Sedang Membaca
Puasa di Kampung Babakan Betawi Indramayu
Avatar
Penulis Kolom

Guru Inklusi di SDI al Azhaar Kedungwaru Tulungagung.

Puasa di Kampung Babakan Betawi Indramayu

121768223

Mengingat puasa berarti mengingat kenangan. Ya, puasa Ramadan adalah bulan penuh kenangan. Bulan di mana kerinduan menyeruak ke setiap sendi-sendi kehidupan. Apalagi bagi mereka yang tengah merantau suasana puasa di kampung terasa melambai-lambai. Hal itu terjadi pula di kampung Babakan tempat kami meninggalkan banyak kenangan di sana.

Babakan Betawi adalah nama kampung kami. Kampung Babakan Betawi lebih tepatnya terletak di Kecamatan Gantar Kabupaten Indramayu. Di sana hidup banyak orang dari berbagai etnis terutama bertemunya tiga tradisi lokal, Sunda, Jawa Ngapak Dermayu dan Betawi. Kampung Babakan Betawi sering kami sebut BBT atau saat bulan puasa seperti saat ini kenangan kami terhadap kampung kecil itu sangat tergambar jelas.

Bulan puasa bulan menempa diri. Suasana perkampungan nan sepi sontak berubah menjadi penuh religi maklum saja banyak orang mengaji. Tajug atau musholla tak pernah sepi sejak pagi hingga malam hari. Dulu di era tahun 2000 ke bawah suasana perkampungan nan asri begitu terasa. Tapi sudah 20 tahun lebih hingga saat ini semua suasana itu hanya tinggal cerita. Era milenium memang ampuh mencaplok segala kenangan yang ada.

Sebelum gadget masif diminati anak-anak suasana kampung Babakan begitu hidup. Sejak malam hari mereka tarawih, tadarus dan paginya berolahraga bersama. Tak lupa pula siang hari sebelum ngaji turutan dimulai kami terbiasa tidur-tiduran di tajug. Bahkan tak jarang kami lebih sering tertidur di tajug dengan segala kesejukannya. Setelah itu selepas ngaji sambil ngabuburit menunggu berbuka tiba sajian bumbung atau bledogan menggelegar merdu. Suara desingnya tak kalah dari mercon ala orang kota itu. Anak-anak juga asyik berlarian di antara sarung-sarung yang dilipat dan dijadikannya topeng ninja.

Baca juga:  Perempuan dan Filosofi Rias Manten Jawa

Suasana begitu gegap gempita apalagi sambil menyaksikan parade bapak-bapak berdaster sambil main bola di lapangan sawah belakang rumah. Rasanya begitu asyik dan sangat terhibur dibuatnya. Di sisi lainya pengajian-pengajian kitab dan mp3 digelar dan terus berbunyi. Di kampung Babakan itulah tempat di mana tradisi budaya dan ngaji saling bertalian erat satu sama lain.

Jika tiba malam hari sebelum pelaksanaan shalat tarawih ada sajian krupuk sambel yang dibeli dari warung tetangga. Rasanya pedas gurih dan pastinya membuat ketagihan. Kadang kami mencuri-curi waktu di saat tarawih hanya untuk membeli panganan rakyat itu. Pada momen tadarus pun adalah bagian yang ditunggu karena anak-anak mengaji sambil menunggui sajian jajanan di sampingnya. Bahkan tidak jarang selepas tarawih suara petasan silih berganti bertaluan menyambut malam dengan qiyamullail.

Saat dinihari para seniman jalanan mulai berseliweran. Mereka menunjukkan kebolehan dengan berkeliling, menabuh alat musik bernama patrol alias ngobrog. Alat musik yang dulunya terbuat dari kulit sapi lalu ditabuh itu melahirkan harmoni. Orang bersahutan mengumandangkan sahur, sahur, dan membangunkan ibu-ibu memasak. Semua nampak normal saja tanpa ada yang terganggu. Justru di pagi hari kadang para tim obrog sering diberi uang dan beras untuk lebaran.

Baca juga:  Bubur India Takjil Favorit Warga Semarang dari Masjid Pekojan

Kampung Babakan riwayat mu kini. Entah sudah berapa tahun kami meninggalkan mu. Atau untuk sesekali mengunjungi mu di kala ritual nyekar bersama keluarga, kami menyebutnya munggahan. Atau di saat perayaan lebaran tiba lagi-lagi sesudah sanak saudara, makam adalah tujuan selanjutnya. Ada yang bahagia, ada yang pulang pergi dan tiada. Semua bercampur di momen nan fitri itu. Akan tetapi seperti pada umumnya kami selalu berlebaran dengan saling menghantarkan makanan ke tetangga. Tak lupa pula setelah saling memohonkan maaf kepada sesama atas segala khilaf dan dosa.

Semua kenangan indah saat puasa ramadan masih kami simpan rapih dalam memori. Paling sesaat ketika rindu muncul suara hati merintih tak kuasa menahan tangis batin. Katanya lelaki tak boleh menangis nyatanya di momen seperti itulah perasaan tak kuasa berbohong. Semua ada fase di mana aliran kerinduan tak bisa dibendung. Hanya beberapa saat dikenang barangkali dalam diskusi atau sekadar foto di dinding kamar.

Sungguh sayang semua hal baik dan penuh kenangan itu sukar kita temui lagi di zaman ini. Hal-hal yang bersifat kenangan masa kecil itu tinggal menyisakan puing-puing, semua sudah terkikis zaman. Entah kapan lagi hal menarik ketika puasa itu bisa terulang. Bahkan kami masih sangat hafal aroma masakan ibu dan debur air ketika mandi di kali. Sungguh mengapa kenangan cepat berlalu. Mengapa tradisi dan hal baik mudah usang karena pergantian zaman. Ahh sudahlah semua tak usah disesali. Kini kita saatnya mengingat dari masa lalu, menjadikannya miqat untuk menyambut masa depan. Terus hidup dengan penuh syukur dan mempersiapkan diri menuju kampung akhirat, perkampungan keabadian.[]

Baca juga:  Tradisi Malam Lailatul Qadr di Ternate: Harmonisasi Raja dan Rakyat
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top