Gus Dur memanglah maniak film. Bagian amat besar dari “petualangan”-nya sepanjang Kairo-Baghdad-Amsterdam di era 1960-an adalah tentang bioskop. Gus Mus meriwayatkan, betapa hampir tiap hari ketika bis kota yang mereka tumpangi sampai di halte dekat kampus Al Azhar, Kairo, Gus Dur justru enggan turun. Penumpang bis yang padat berdesak-desakan ia jadikan alasan.
“Saya gemuk begini. Kasihan orang banyak kalau saya ndusel-ndusel keluar,” begitu katanya, “Saya turun nanti saja kalau sudah longgar”.
Dan tempat di mana penumpang lain sudah banyak yang turun adalah halte dekat gedung bioskop.
Gus Dur dengan asyiknya sepanjang kurun itu melahap film-film dari berbagi penjuru dunia. Film-film Arab dan Hollywood sudah pasti. Tapi juga film-film dari Eropa Barat dan Eropa Timur, dan tak ketinggalan pula khazanah Bollywood, India. Lengkap bukan?
Penjelajahan yang luas dan kecerdasan jauh di atas rata-rata dengan sendirinya menjadikan Gus Dur seorang ahli. Ketika kembali ke Tanah Air dan bergaul dengan insan perfilman Indonesia, ia membuat mereka tercengang-cengang dengan gudang pengetahuannya yang luar biasa kaya dan apresiasinya yang tajam. Wajar saja jika kemudian ia didaulat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 1982-1985.
Tapi itu adalah jabatan yang tidak lazim bagi seorang kiai –pada 1970-1984 Gus Dur sudah menjadi Katib Am Syuriyah PBNU. Itu pula yang sejak awal memberi warna kontroversi pada penunjukannya sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke 27 di Situbondo, 1984. Apalagi ketika belakangan, pada Festival Film Indonesia 1986-1987, Gus Dur menjadi Ketua Dewan Juri. Sejumlah kai “garis kolot” menggerutuinya,
“Masak Ketua Umum PBNU jadi juri kethoprak?”
Dengan gayanya yang sudah kita kenal, Gus Dur mengajukan argumen “gampang-gampangan” untuk membela diri:
“Dulu, film-film Indonesia itu banyak yang jorok. Tapi setelah saya jadi juri FFI, muncul film-film bertema keagamaan. Bahkan di film apa pun selalu muncul ungkapan-ungkapan: ‘astaghfirullah’, ‘masyaallah’, ‘inna lillah’, dan lain-lain. Orang-orang film itu sengaja membuatnya begitu karena tahu jurinya ada yang kiai. Jadi kedudukan saya sebagai Ketua Dewan Juri FFI itu bagian dari dakwah.”
Jauh sebelumnya, pada tahun 1962, Usmar Ismail –kini dikenal sebagai Bapak Perfileman Indonesia– bersama Asrul Sani memperoleh lampu hijau dari Mbah Wahab Hasbullah untuk mendirikan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), sebagai salah satu organ NU. Tapi tidak sedikit kiai menentang upaya itu.
“Apa pantas, perkumpulan kiai kok jadi penyelenggara ‘kethoprak’?!” mereka menggugat dengan keras.
Kiai Bisri Mustofa berusaha menjembatani,
“NU itu seperti rangkaian kereta api. Para kiai yang mulia yang duduk di Syuriah ini gerbong paling depan. Disusul gerbong Tanfidziyah, terus gerbong Muslimat, Ansor, Fatayat… dan seterusnya. Lah… Lesbumi itu gerbong paling belakang. Tapi walaupun paling belakang kan ya ikut rangkaian kereta toh? Sama-sama sampai ke tujuan toh?”
ألأمور بمقا صدها
Segala urusan itu dinilai dengan mempertimbangkan tujuan-tujuannya.
Artikel ini pertama kali dimuat di Terong Gosong