Pada suatu misi pengajian, Kiai Bisri Mustofa mengajak serta seorang santri senior. Menjelang sampai ke tempat acara, Kiai Bisri menyuruh sopir berhenti di sebuah warung makan. Hidangan dipesan, tetapi si santri senior menolak ikut makan.
“Masih kenyang,” katanya. Kiai Bisri membiarkannya.
Sampai di tempat acara, sebelum pengajian dimulai, tuan rumah terlebih dahulu mempersilahkan menikmati hidangan makan (malam). Tentu saja Kiai Bisri menolak.
“Baru saja makan! Nanti saja.”
Usai pengajian, kembali makan malam ditawarkan, tapi Kiai Bisri tetap menolak.
“Masih kenyang.”
Si santri seniorlah yang kemudian gelisah oleh lapar karena tadi tidak ikut makan di warung. Kiainya pura-pura tidak tahu.
Melihat di antara suguhan jajanan terdapat lemper, santri itu merasa beruntung.
“Lumayan buat ganjal perut,” pikirnya.
Apa lacur, baru saja tangannya menjulur hendak meraih lemper, Kiai Bisri tiba-tiba beranjak berdiri dan langsung pamitan!
Si santri harus menahan perih perut sampai esok hari, karena besek berkat yang biasanya diberikan untuk dirayah santri-santri pun ternyata tidak diserahkan.
Menurut Imam Ghozali (Asy Syaikh Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozzali Ath Thusi), ada yang lebih tinggi tingkatannya daripada ijtinaabun nawaahiy (menghindari larangan), yaitu ihtiraas ‘anin nawaahiy (memelihara diri dari larangan). Apa beda keduanya?
Dalam perkelahian, kalau orang berkelit dari pukulan sehingga pukulan itu luput, gerakan berkelit itulah ijtinaab. Kalau orang berlindung di dalam benteng sehingga tak dapat diserang, itulah ihtiraas. Jadi, ijtinaab itu manuver, sedangkan ihtiraas itu security system.
Setiap hendak menghadiri undangan pengajian, Kiai Bisri Mustofa mewajibkan diri mampir ke warung makan menjelang sampai ke tempat acara. Jajan, meskipun di tempat pengajian nanti biasanya tuan rumah menyediakan jamuan makan. Itu adalah ihtiraas ‘anith thama’, supaya tidak berharap-harap (thama’) akan suguhan si Tuan rumah.
***
Menjelang Pemilu 1977, setelah NU (terpaksa) berfusi ke dalam PPP, sejumlah kiai NU justru menyeberang ke Golkar. Di antaranya lantaran iming-iming bantuan dana dari Pemerintah. Pada hari-hari itu, Kiai Bisri memborong banyak mobil. Ada tujuh buah mobil di rumah. Padahal garasi hanya cukup untuk satu. Mobil-mobil itupun dijajarkan di jalanan depan rumah.
Meskipun ada tujuh, hanya satu saja yang dipergunakan, yaitu sebuah sedan Datsun keluaran tahun ’60-an. Bagaimana dengan enam lainnya? Tak banyak yang tahu rahasianya: ternyata, selain sedan Datsun, mobil-mobil itu mustahil bisa hidup mesinnya kecuali didorong. Artinya: cuma body yang mulus, sedangkan mesinnya bodhol!
Apa tujuannya memborong “kereta-kereta tak berguna” macam itu?
“Untuk dipamerkan!” kata Kiai Bisri.
Pameran dalam rangka apa?
“Supaya orang mengira aku ini sudah kaya raya.”
Apa untungnya dianggap kaya?
“Supaya tak ada yang berani menawariku uang.”
Kalau nggak mau uang, ya ditolak saja toh?
“Kalau ada yang nawari, kuatirnya justru aku yang nggak tahan….”