Sedang Membaca
Narges Kalhor, Si Pendobrak Sinema Iran
Wella Sherlita
Penulis Kolom

Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.

Narges Kalhor, Si Pendobrak Sinema Iran

KinoFest 2024, di Goethe Institut Jakarta pada 10-13 Oktober 2024.

“Jika saya tetap di Teheran, saya tak mungkin bisa menjadi sutradara”

Auditorium Goethe Institut pada hari Minggu (13/10) dipenuhi para penonton untuk menyaksikan ‘Shahid’, sebuah dokufiksi karya sineas perempuan Iran, Narges Kalhor. Film ini menjadi satu dari sebelas film yang ditayangkan dalam program KinoFest 2024, di Goethe Institut Jakarta pada 10-13 Oktober 2024.

‘Shahid’ (2024) memenangkan penghargaan ‘Arthouse Cinema’ dalam Berlinale Film Festival tahun ini dan dibuat berdasarkan kisah pribadi Kalhor, sutradara kelahiran Teheran 1984. Nama lengkapnya adalah Narges Shahid Kalhor. Saat meminta suaka di Nuernberg pada 2009, nama tengah ‘Shahid’ jelas mengundang berbagai persepsi dan pertanyaan.

“Bagi saya ini pengalaman yang sangat menakjubkan karena setelah 15 tahun saya merasa bagaikan makhluk asing di Jerman, tapi sekaligus senang karena masyarakat yang menyaksikan film ini bisa terhubung secara pribadi dengan cerita tokoh perempuan. Ia mencoba untuk mencari solusi,” ungkap Kahlor mengawali perbincangan.

Aneka syarat administrasi untuk mendapatkan suaka ikut ditulis di atas layar, yang seolah-olah menjadi papan tulis penuh kalimat pertanyaan, hingga menutupi wajah para pemain. Adegan ini segera mengundang tawa kecil para penonton.

Kalhor menyebut filmnya sebagai dokufiksi, yang bermakna lebih dari sekedar dokumenter. Dokufiksi adalah genre hibrida yang menggabungkan unsur dokumenter dan fiksi. Beberapa pendapat menilai genre ini bisa menimbulkan kekhawatiran etis tentang kebenaran, karena kenyataan dapat dimanipulasi dan dikacaukan dengan fiksi.

Baca juga:  Pesan Kiai A’la untuk Presiden Jokowi

Namun Kalhor dengan cerdik menggunakan sejarah Iran dan riwayat keluarganya dalam bentuk animasi dan metafora. Penonton disuguhkan dengan kenyataan pahit tragedi politik di masa lalu, yang berakhir dengan Revolusi Iran 1979. Kembalinya kuasa Mullah berujung dengan penjatuhan sanksi ekonomi oleh negara-negara Barat, yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Iran.

“Film ini sebagian besar menggunakan bahasa Persia karena saya percaya Jerman bukan negara yang (warganya) hanya menggunakan bahasa Jerman saja, dan saya harap film ini kelak dapat diingat sebagai film produksi Jerman. Ini memang film protes saya yang didukung pemerintah Jerman,” jelas Kalhor.

Di Iran sendiri, Kalhor memang bukan orang sembarangan. Ayah kandungnya merupakan penasihat bidang budaya (mantan) Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Proses pencarian suakanya ke Jerman menjadi berita heboh tak hanya di Iran, tapi juga ramai diberitakan di media-media asing, seperti AS dan Australia.

“Di Iran, kaum pria bertanggung jawab penuh atas nasib perempuan, termasuk ayah dan suami. Dengan posisi ayah saya dalam rezim pemerintahan masa itu, tentu sangat sulit bagi beliau untuk memberikan izin. Saya sempat lama tidak mengontak ayah saya, sedangkan saya harus cepat-cepat mendapatkan izin mencari suaka atau ke Turki. Dua tahun pertama adalah masa-masa paling sulit. Ibu saya bercerai dengan ayah dan kini menjadi perempuan bebas yang kapan saja bisa mengunjungi saya ke Jerman,” kisah Kahlor.

Baca juga:  PCINU Jepang Rayakan Maulid Nabi Serentak di Tiga Kota

Dengan peraturan seketat itu bagi perempuan, ia berkarya secara ‘underground’. Tahun 2001-2009 menjadi masa-masa paling produktif. Tamat belajar penyutradaraan film di Sekolah Film Teheran, ia meneruskan ke bidang komunikasi visual di Universitas Sains Terapan Kamalolmolk, sambil bekerja sebagai editor film di sebuah biro iklan dan membuat film pendek.

Pada 2009, ia mengikuti Festival Film Hak Asasi Manusia Internasional Nuremberg (NIHRFF) bersama film pendeknya “Die Egge”. Saat suaka politiknya dikabulkan, Kahlor belajar di Universitas Televisi dan Film Munich. Film keduanya, “Shoot Me” dinominasikan untuk Penghargaan Film Pendek Jerman dan memenangkan kategori Nonfiktionale 2014.

Narges Kalhor juga bekerja sebagai seniman video untuk berbagai pameran dan museum. Pada tahun 2014 ia menerima Penghargaan Seni Video Terbaik untuk “Kafan” di Festival Film Underdox di Munich, dan pada tahun 2016 memamerkan instalasi video “Nosferatu Is Not Dead”, sebagai kerja kelompok di Lenbachhaus di Munich. Film universitas ketiganya “GIS” dinominasikan untuk Penghargaan Film Pemula Kota Munich.

Saat para sineas Iran mengangkat drama-drama personal yang subtil — dan ini yang menjadi keunggulan sinema Iran, seperti ‘The White Balloon’ (1995) karya Jafar Panahi atau ‘A Separation’ (2011) oleh Ashgar Farhadi, Kalhor mengangkat tema kebebasan secara terbuka dengan pengayaan imajinasi dan metafora. Ia mewakili kegelisahan kaum muda Iran.

Baca juga:  Santri Harus Menjadi Fa'il di Era Digital

Film kelulusan Narges Kalhor “In the Name of Scheherazade” (2019) tayang perdana secara internasional di ajang Visions Du Réel di Nyon, Swiss. Film ini sukses menyabet sejumlah penghargaan, diundang ke festival nasional dan internasional, serta dirilis di bioskop Swiss pada Februari 2020.

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top