Banyak orang mengira bahwa Syiir Tanpo Waton merupakan karangan KH. Abdurahman Wahid, padahal sebenarnya karya tersebut merupakan gubahan tokoh agama Islam asal Sidoarjo, KH. Mohammad Nizam As-Shofa. Banyak yang kurang tahu tentang hal tersebut. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menggali lebih dalam tentang pengarang Syiir Tanpo Waton yang fenomal itu.
Penulis mendapati ternyata beliau sosok yang mirip dengan Gus Dur. Dibuktikan dengan berbagai konsep dakwah dengan corak ulama’ Nusantara. Mulai dari karya sastra Jawa yang berisi nilai-nilai keislaman (Syiir Tanpo Waton), musik religi (Padhang Roso), kajian rutin (Reboan Agung), hingga diskusi antar agama dalam tajuk Indonesia Merayakan Perbedaan. Ada warisan plurarisme Gus Dur yang menelur pada diri Gus Nizam.
Sehingga hal itu menarik penulis untuk melakukan penelitian tentang beliau. Dengan proses library research (studi kepustakaan) tulisan ini mencoba untuk memunculkan data-data tentang beliau. Selain itu, jika dibutuhkan untuk penggalian data yang lebih, maka wawancara kepada pihak-pihak yang bersangkutan juga dilakukan.
Kata kunci : KH. Mohammad Nizam As-Shofa, Syiir Tanpo Waton, Keislaman
- Latar Belakang
Tasawuf mulai marak di kalangan Muslim sejak dekade akhir abad II hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari gaya keberagamaan para zahid dan ‘abid yang berkelompok di serambi masjid Madinah[1]. Fase tersebut lebih condong pada gaya hidup asketisme, yang cenderung mengabaikan urusan-ursan duniawi dan berlebihan dalam menyikapi sifat buruk dunia. Memasuki abad ke-3 hijriah, asketisme mengalami perkembangan, sehingga terjadi perubahan istilah dari zahid kepada sufi. Mengenai kaum sufi atau ahli tasawuf ada beberapa gambaran aspek yang disematkan kepada mereka berdasar uraian para ulama’. Syaikh Abdul Qadir memberi mendefinisikan ahli sufi adalah mereka yang batinnya jernih dan terang sebab cahaya makrifat dan tauhid. Lebih detail beliau menjabarkan tasawuf yang terdiri dari empat huruf tersebut, satu, ta’ yang bermakna tobat zahir dan batin, dua, sad, dengan makna safa’ (jernih) hati dan kalbu, tiga, wawu, berarti wilayah (wakil), yakni dengan makna bersikap dengan interpretasi sifat-sifat Allah, empat, fa bermakna fana’, yakni sikap kehilangan sifat-sifat manusia yang identik dengan keburukannya[2].
Setelah berabad-abad lamanya, kalangan sufi mulai muncul dengan berbagi gagasan dan konsep dari hasil tajribah (pengalaman) spiritual mereka. Yang dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Seperti, Abu Hamid al-Ghazali yang menuangkan konsep kesufiannya dalam kitab monumental, ihya’ ulumuddin. Atau kerangkanya dalam Minhaj al-‘Abidin yang berjumlah tujuh tangga (‘uqbah) menuju surga. Ada juga Abdul Qadir al-Jilani dengan berbagai karyanya. Baha’uddin al-Naqsabandi, Abu Hasan Al-Syadzili, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh rujukan kaum sufi. Tentunya mereka hadir dengan berbagai tawaran ide mengenai metode melangkah dalam jalan menuju Allah.
Akhirnya, akibat dari banyaknya ide-ide para ulama’, para alim setelahnya menisbatkan perkumpulan atau jam’iyyah tariqah mereka kepada pengonsep awal gagasan. Misal, tarekat Naqsabandiyah menisbatkan kelompok mereka kepada pembesarnya, yakni Baha’uddin al-Naqsyabandi. Kemudian, tarekat Syadziliyah, yang bersumber dari Abu Hasan al-Syadzili. Atau tarekat Syatariyah, yang berasal dari Abdullah al-Syattar. Selain itu, ada jenis cabang dalam satu model tarekat yang dikembangkan oleh murid-murid/sanadnya. Kesemuanya memiliki corak metode, konsep, dan gagasan yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan sama yakni menuju Allah. Sesuai dengan namanya tariqah yang berarti jalan.
Di Indonesia terdapat bermacam-macam tarekat yang terhimpun dalam JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah). Jatman merupakan satu sarana bagi para Mursyidin/Khalifah—istilah yang digunakan untuk guru pembimbing suatu tarekat—untuk lebih mengefektifkan pembinaan terhadap para murid yang telah berbaiat sekaligus sebagai forum untuk menjalin ukhuwah antar sesame penganut ajaran tarekat dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan, ketakwaan dan keikhlasan di dalam amaliyah ubudiyyah serta meningkatkan rabithah terhadap guru Mursyid/Khalifah. Dikutip dalam laman jatman.or.id, jamaah tarekat yang diakui sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah saat ini berjumlah 43. Yang saat ini Jatman diketuai oleh Habib Lutfi bin Yahya.
Salah satu Tarekat yang masuk dalam Jatman adalah Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah. Jamiyah itu didirikan dan masih diasuh oleh KH. M. Nizam As-Sofa, yang mengikuti jejak tarekat Maulana Khalid (1779M/1193H-1827M/1242H) yang mencanangkan tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah. Beliau merupakan salah satu pembaharu Islam abad ke-13 M[3]. Sesuai dengan coraknya yang membaharu, dicertuskanlah nama Khalidiyah Mujaddadiyah (diperbaharui). Tarekat ini dikembangakan oleh KH. M. Nizam As-Shofa sejak tahun 2002. Yang saat itu hanya sekitar tujuh jamaah dari kalangan kerabat sendiri.
Hal yang sangat fenomenal dari beliau adalah sebuah karya sastra “Syiir Tanpo Waton”. Merupakan kumpulan 13 bait puisi, dengan masing-masing terdiri dari 4 baris. Namun sayangnya, khalayak umum masih menyangka bahwa karya sastra bahasa Jawa yang biasa dikumandangkan sebelum azan sejak Novmber 2011 itu gubahan Gus Dur[4]. Padahal penciptanya adalah KH. M. Nizam As-Shofa. Lumrah saja, suara beliau dengan Gus Dur dianggap mirip oleh masyarakat umum. Bahkan beliau sendiri juga termasuk pecinta Gus Dur, atau lazim disebut Gusdurian. Terlepas dari itu semua, KH. M. Nizam As-Shofa sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut ke meja hijau sebagai bentuk pelanggaran hak cipta. Bahkan, beliau malah merasa kagum ketika suaranya dimiripkan dengan mantan Presiden RI itu[5].
Beliau juga sangat terbuka dengan kaum milenial, terbukti dari unggahan-unggahannya di media sosial, layaknya Facebook, Whatsapp, Intagram, dan Youtube. Karena di tempat maya seperti itu, ada harapan besar dakwah Islam yang disampaikannya akan terbaca oleh kaum yang banyak hidup di media sosial. Bahkan beliau sering menggubah lagu untuk kemudian di unggah di kanal Youtube milik ASW Production. Mulai dari Reboan Agung, Ahad Karim, Ngopi Bersama, dan berbagai agenda lain. Artinya tasawuf tidak terkungkung dalam jeratan zaman, tapi beliau mencoba agar tasawuf tetap diterima oleh generasi saat ini.
Maka dari itu, penulis tertarik untuk menggambarkan beliau dalam sebuah buku kumpulan esai. Harapannya nanti bagi para pembaca bahwa tasawuf bukan ilmu yang lampau dan tidak bisa berkembang. Dengan menunjukkan gagasan-gagasan KH. Mohammad Nizam As-Shofa dalam bidang dakwah keislaman. Yang bercorak kepada sastra, musik, dan syair.
2. Profil Tokoh
KH. Mohammad Nizam As-Shofa dilharikan pada 23 Oktober 1973 di Sidoarjo, merupakan putra ketiga dari delapan bersaudara buah pasangan KH. Amhad Saiful Huda dan Nyai Hj. Siti Maryam. Beliau adalah cucu dari Mursyid tarekat KH. Sahlan Thalib—ayahanda Nyai Hj. Siti Maryam—, Krian, Sidoarjo. Beliau menjadi guru spritual waliyullah Mbah Ud, atau Ali Mas’ud, Pagerwojo.
Nizam kecil sewaktu Sekolah Dasar belajar di MI Bahrul Ulum, Krian. Setelah lulus dari sana, beliau melanjutkan pendidikannya di Mts. Junwangi sekaligus mondok di pesantren Darul Falah pimpinan Kyai Iskandar Umar Abdul Latif. Setelah itu beliau melanjutkan ke Kediri, tepatnya di Pondok Pesantren Lirboyo. Kemudian beliau pindah ke Aceh untuk merantau, tanpa sekolah. Usai kurang lebih dua tahun di sana, beliau melanjut pendidikan Aliyah El-Nurul El-Kassyaf. Tamat dari situ ia melanjutkan kuliah di Institut Sholahudin Al-Ayyubi, fakultas Adab dan Humaniora prodi Sastra. Menginjak semester ke-7 beliau putus kuliah, dan pada tahun 1995 Gus Nizam berangkat ke Mesir atas beasiswa dari PBNU[1].
Pulang dari Mesir, KH. Mohammad Nizam melanjutkan perjuangan ayahandanya dengan berdakwah dan pengajian rutin. Tahun 2002, tepatnya 24 Mei beliau mempersunting Nyai Zuhdiyah. Hingga saat ini beliau dikaruniai tiga putri dan tiga putra:
- Sofia Aqila As-Shofa
- Aliyah Zahwa As-Shofa
- Muhammad Ali Wafa As-Shofa (alm)
- Wafia Izzah Aqila As-Shofa
- Muhammad Sulaiman Wafa
- As’ad Syah Wafi
Beliau juga aktif dalam bidang karang-mengarang, apalagi soal syair. Berbekal keilmuan arudnya, beliau sering menggubah beberepa syair hasil dari beliau sendiri. Beberepa karya beliau:
- Syiir Tanpo Waton
- Mengenal Tarekat Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah
- Istighasah As-Shofa, berisi pujian-pujian dan syiir
Hingga saat ini beliau masih memangku sebagai pengasuh Yayasan Pesantren Ahlus Shafa wal Wafa di Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo. Agenda rutin Reboan Agung merupakan agenda rutin yang diasuh oleh beliau langsung. Mengkaji kitab Jami’ al-Ushul fi al-Auliya dan Fath al-Rabbani wa al-Faidh al-Rahmani. Uniknya beliau sendiri hampir tidak pernah meliburkan kegiatan itu jika tidak darurat.
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
- Mendalami Pemikiran dan Kiprah KH. Mohammad Nizam As-Shofa di Bidang Keislaman.
- Mengemukakan Sosok KH. Mohammad Nizam As-Shofa sebagai Pencipta Syiir Tanpo Waton ke Khalayak Umum.
- Mengimplementasikan Sikap dan Sosok KH. Mohammad As-Shofa dalam Kehidupan.
4. Metode Penelitian
Metode penilitian kali ini menggunakan library research (studi kepustakaan) dan wawancara. Penulis menggali informasi dan data melalui jurnal, buku, dan majalah. Ada beberepa penelitian terdahulu yang penulis cermati, 1) Skripsi Dhea Syalwa Maishara, “Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyahdi Yayasan Pesantren Ahlus Shofa wal-Wafa, Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo tahun 2002-2019.” 2) Jurnal Luthfi Rahman, Efri Arsyad Rizal, Azma Zuhayda Arsyada dengan judul Syiir Tanpo waton and The Spirit of Indonesian Religious Moderation. 3) Jurnal Lailatul Mauludiyah, “Nilai-nilai Moral dalam Syair Tanpo Waton Karya KH. Mohammad Nizam As-Shofa”. 3) Jurnal Siti Maslahah, “The Spiritual Meaning of Suluk in Syiir Tanpo Waton. 4) Jurnal M. Agus Kurniawan; Munir; Cholidi, “Suluk Gus Dur Recontruction of Local Culture in the Context of Sufism”. 5) Skripsi Sucipto, “Syiir Tanpo Waton sebagai Bimbingan dan Konseling Motivasi Belajar, Santri Pondok Pesantren Ahlus Shofa wal Wafa Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo. Selain studi kepustakaan, penulis juga melakukan wawancara ke beberapa narasumber jika memang diperlukan.
5. Lembar Judul
“NIZAM AS-SHOFA, PENGGUBAH TANPO WATON YANG TAK MAU DITONTON”
- Syair Tanpo Waton dalam Bingkai Sikap Sosialisme
- Kembali pada Quran dan Hadis: Sudut Pandang Syiir Tanpo Waton
- Posisi Syariat Prespektif Ahli Tasawuf; KH. Nizam As-Shofa
- Suluk Tarekat Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah sebagai Penjernih Jiwa
- Keunggulan Syaiir sebagai Media Dakwah Kaum Pesantren
- Peran KH. Nizam As-Ahofa dalam Membina Kerukunan Umat Beragama
- Syiir Tanpo Waton Penangkal Radikalisme
- Kekuatan Jargon Ikrar 5 S untuk Menjaga Keteguhan Batin dan Keutuhan Sesama
- Kesetaraan Stratifikasi Sosial saat Kajian Reboan Agung
- Peran KH. Nizam Ash-Ahofa dalam Kesejahteraan Kaum Lemah
- Inovasi Ekonomi KH. Nizam Ash-Sofa untuk Kesejahteraan Kelompok
- Gus Nizam the Next Gus Dur dalam Pluralisme
- Sastra Jawa sebagai Alat Dakwah Syiir Tanpo Waton
- Pentingnya Guru Mursyid; Kamaqola Ibn Atholillah dalam Hikam-nya
- Reboan Agung, Kajian Akbar tanpa Takut Kehilangan Sandal
- Janji Istiqomah Gus Nizam pada Reboan Agung
- Zuhud bukan Miskin Akut
- Abi Milik Umat; Definisi Istri Solehah Gus Nizam
- Berkeluarga ala Gus Nizam; Kacamata Nabi Muhammad
- Padhang Roso; Dakwah bil Musik
- Gus Nizam, Nafas Islam ala Milenial
- Hadis Sahih Prespektif Kaum Tasawuf
- Merdeka ala Sufi
- Mangemen Kenegaraan Prespektif Tasawuf
- Sosok Khalifah di Belakang KH. Mohammad Nizam
[1] Dhea Syalwa Maishara, op.cit
[1] Zuherni AB, “Sejarah Perkembangan Tasawuf,” SUBTANTIA Vol. 13, No. 2 (2011). 6 November 2021. <https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/4828/3115>
[2] Abdul Qadir al-Jilani, “Sirr al-Asrar,” hal. 76
[3] Dhea Syalwa Maishara, “Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyahdi Yayasan Pesantren Ahlus Shofa wal-Wafa, Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo tahun 2002-2019.” SKRIPSI UIN SUNAN AMPEL. 11 November 2021. <http://digilib.uinsby.ac.id/44905/>
[4] Lailatul Mauludiyah, “Nilai-nilai Moral dalam Syair Tanpo Waton Karya KH. M. Nizam As-Shofa”. NOSI Vol. 4, No. 2 (2016).
<http://library.unisma.ac.id/slims_unisma/index.php?p=show_detail&id=1860>
[5] Luthfi Rahman, Efri Arsyad Rizal, Azma Zuhayada Arsyada, “Syiir Tanpo Waton adn The Spirit of Indonesian Religious Moderation”. PENELITIAN, IAIN Pekalongan, Vol. 18, No. 1 (2021).
6. Daftar Pustaka
As-Shofa, Muhammad Nizam. (tanpa tahun). Mengenal Tarekat Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah. Sidoarjo, PP. Ahlus Shofa wal Wafa.
Yayasan Pesantren Ahlus-Shafa wal-Wafa. (2018). Istighasah As-Shafa li Ahlis-Shafa wal-Wafa. Sidoarjo, PP. Ahlus Shofa wal Wafa.
Yayasan Pesantren Ahlus-Shafa wal-Wafa. (2021). Majalah As-Shafa edisi Oktober-Desember. Sidoarjo.
Yayasan Pesantren Ahlus-Shafa wal-Wafa. (2016). Majalah As-Shafa edisi Desember-Maret. Sidoarjo.
Yayasan Pesantren Ahlus-Shafa wal-Wafa. (2019). Majalah As-Shafa edisi Maret. Sidoarjo.
Maishara, Dhea Syalwa. (2020) Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyahdi Yayasan Pesantren Ahlus Shofa wal-Wafa, Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo tahun 2002-2019. Surabaya, UIN Sunan Ampel.
Sucipto, (2018). Syiir Tanpo Waton sebagai Bimbingan dan Konseling Motivasi Belajar, Santri Pondok Pesantren Ahlus Shofa wal Wafa Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo. Surabaya, UIN Sunan Ampel.
Mauludiyah, Lailatul. (2016). Nilai-nilai Moral dalam Syair Tanpo Waton Karya KH. M. Nizam As-Shofa. NOSI Vol. 4, No. 2.
Luthfi Rahman, Efri Arsyad Rizal, Azma Zuhayada Arsyada, (2021). Syiir Tanpo Waton and The Spirit of Indonesian Religious Moderation. PENELITIAN, IAIN Pekalongan, Vol. 18, No. 1.
Maslahah, Siti. (2018). The Spiritual Meaning of Suluk in Syiir Tanpo Waton. Yogjakarta, Teosofia: Indonesian Jurnal of Islamic Mysticism, Vol. 7, No. 2, pp. 115-136.
M. Agus Kurniawan; Munir; Cholidi. (2015). Suluk Gus Dur Recontruction of Local Culture in the Context of Sufism. Palembang, International Jurnal of Multicurtural and Multireligieous Understanding.