“Quran dan hadis itu bukan pasal-pasal KUHP!” kata Cak Nur, Prof. Dr. Nurcholish Madjid rahimahullah. Pernyataan itu dilontarkan tahun 1990-an. Di depan ratusan mahasiswa UGM aktifis Jama’ah Salahuddin yang mencecarnya habis-habisan soal ide “pluralisme” dan “sekularisasi”.
Kita kenal, Cak Nur berusaha mengingatkan kecenderungan “telan mentah” (kecenderungan reduksionis ala Wahabi) dalam memahami nash-nash Alquran dan hadis, yang semakin berkembang di kalangan para aktivis Islam. Mahasiswa-mahasiswa yang dipenuhi semangat jihad itu pada akhirnya hanya bisa terlongong-longong ketika Cak Nur mendemonstrasikan penguasaannya atas khazanah ilmu-ilmu Islam.
Perlu ditekankan lagi, Cak Nur mengatakan itu tahun 1990. Tahun 1990-an! Bayangkan, betapa sudah sejak amat lama Wahabi menginfiltrasi gerakan Islam di kampus-kampus!
Tapi, karena kurangnya pengetahuan, banyak orang memang memiliki “imajinasi” yang keliru tentang Alquran dan hadis.
“Janganlah membayangkan Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan alat perekam di tangan merekam ucapan-ucapan yang kemudian menjadi Alquran, lalu merekam lagi kemudian menjadi hadis,” Kata Gus Mus, di lain kesempatan.
Setiap ayat Alquran mengemban eksistensi yang “satu paket” dengan asbabun nuzuul (sebab-sebab turun)-nya. Begitu juga setiap ucapan, tindakan dan diamnya Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam –yang kemudian tercatat sebagai hadits– terjadi karena asbaabul wuruud (sebab-sebab peristiwa) tertentu.
Memang, ada kaidah yang menyatakan bahwa: “al ‘amal bi ‘umuumil lafdh, laa bikhushuushish sabab”. Amal itu (dilaksanakan) dengan (berdasarkan pada pengertian) umum (dari) kalimat (pada Alquran atau hadis), tidak hanya (terkait) secara terbatas (khusus) dengan (peristiwa spesifik) yang menjadi sebab (turunnya ayat Alquran atau terjadinya hadis). Tapi ‘umuumul lafdh (pengertian umum dari kalimat) dalam hal ini bukanlah sekedar makna lahiriah yang leterlijk (tekstual). Termasuk yang harus dipahami dari ‘umuumil lafdh itu adalah missi historis dari setiap nash Alquran atau hadis, berdasarkan analisis atas asbaabun nuzuul atau asbaabul wuruud, untuk kemudian didialogkan dengan konteks historis (temporer) saat suatu ‘amal hendak dilaksanakan.
Imam al-Ghozali (Asy Syaikh Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozzaaly Ath Thuusy) dalam kitabnya, “Asaasul Qiyaas”, menguraikan sepuluh model prosedural dari qiyas. Al-Ghazali, memikirkan dengan mati-matian bab ini, mulai dari analogi yang paling sederhana, sampai dengan qiyas yang paling sulit, yaitu membuat keputusan berdasarkan “kebiasaan Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dalam membuat keputusan” –aw kamaa qoola Asy Syaikh.
Dibeberkanlah satu contoh kasus, yaitu ketetapan yang dibuat pada era kekhalifahan Sayyidina ‘Umar bin Khatthab radliyallaahu ‘anh untuk memberlakukan ta’zir 80 cambukan (jild) atas peminum arak. Ini adalah ketetapan yang sama sekali baru, karena (pada zamannya) Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam hanya memerintahkan ta’zir (untuk kasus yang sama, yaitu peminum arak) 40 pukulan dengan sandal atau ujung pakaian! Apakah Sayyidina ‘Umar membuat bid’ah dlolaalah?
Pada masa Sayyidina ‘Umar itu, perilaku minum arak memang kembali marak, yang ditengarai antara lain karena hukumannya dianggap ringan dan disepelekan. Maka Sayyidina ‘Umar pun mengundang para sahabat terkemuka untuk mendiskusikan solusi. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karromallaahu wajhah-lah yang kemudian mengusulkan peningkatan hukuman menjadi 80 cambukan itu.
“Barangsiapa minum arak, maka mabuk. Barangsiapa mabuk, maka meracau. Barangsiapa meracau, maka membuat-buat (dusta)”, demikian ungkapan Sayyidina ‘Ali –-aw kamaa qoola Sayyidunaa— yang menggambarkan cara berpikirnya.
Mengapa Sayyidina ‘Ali berani mengajukan usul yang begitu “inovatif”?
“Karena beliau amat memahami kebiasaan Kanjeng Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dalam membuat keputusan dan beliau mengikuti kebiasaan itu”, Imam Ghozali menyimpulkan.
Dan usulan Sayyidina ‘Ali itu pun diterima untuk dijadikan ketetapan hukum.
Ini adalah ilustrasi dramatis tentang bagaimana “as sunnah” dipahami sebagai tradisi, bukan sekedar teladan-teladan yang kasuistik, apalagi sebagai “klausul-klausul hukum” yang kaku. Hardi Cahyanta membuat ungkapan dalam bahasa Inggris yang bagus sekali terkait dengan ini: “What will The Prophet –Peace Be Upon Him– do in the situation?” (Apa yang sekira dilakukan oleh Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam [menghadapi suatu] keadaan?)
Pandangan saya, kata kuncinya adalah “missi historis dari nash“.
Mengikuti salat berjama’ah di sebuah masjid, seorang berjubah cingkrang memepet-mepetkan kakinya agar menempel ke kaki Gus Mus. Karena kaki orang itu kelihatan kotor sekali dan Gus Mus curiga dia bergudhik, maka Gus Mus justru menjauhkan kakinya. Tapi orang itu ngotot dan terus mengejar-ngejar kaki Gus Mus!
Usai salat, dia marah-marah, “Mengapa kamu tidak mau merapatkan barisan?”
“Memangnya kenapa?” Gus Mus berlagak o’on.
“Kalau sampai ada celah diantara kita, setan nyelip disitu!”
“Bagus dong!”
“Loh?”
“Kalau setan mau nyelip ikut jama’ah, berarti dia sudah insaf!”
Arikel ini pertama kali dimuat di Terong Gosong