Ditanya tentang kegemaran beliau akan ziarah kubur, Gus Dur menjawab, “Karena ahli kubur tak lagi punya kepentingan.”
Itu sebabnya mereka, ahli kubur, tidak lagi berbuat apa-apa, tidak bergerak, tidak berikhtiar dan tidak berorganisasi.
Tapi segala sesuatu sebelum kubur adalah kepentingan. Tak terkecuali NU. Maka, pengertian hadapan (mafhum mukholafah) dari penyataan di atas adalah bahwa, jika ada organ NU yang tidak bergerak, berarti ia berkepentingan untuk tidak bergerak atau tidak memahami kepentingannya.
Padahal, kepentingan adalah dasar utama dalam percaturan masyarakat. Kerjasama atau kompetisi, semua bergantung kepentingan. Ingat adagium yang terkenal sekali: “Tidak ada kawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan.”
Kepentingan terbit dari dua sumber, yaitu nilai-nilai dan kehendak untuk mendapatkan sumberdaya-sumberdaya. Jelas bahwa NU terikat pada ajaran Islam ala Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Itu adalah salah satu sumber kepentingannya. Di sisi lain, sebagai aktor percaturan duniawi, NU pun berkepentingan untuk memperoleh sumberdaya-sumberdaya, baik untuk dirinya sendiri atau pihak mana pun yang ia wakili.
Di bagian awal serial ini telah dibahas keharusan menyeimbangkan kepedulian (baca: kepentingan) yang menyangkut mazhab keagamaan dengan kepentingan (duniawi) kemasyarakatan. Dibahas pula keniscayaan untuk memperluas basis kepentingan keluar batas-batas kelompok sendiri. Banyak rumusan keputusan organisasi, termasuk AD/ART dan program hasil Muktamar, sebenarnya telah mencerminkan hal-hal tersebut. Masalahnya, pertama, rumusan-rumusan tersebut lebih banyak terserak dan tidak terkonsolidasikan dalam satu perspektif yang utuh.
Kedua, belum ada penjabaran yang lebih rinci kedalam langkah-langkah operasional. Ketiga, belum ada wawasan untuk memobilisasikan keseluruhan instrumen organisasi, termasuk jaringan kepengurusan hingga ke tingkat ranting, dalam strategi yang terkonsolidasi.
Masalah-masalah diatas menjadikan gestur NU tidak berkembang dari posisinya terkait masalah keagamaan saja. Semua orang cenderung melihat NU hanya relevan sebagai “kelompok toleran”, “penjaga NKRI”, “penghadang radikalisme”, dan sejenisnya. Berbagai pihak lantas merasa hanya perlu bekerja sama atau mendukung NU atas dasar kepentingan tersebut. Para donatur memberi sumbangan kepada NU dengan motivasi yang sama seperti orang menyumbang kelompok siskamling.
NU harus meningkatkan kapasitas khidmah (pengabdian) dengan mengembangkan wawasan tentang haluan organisasi yang mencakup masalah-masalah kemasyarakatan yang luas, seperti masalah sosial-ekonomi, budaya politik, lingkungan hidup, dan sebagainya, hingga keterlibatan yang lebih substansial dalam percaturan internasional. Dengan itu NU menetapkan kedudukannya dalam konstelasi kepentingan-kepentingan.
Selanjutnya, dikembangkan strategi yang terkonsolidasi, yakni langkah-langkah sistematis berupa rangkaian kegiatan atau agenda organisasi. Barangsiapa memiliki kepentingan yang selaras dengan kepentingan NU dalam bidang-bisang yang relevan, dapat ikut serta dalam kerja sama pelaksanaan agenda-agenda tersebut.
Dengan demikian, pola hubungan antara NU dengan berbagai pihak dapat dibangun diatas landasan yang lebih bermartabat. Bukan lagi antara penyokong yang murah hati dengan penerima sumbangan yang penuh syukur, tapi antara pihak-pihak yang setara berdasarkan kepentingan yang sama menuju tujuan bersama.