Belakangan media sosial banyak membicarakan tentang angkat galon. Diawali dari cuitan tentang kemandirian perempuan yang kadang tidak membutuhkan laki-laki, tapi laki-laki tetap butuh perempuan sebagai pelengkap. Kemudian ada salah salah satu cuitan merespon itu dan mengatakan bahwa sebagian dari perempuan ada yang encok saat angkat galon, kemudian mempertanyakan apakah ada perempuan yang menjadi nabi. Begini, peran perempuan dan laki-laki dalam perspektif mubadalahadalah hubungan kesalingan atau resiprokal.
Wanita mandiri dan laki-laki mandiri, tetap butuh orang lain dalam hidup apapun gendernya, apapun alat kelaminnya. Mungkin jika manusia diberi kekuatan super untuk bisa menciptakan barang dan melayani dirinya sendiri, itu memungkinkan. Nyatanya, terlepas dari perbedaan gender, manusia adalah makhluk sosial yang butuh kolaborasi. Pada zaman berburu saja, manusia menggantungkan hidup pada alam dan homo sapiens lainnya kok. Apalagi sekarang, kebutuhan semakin beragam dan manusia tidak bisa memproduksi semua hal sendiri. Tetap butuh pertukaran barang dan jasa dengan manusia dan alam.
Lalu tentang angkat galon itu sebenarnya mudah sekali. Apalagi sekarang sudah ada alat bantu dispenser yang tidak perlu angkat galon, juga ada pompa galon. Perempuan atau laki-laki sama- sama bisa melakukan itu dengan atau tanpa alat bantu. Ketika tinggal sendiri di kota rantau, saya mengangkat galon dari lantai satu ke lantai dua. Sebelumnya, tentu juga saya yang menghubungi penjual galon. Saya pula yang menghabiskannya. Saat tinggal bersama orangtua dan adik, salah satu tugas saya dan Papa adalah membeli dan mengangkat galon. Di rumah, dispenser masih menggunakan galon yang harus diangkat.
Jika tidak ada Papa, maka saya yang sepenuhnya mengambil alih tugas itu. Benar, ini semua hanya tentang pembagian kerja. Bukan tentang laki-laki dan perempuan. Bukan tentang lakilaki lebih kuat secara fisik dan perempuan lebih lemah. Dalam rumah tangga, tentu saja ada pembagian kerja domestik untuk kepentingan bersama. Dalam buku “Apakah Takdir Perempuan Sebagai Manusia Kelas Dua?” Evelyn Reed menjelaskan pembagian kerja keluarga dan kerja sosial. Reed mengatakan bahwa perdebatan tentang susunan biologis perempuan yang bertanggungjawab atas inferioritas sosialnya adalah gagasan utama supremasi laki-laki.
Menurut Reed, dalam sejarah manusia pemburu dan mengumpulkan makanan, perempuan tidak dianggap cacat atau lemah karena kondisi biologisnya (mensturasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Perempuan juga tidak dipinggirkan dalam masyarakat akibat peran keibuannya sebelum terbagi dalam kelas-kelas sosial. Justru saat itu perempuan memiliki peran yang besar yaitu menjaga anak-anak, tempat tinggal, mencari makanan di sekitar mereka dan juga mengolah bahan buruan. Perempuan juga tidak selalu terpinggirkan dan inferioritas bukanlah kodrat perempuan.
Selain patriarkal, kita juga tahu adanya matriarkal yang sampai saat ini di daerah tertentu masih eksis. Memang benar kodrat perempuan karena fungsi biologisnya maka mengalami hamil, melahirkan dan menyusui. Tapi pembagian kerja bukanlah kodrat, itu hanya pembagian peran yang membutuhkan kolaborasi.
Perempuan bisa saja ada dalam pernikahan, dan memilih melakukan tugas sosial dan tugas domestik yang sama persis dengan suaminya. Perempuan dapat bekerja dan memilih tidak memiliki anak. Namun sebagian besar keluarga menikah dengan alasan salah satunya untuk regenerasi dan hanya perempuan yang dapat hamil dan melahirkan. Di sinilah terjadi pembagian peran.
Dalam persaingan pasar global, keluarga membutuhkan uang sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pembagian peran ini disebut sebagai gender, hasil konstruksi masyarakat yang tentu saja berbeda dengan kodrat. Katrine Marcal dalam bukunya “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?” menjelaskan hubungan perempuan dengan ekonomi. Sejarah mengatakan bahwa pada tahun 1960an kaum perempuan pergi bekerja. Marcal mengatakan, “Kaum perempuan tidak pergi bekerja pada tahun 1960an atau selama Perang Dunia Kedua. Kaum perempuan sudah selalu bekerja”.
Dalam perspektif ekonomi, pekerjaan domestick tidak dianggap sebagai pekerjaan karena tidak menghasilkan uang. Simone de Beauvoir mengatakan bahwa dalam sistem patriarki, perempuan adalah “the second sex”. Sebagaimana jenis kelamin kedua, perempuan menjadi penghuni kelas dua. Kemudian ada istilah “perekonomian kedua” yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh laki-laki. Sehingga kerja perempuan adalah “yang lain”, the other, atau liyan.
Marcal mengatakan bahwa perempuan dibebani tugas mengurus yang lain, bukan memaksimalkan perolehannya sendiri. Masyarakat memberitahu bahwa perempuan tidak bisa rasional karena fungsi biologisnya-melahirkan. Karena kerja keluarga tidak menghasilkan uang, maka kerja perempuan berada di bawah posisi laki-laki. Dalam dunia ekonomi, semua hal ada label harganya. Tapi tidak dengan kerja domestik yang dibebankan kepada perempuan. Ketika perempuan pergi bekerja, mereka juga akan mendapatkan beban ganda karena peran domestik yang katanya kodrat. Maka dari itu, perempuan dianggap tidak bisa bekerja maksimal sehingga gaji mereka juga dibawah gaji laki-laki pada jabatan yang sama.
“Perempuan mengandung anak berarti perempuan mengandung anak. Bukan berarti dia harus tinggal di rumah dan mengurusi anak itu hingga usia kuliah”, kata Katrine Marcal. Saya jadi ingat cerita Eyang Habibi dan Eyang Ainun yang melakukan diskusi terkait pembagian kerja, siapa yang bekerja dan siapa yang mengurus urusan domestik. Itu tentang kesepakatan. Jika kita melihat perempuan sebagai makhluk yang inferior karena kondisi biologisnya, tentu itu sebuah kesalahan. Mensturasi, hamil, melahirkan dan menyusui itu butuh fisik yang kuat dan prosesnya menyakitkan.
Jika perempuan dianggap inferior karena dalam pembagian kerja melakukan tugas domestik, tentu itu juga tidak benar. Suami dapat bekerja juga karena perempuan mengambil alih tugas lainnya. Hanya karena pekerjaan ini tidak digaji, bukan berarti perempuan inferior yang takdirnya hanya diatur dan pasif. Jika kita mengecilkan tugas perempuan dalam kerja keluarga, dan meminggirkan perempuan dalam kerja sosial, maka perempuan dipandang inferior dan ditempatkan pada kelas dua yang posisinya selalu di bawah laki-laki. Jika pempuan tidak mandiri secara finansial, biasanya karena memang dibiasakan dan ditempatkan begitu.