nya, kamu yang menempati tanah-Nya dan melihat semua aktivitasmu, lalu kamu bermaksiat kepada-Nya?” sambung Syekh Ibrahim bin Adham.
“Yang keempat, nanti kalau malaikat maut telah datang, katakan padanya wahai malaikat, tolong tundalah sebentar saja ajalku agar aku bisa bertaubat dan melakukan amal saleh”. “Tidak wahai Syekh, malaikat tidak bisa ditawar-tawar, dia pasti akan menolakku” jawab pemuda itu. “Jika demikian, bagaimana kamu akan selamat, ajal bisa datang dengan tiba-tiba tanpa kamu sadari” lanjut Syekh Ibrahim bin Adham.
“Yang terakhir kelima, kelak jika kau telah berada di depan neraka hendak diseret ke dalamnya, katakan kepada malaikat Zabaniyyah wahai malaikat, jangan masukkan aku ke dalam neraka, aku takut neraka” pemuda itu berkata, “Wahai Syekh, mana mungkin malaikat akan menolong dan mengasihaniku, dia pasti akan memasukkanku ke dalam neraka”. “Lalu bagaimana kamu akan bisa selamat dari neraka wahai pemuda” tanya Syekh Ibrahim bin Adham. Pemuda itu menjawab “Cukup wahai Syekh, sekarang saatnya aku bertaubat. Tidak ada alasan bagiku untuk melakukan maksiat lagi.”
Di akhir cerita, Ibnu Qudamah mengatakan bahwa pemuda itu akhirnya benar-benar bertaubat dan mengubah gaya hidupnya dengan selalu beribadah hingga maut menjemputnya. ( at-Tawwabin hal. 168)