Penafsiran terhadap praktik-praktik keberislaman yang hidup di masyarakat memang akan selalu menarik untuk diulas dan dinarasikan bersama, sebab praktik keberislaman yang berlaku di masyarakat seringkali turut menunjukkan local wisdom yang pada dasarnya telah menjadi nilai dan nafas kebudayaan bagi masyarakat.
Hal ini selaras dengan argumentasi Suparlan yang dikutip oleh Prof Nur Syam dalam desertasinya Tradisi Islam Lokal Pesisiran (Studi Kontruksi Sosial Upacara pada Masyarakat Pesisir Palang, Tuban, Jawa Timur) yang menyatakan sebenarnya agama bisa diartikan sama dengan kebudayaan, yaitu sistem simbol atau suatu sistem pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu, lantas menggunakannya untuk berkomunikasi sekaligus menghadapi lingkungannya, dan untuk simbol dalam agama lebih bersifat suci, lantas simbol dalam agama tersebut biasanya akan termanifestasikan dalam tradisi masyarakat yang disebut sebagai tradisi keagamaan.
Dan, dari tradisi keagamaan akan terbentuk suatu tipologi keagamaan yang bercorak lokal dengan segala nilai budayanya, dan Islam Agraris termasuk yang bercorak lokal dengan pemaknaan keislaman yang mempunyai relevansi dengan dunia agraris. Paradigma Islam Agrarisberikhtiar untuk memberikan sudut pandang baru yang lebih spesifik sekaligus kontekstual tentang kontruksi keberislaman yang terbangun dalam masyarakat Jawa khususnya mereka yang tinggal di wilayah agraris.
Islam Agraris sendiri merupakan suatu paradigma keagamaan yang sebenarnya juga terintegrasi dengan tafsiran Islam Nusantara, yang bentuknya menurut Prof KH Said Aqil Siroj dalam buku Filosofi Islam Nusantara Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas , tidak hanya mencakup konsep geografis namun juga konsep filosofis yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir, dalam melihat tatanan budaya dan anthropologis. Prof Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan turut memberikan perspektifnya tentang islam yang damai,terbuka, dan moderat dalam suatu kerangka yang disebut Islam Keindonesiaan, sehingga bisa dipahami bahwa Islam yang hadir di Nusantara, sejatinya mempunyai karakteristik yang inklusif, akulturatif, serta rahmatan lil ‘alamin.
Dunia Rohani dan Cara Bertuhan
KH.Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo berpendapat bahwa agama kuno dari masyarakat Jawa adalah agama Kapitayan, yang secara riwayat teologis dipercayai oleh masyarakat Jawa sebagai ajaran dari Danghyang Semar, putera Sanghyang Wungkuham keturunan Sanghyang Ismaya. Dan secara sederhana, agama Kapitayan bisa dideskripsikan sebagai ajaran keimanan yang memuja sembahan utama yakni Sanghyang Taya, yang jika diartikan, Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (dat kang tan kena kinayangapa), serta tidak dapat didekati dengan pancaindra, lalu kekuatan ghaib dari Sanghyang Taya diyakini terakumulasi dalam benda-benda yang memiliki nama sesuai dengan kata Tu atau To, contohnya : wa-Tu (batu), Tu-k (mata air), Tun-nggak (batang pohon), Tu-rumbukan (pohon beringin), To-ya (air). Tu-ngkub (bangunan suci). Maka dari penjelasan ini, bisa diketahui bersama bagaimana rumus ketuhanan masyarakat Jawa tempo dulu, yang itu turut mempengaruhi olah rasa serta cara pandang dalam dunia rohani.
Selanjutnya berdasarkan pada bentuk ketuhanan dalam ajaran Kapitayan, bisa disadari bahwa hakikat ketuhanan dalam ajaran Kapitayan mempunyai kesamaan dengan Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab Aqidah al-‘Awam karya Syekh Ahmad Marzuki, bahwa Allah sebagai tuhan itu pasti ada (wujud) walau tidak bisa dibayangkan bagaimana wujudnya serta tidak mampu dijangkau oleh pancaindra.,dan Allah itu ada tanpa perantara sekaligus tanpa ada yang mewujudkan. Maka dari penjelasan ini bisa dimaknai bersama tentang adanya relasi ketauhidan antara Kapitayan dan Islam, dan hal ini yang menurut penafsiran penulis, menjadi salah satu penyebab yang membuat masyarakat Jawa dengan terbuka menerima dan berkenan memahami ajaran Islam.
Adapun yang berkaitan dengan keyakinan pada kekuatan ghaib, seperti pada wa-Tu (batu), Tun-nggak (batang pohon), Tu-rumbukan (pohon beringin), To-ya (air), akhirnya menjadi elemen akulturasi antara keislaman dan kejawaan, dan sampai hari ini masih banyak ditemui pengkeramatan pada benda-benda tersebut, termasuk pada masyarakat agraris yang tinggal di Dusun Belung, Desa Kawesudan, Kec.Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur.
Pada masyarakat dusun tersebut, masih menuturkan tentang kekeramatan pohon-pohon tua yang disebut ringin banteng, ringin polo, lalu tumpukan batu-batu tua yang kemungkinan dari masa kerajaan, serta sumber air, dan yang perlu diketahui juga yaitu semua unsur dari pohon, batu, air terkumpul pada satu wilayah pertanian yang sama, lantas untuk bab pengkeramatan, harapan penulis janganlah tergesa untuk berkata syirik.
Menurut pengamatan penulis, pengkeramatan yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Belung, lebih pada pensikapan pada bangsa-bangsa gaib yang dianggap berkomunitas pada suatu objek atau area tertentu, lalu tentang pengkeramatan pada dasarnya adalah bagian dari sistem religi, yang menurut Rudolf Otto dalam Sejarah Teori Anthropologi I, semua kepercayaan dan agama di dunia sebenarnya berpusat kepada suatu konsep tentang hal ghaib yang dianggap keramat oleh manusia. Sehingga dengan demikian, kita mempunyai pengetahuan yang utuh untuk memunculkan respon yang bijak serta pemahaman yang luwes, tentang cara bertuhan masyarakat agraris yang khas sebagai Islam Agraris.
Lelaku Kehidupan Islam Agraris
Suatu hari penulis pernah mewawancarai singkat salah satu warga dari Dusun Belung, pertanyaan yang penulis ajukan pada beliau, “Bapak, penyebab shalat asarnya (di Dusun Belung) jam16.00, apakah karena menunggu orang-orang pulang dari sawah?”
“Iyo, bener!” jawabnya.
Dari jawaban tersebut, bisa didapatkan informasi bahwa ada semacam kontekstualisasi ibadah yang dihadirkan ditengah aktivitas pertanian pada masyarakat Dusun Belung, sehingga ada keseimbangan kepentingan antara kebutuhan bertani dan kewajiban sholat, dan adzan sholat asar pada pukul 16.00 bahkan juga pernah pukul 16.30, dijadikan penanda waktu oleh para petani untuk istirahat dan pulang ke rumah masing-masing, Selain itu, ada dzikir-dzikir agraris yang memang diijazahkan oleh para kyai kepada para petani, hal itu dilakukan demi mendukung kesuburan dan kesuksesan pertanian. Diantara dzikir agraris tersebut diambil dari Kitab Dalailul Khairat karya Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli.
Tradisi Slametan juga hampir setiap hari ada dengan berbagai hajat, sehingga hal ini menggambarkan kemakmuran masyarakat agraris. Dan dengan berbagai wujud yang ada terkait keberislaman masyarakat agraris, maka bisa turut merepresentasikan tentang urgensi serta pemaknaan dari Islam Agraris, dan paradigma Islam Agraris bisa menjadi arus pemikiran untuk melawan tudingan para orientalis seperti Van Leur yang mengatakan bahwa masuknya Islam di Nusantara tidak membawa perubahan mendalam bagi peradaban sebelumnya, jadi inilah keberislaman kita, yang dekat dan penuh rahmat.