Sedang Membaca
Governing The Nahdlatul Ulama: Muatan dan Pola Pikir Nahdliyin
Yahya Cholil Staquf
Penulis Kolom

Pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang

Governing The Nahdlatul Ulama: Muatan dan Pola Pikir Nahdliyin

Pada dasarnya, yang dibutuhkan NU agar dapat mengembangkan kapasitas khidmahnya adalah transformasi pola pikir, kemudian transformasi mentalitas. Menyangkut pola pikir, sekurang-kurangnya tiga wawasan harus ditransformasikan menuju wawasan baru, yaitu pola pikir tentang lingkup bidang khidmah dan jangkauan sasarannya, tentang makna program dan tentang hubungan antar tingkatan kepengurusan dalam pelaksanaan program.

Wawasan tentang lingkup bidang khidmah dan jangkauan sasarannya telah dibahas di depan, yang intinya adalah memperluas dan membongkar batas-batas. Wawasan tentang makna program bersifat lebih teknis, tapi fundamental.

Selama ini kepemimpinan NU di berbagai tingkatan mengeksplorasi berbagai ragam gagasan tentang kegiatan-kegiatan dan menyelenggarakannya. Kegiatan-kegiatan itu diwujudkan dalam proyek-proyek yang dalam alam pikiran para perancang dan aktivisnya dimaksudkan sebagai program organisasi. Semaraknya cukup terasa. Tapi semarak berbagai jenis kegiatan itu kurang tersambung dalam kesatuan nalar tentang arah dan tujuan-tujuan besar yang hendak dicapai.

Hal itu dikarenakan pola pikir para pengampu program NU didominasi anggapan bahwa program adalah sejumlah proyek-proyek. Asalkan ada proyek, berasa program sudah berjalan. Tapi nyaris tidak dimasukkan dalam kalkulasi, bagaimana dampak suatu proyek dan bagaimana kaitannya dengan proyek-proyek lain.

Kepentingan yang hadir pun sebatas kepentingan seputar terlaksananya proyek beserta keuntungan dan laba yang mungkin diperoleh oleh mereka yang terlibat di dalamnya.

Pola pikir ini pula yang meniscayakan tiadanya perhatian pada kegiatan-kegiatan pelayanan bagi kebutuhan sehari-hari warga NU dan masyarakat pada umumnya. Maka NU hadir hanya saat ada proyek. Kalau proyek tiada, NU pun murca.

Tentu saja gambaran di atas adalah citra diri yang menyedihkan. Itu sebabnya, untuk mengurangi pedih hati, kiprah tradisional warga berupa jama’ah-jama’ah ritual serta kiprah para kyai di pesanten masing-masing dan di kampung-kampung diklaim sebagai prestasi NU yang tak terbilang. Itu tidak salah. Tapi jelas bahwa kiprah-kiprah tersebut bukanlah inisiatif organisasi NU, walapun pengurus NU seringkali diundang untuk memberi sambutan atau mau’idhoh hasanah didalamnya. Itu bukan capaian organisasi.

Baca juga:  Menelisik Ideologi Kaum Hedonis: Sang Koruptor

Para pengampu program NU harus sungguh memperhatikan nalar kepentingan-kepentingan besar yang diikuti jabaran sistematis kedalam rincian strategi semesta untuk memencapainya. Rumus-rumus dasar tentang strategi dan capaian tidak boleh diabaikan. Misalnya, bahwa suatu strategi harus mencakup kesatuan nalar antara bentuk kegiatan (out put) dan dampak ikutannya (out come). Bahwa didalam bentangan masyarakat Indonesia dan dunia yang sedemikian beragam corak-warnanya, harus ada kalkulasi-kalkulasi spesifik yang kontekstual dengan realitas setiap lingkungan yang berbeda dari lainnya. Dan seterusnya.

Wawasan-wawasan diatas bisa menjadi materi yang bagus untuk diceramahkan dalam forum-forum pelatihan kader. Tapi transformasi yang nyata tidak akan terjadi tanpa saluran operasional dalam kerangka strateginya. Wawasan-wawasan itu adalah muatan. Muatan perlu wadah dan saluran. Jika tidak, maka kader-kader yang dicekoki konsep-konsep di bangku-bangku pelatihan hanya akan keluar dengan dada sesak penuh rasa geregetan tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Ambyar.

Muatan wawasan-wawasan diatas harus diwadahi dalam suatu konstruksi organisasi berupa struktur, fungsi dan mekanisme-mekanisme yang sesuai. Dalam hal ini, pertama-tama harus kembali diingat karakteristik kewargaan NU.

Nalar organisasi mengasumsikan bahwa anggota adalah bagian dari instrumen oraganisasi yang dapat digerakkan dalam kendali kepemimpinan. Telah dibahas pada bagian depan serial ini bahwa hal itu tidak dimungkinkan dalam NU. Jangkauan kendali kepemimpinan hanya terbatas pada fungsionaris organisasi, sedangkan warga —beserta masyarakat luas— harus dipandang sebagai penerima khidmah organisasi (makhdumin bihim, beneficiaries).

Baca juga:  Santri, Pesantren dan Kemandirian Ekonomi

Keseluruhan struktur organisasi beserta para fungsionaris didalamnya dituntut untuk menjalankan dua fungsi utama. Pertama, menyediakan layanan bagi kebutuhan-kebutuhan warga dan masyarakat luas. Kedua, menggulirkan strategi untuk meraih capaian-capaian visioner yang mencakup pula transormasi masyarakat secara keseluruhan.

Ketika NU memiliki kemampuan untuk menyediakan layanan-layanan bagi kebutuhan masyarakat, yakni membangun fasilitas-fasilitas untuk keperluan itu, NU pada gilirannya perlu menetapkan mekanisme-mikanisme dan aturan-aturan (regulasi) obyektif agar siapa pun yang membutuhkan dapat mengakses layanan NU secara adil.

Lebih lanjut, dengan jangkauan sasaran khidmah yang luas, baik nasional dan internasional, NU harus menetapkan anggaran capaian berupa “out come” kiprah organisasi dalam skala yang luas pula, yang dirumuskan sebagai agenda semesta, nasional ataupun internasional. Anggaran capaian itu kemudian dijabarkan kedalam strategi yang valid dan rinci, termasuk didalamnya pembagian tugas dan pekerjaan diantara keseluruhan instrumen dalam struktur kepengurusan NU.

Mengingat ragam konteks realitas di berbagai lingkungan yang berbeda, pembagian tugas dan pekerjaan itu harus pula sesuai dengan konteks realitas yang bersangkutan. Setiap cabang, misalnya, bisa kebagian tugas-tugas spesifik yang berbeda dari cabang lainnya.

Karena baik pembangunan fasilitas-fasilitas untuk pelayanan warga maupun operasionalisasi strategi membutuhkan pengerahan sumberdaya-sumberdaya, sedangkan kemampuan untuk menggalang sumberdaya diantara berbagai sektor dan tingkat kepengurusan NU berbeda-beda, maka kepemimpinan NU dituntut untuk menganggarkan penggalangan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan dalam ukuran agenda semesta yang ditetapkan, kemudian mendistribusikannya di antara instrumen-instrumen organisasi, termasuk di antara cabang-cabang, sesuai penugasan yang dijatahkan.

Baca juga:  Saat Gus Baha Menertawakan Dirinya Sendiri

Dengan kata lain, hubungan diantara berbagai tingkatan kepengurusan dalam pelaksanaa program dijalin dalam sistematika operasional yang kokoh. Jika tanggung jawab ini dilakukan dengan semestinya oleh kepemimpinan NU, tak akan ada lagi alasan bagi organ kepengurusan NU yang mana pun untuk tidak bergerak.

Dengan demikian, struktur jam’iyyah NU, dari PBNU hingga ke Ranting-ranting, harus menjalankan fungsi-fungsi utama:

1. Operasionalisasi strategi menuju capaian-capaian visioner;

2. Menyediakan pelayanan untuk umum;

3. Menetapkan aturan-aturan (regulasi) untuk mengakses layanan yang disediakan;

4. Menggalang sumberdaya-sumberdaya dan mendistribusikannya.

Fungsi-fungsi utama tersebut, apabila diletakkan dalam kerangka teori politik, paralel dengan fungsi-fungsi Pemerintah. Ini tidak berarti membangun negara dalam negara. Karena toh NU tidak memiliki kemampuan ataupun legitimasi untuk menjalankan paksa fisik sebagaimana dimiliki oleh Pemerintahan negara. Ini adalah perwujudan peran masyarakat sipil untuk menyokong pemerintahan negara dalam mencapai tujuan-tujuan negara, baik dengan kerja sama maupun kontrol.

Walhasil, sebagai pendamping terhadap Pemerintahan atas nama negara, jam’iyyah NU membangun kapasitas sebagai Pemerintahan (suka rela) oleh masyarakat sipil. “Pemerintahan Nahdlatul Ulama”, “Hukumah An Nahdloh”.

These are the key concepts in GOVERNING THE NU. (Insyaallah satu bagian lagi)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top