Membahas Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) ini sebenarnya kompleks, dengan dimensi yang beragam di dalamnya. Maka, seharusnya ini harus dibahas secara komprehensif. Akan tetapi, karena keluasan cakupan masalahnya tentu untuk membincang secara tuntas, dibutuhkan waktu panjang. Ke depan, itu banyak hal-hal mendasar yang harus kita carikan jalan keluarnya, termasuk dalam kaitannya dengan PCINU di seluruh dunia.
PCINU ini merupakan satu model, yang mulai diinisiasi awal tahun 2000-an. Di dalam inisiasi itu, sebenarnya ada hal yang sangat fundamental, khususnya bagi santri-santri NU yang sedang belajar di luar negeri untuk mulai terlibat dengan NU, sehingga ketika mereka pulang dari belajar, mereka sungguh-sungguh siap untuk mengabdi di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Karena banyak hal yang dulu berfungsi secara tradisional di dalam membangun konsolidasi kader-kader NU, sekarang sudah mulai.
Pada waktu dahulu itu banyak santri-santri yang melanjutkan pendidikan ke Hijaz, atau Makkah, sekarang lebih beragam. Kalau dahulu, para Mbah-Mbah kita, sebelum mereka berkhidmah di NU, mereka sudah terbiasa bergaul satu sama lain sejak belajar di pondok, sampai pada belajar di Timur Tengah.
Sekarang ini, generasi kita sudah terpencar-pencar. Ada yang di Lebanon, ada yang di Makkah, Madinah, di Riyadh, di Syiria, di al-Azhar Mesir, dan sebagainya. Sehingga, kita membutuhkan wahana, untuk menggalang konsolidasi di antara kader-kader itu yang berdiaspora di mana-mana.
Tetapi, ini juga kemudian berkembang lebih jauh, karena ternyata belakangan, kita menyadari juga bahwa ada negara-negara yang, bukan destinasi belajar, tetapi di situ banyak warga NU yang ada di sana untuk bekerja.
Pada mulanya kepengurusan PCINU berkembang di negara-negara Timur Tengah, dan kemudian menyebar ke beberapa kawasan di Australia, New Zealand, Inggris, Eropa, hingga Amerika Serikat. Dan kemudian berkembang lagi, dari yang tadinya menjadi wadah bagi para santri, pelajar, mahasiswa, tumbuh ke negara-negara yang bukan destinasi studi, tapi menjadi tujuan bekerja. Semisal di Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia.
Jadi, ini menjadi semakin kompleks problematika terkait PCINU ini. Ada elemen lain dalam fungsinya, yaitu sebagai wahana untuk memelihara ikatan di antara warga NU.
Teman-teman yang bekerja di luar negeri, ini tidak semuanya punya keinginan untuk meniti karir kepemimpinan di NU. Kalau pelajar atau mahasiswa, aspirasi itu kuat sekali. Tapi, ada yang tidak ingin meniti karir kepemimpinan, tapi mereka butuh untuk bersilaturahmi dan menjaga tradisi selama bekerja atau berada di luar negeri. Maka, jangan heran di Hong Kong misalnya, anggota PCINU itu jamaahnya ya perempuan-perempuan pekerja di lingkungan rumah tangga.
Belakangan ini, semakin menjadi rumit lagi. Kenapa? Karena kita ini memasuki satu era, di mana dunia sedang berubah secara fundamental. Dunia ini sedang berubah, dan perubahannya secara mendasar. Bahwa globalisasi terakselerasi secara cepat, sehingga batas-batas fisik itu semakin tidak relevan.
Pada waktu ini, kita tidak bisa menghalangi orang dari bagian dunia manapun untuk berinteraksi dengan siapapun. Kita tidak bisa menghalangi orang yang berlalu lalang dari berbagai peradaban dunia dari manapun. Sementara itu, juga terjadi pergeseran-pergeseran geopolitik, yang kini dinamikanya lebih seru lagi. Di antara kepentingan antara negara-negara besar itu menimbulkan ketegangan. Maka kita menghadapi beberapa pertanyaan mendasar.
Di antaranya, kita ini mau memposisikan diri di mana? Di tengah-tengah arus perubahan yang begini deras, apakah kita ini hanya sekedar arus ikut saja, tanpa berusaha berkontribusi dan penetrasi sehingga kita ikut menentukan hasil dari pergulatan ini?
Atau, kita masuk secara progressif, pokoknya kita ikut menentukan. Karena itu juga akan menyangkut nasib kita sendiri. Termasuk yang paling dahsyat dari ini adalah pergulatan dalam dunia Islam sendiri, begitu dahsyatnya sehingga harus berdarah-darah, berapa juta orang kehilangan nyawa, mengalami penderitaan yang luar biasa di tengah pergulatan ini.
Kini kita sedang berada di persimpangan untuk masa depan: kita ini mau ke mana?
Nah, kalau selama ini NU mungkin dianggap kurang diperhitungkan. Maka, kita harus menjadi semakin diperhitungkan, suara kita semakin didengar, sehingga kita melakukan positioning, sehingga kita turut menentukan hasil dari pergulatan ini.
Kalau dahulu, wacana tentang keislaman ini didominasi oleh negara-negara Timur Tengah, kalau di kalangan Sunni non-Wahabi, misalnya ini yang paling dianggap berpengaruh itu al-Azhar Mesir. Sekarang ini, kita juga harus merangsek, supaya NU juga ikut mempengaruhi wacana tentang keislaman. Apalagi kita, negara semacam Mauritania, negara kecil dan terbelakang, itu berusaha merangsek dan ikut menentukan wacana dunia Islam. Nah, apalagi kita, organisasi Islam terbesar di dunia. Jadi, NU itu bukan hanya organisasi Islam saja, tapi organisasi grassroot, yang terbesar di dunia dari pelbagai macam jenisnya.
Maka sekarang, setelah beberapa tahun berupaya, NU itu sudah mendapatkan leverage yang cukup kuat secara internasional. Sekarang ini, banyak aktor-aktor global yang memperhitungkan Nahdlatul Ulama. Saya berkali-kali menyebut contoh, atau pernyataan dan kebijakan, dari aktor-aktor internasional yang memang mempertimbangkan NU.
Alexander John Gosse Downer, mantan Menteri Luar Negeri Australia, mengatakan bahwa dunia internasional harus bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama. Kemudian, Andrew J Bacevich, seorang professor yang mengajar diplomasi dan keamanan serta kebijakan internasional di sebuah kampus Amerika, menyatakan bahwa setiap inisiatif internasional yang terkait dengan Islam, harus memastikan dilibatkannya wakil dari Nahdlatul Ulama.
Belakangan ini, saya diminta untuk bergabung menjadi anggota Komisi Indo-Pasific (Indo-Pasific Commission), yang diinisiasi oleh salah satu lembaga besar yang paling berpengaruh di Inggris. Dalam komisi itu, bergabung berbagai tokoh dari lintas negara. Misalnya, ketuanya adalah Stephen Harper, ia merupakan mantan Perdana Menteri Canada. Sekarang ini, ia masih menjadi chairman dari IDU (International Democrat Union), ini merupakan koalisi partai-partai internasional yang besar. Mungkin, kedua terbesar setelah CDI (Centrist Democrat International).
Di lembaga itu, posisi saya unik sekali, karena saya satu-satunya anggota dengan latar belakang ormas. Anggota lainnya terdiri dari, mantan politisi, mantan pejabat pemerintah, mantan diplomat, atau dari think-thank. Nah, saya satu-satunya anggota dari kalangan ormas, dan satu-satunya yang muslim. Lainnya itu non-muslim semua. Karena mereka memperhitungkan perubahan dunia muslim, serta mereka menganggap tidak ada referensi yang paling pertanggungjawab terkait dunia Islam ini, lebih dari Nahdlatul Ulama. Saya kira ini hal yang penting.
Beberapa waktu yang lalu, juga muncul wacana untuk meningkatkan peran PCINU ini menjadi peran diplomatik. Nah, ini kira-kira agar menjadikan PCINU-PCINU ini sebagai kedutaan-kedutaan besar di masing-masing negara dari perwakilan NU. Tapi ini juga kompleks ini persoalannya, saya tidak tahu apakah teman-teman PCINU ini akan siap atau tidak?
Kenapa? Karena kalau kita mau melakukan penetrasi dalam pergulatan global, kita ini tidak bisa hanya bicara saja, tidak bisa hanya berwacana saja. Kalau kita mau melakukan penetrasi, kita juga harus main politik secara internasional. Mau tidak mau, kalau enggak, kita tidak akan bisa menentukan. Nah, kalau kita mau, kita ikut mengambil peran di masa depan, mau tidak mau kita harus melakukan penetrasi politik.
Nah, pada umumnya, di negara-negara Barat, itu orang bebas. Tapi di negara-negara yang belum demokrasi, itu akan jadi persoalan. Karena, jika kita ingin melakukan penetrasi, pada satu titik, mungkin saja, kita berbenturan dengan kepentingan politik dengan negara-negara yang ada PCINU-nya. Nah, kan itu bisa berbahaya. Jelas, ini persoalan yang harus kita pertimbangkan secara matang.
Tapi, ini menjadi potensi besar ke depan. Jangan sampai, PCINU-PCINU ini kegiatannya Cuma bahtsul masail dan dzibaan saja, tapi juga melakukan engangement yang lebih strategis. Melakukan pelibatan diri yang lebih strategis. Persoalannya, pelibatan yang seperti apa? Ini harus kita pertimbangkan secara utuh, karena menyangkut banyak hal, juga terkait keselamatan teman-teman Nahdliyyin yang ada di luar negeri juga.
Sementara ini, karena kebutuhan untuk melakukan engangement secara internasional tidak bisa lagi ditunda. Sekarang ini, orang-orang di mana-mana kelihatannya sedang pasif, melock-down negaranya masing-masing karena pandemi. Tapi, perlu diketahui, bahwa negara-negara yang merupakan aktor besar dalam percaturan politik internasional, mereka tidak mau berhenti. Mereka berkejaran dan berkompetisi untuk menentukan tata dunia, yang sekarang ini, istilahnya “kemelut di depan gawang”. Justru, saya sendiri misalnya, karena kontak-kontak internasional yang ada, saat ini juga luar biasa ritme pekerjaan internasional di hari-hari pandemi.
Nah, saat ini peran PCINU tidak bisa ditunda, namun pada batas mana PCINU ini bisa dilibatkan? Menurut saya, kita bisa mulai misalnya, dengan menjadikan PCINU sebagai intelijen-nya NU, sebagai channel informasi untuk PBNU, mengenai lanskap, konstelasi, dinamika, yang berlangsung di negara-negara setempat.
Dalam hal keterlibatan dalam fungsi diplomatik, saya sedang menggagas dan mendiskusikan ini dengan berbagai pihak. Saya berpikir bagaimana NU menunjuk semacam emissary (duta). Nah, ini ada peluang, karena saya menjadi anggota Komisi Indo-Pasific ini, saya ada peluang untuk bicara dengan jaringan common wealth, negara-negara persemakmuran Inggris Raya.
Mungkin, saya bisa menempatkan satu slot, untuk menempatkan satu emissary di setiap negara common wealth itu. Atau, kalau bukan negara Indo-Pasific, bisa melakukan pendekatan negara-negara selain itu yang relevan, misalnya di kawasan Asia Tenggara. Tentu saja, kita lihat nilai strategisnya.
Kalau PCINU yang ada sekarang, kita harus mengkalkulasi ulang karena banyak hal yang sensitif. Nah, saat ini kita harus melakukan persiapan-persiapan. Sehingga, Ketika saatnya teman-teman harus mengambil peran, maka akan siap [].
–Tulisan ini disarikan oleh Munawir Aziz atas ceramah Gus Yahya C Staquf dalam agenda webinar Pra Konfercab yang diselenggarakan PCINU Lebanon, pada 18 Agustus 2020.