Malam pembukaan ‘Madani International Film Festival (MIFF) 2024’ pada Kamis malam (3/10) berlangsung meriah. Studio 1 Cinepolis Senayan Park dipenuhi para penonton dari berbagai kalangan. Beberapa tokoh terlihat lalu lalang, mulai dari pengamat media yang kini politikus PSI, Ade Armando, sutradara Garin Nugroho, putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, hingga aktris peraih piala Citra, Sha Ine Febriyanti. Ine tampil membawakan puisi mengenai Palestina.
Tahun ini menjadi tahun penyelenggaraan ke-7 Madani International Film Festival, yang mengangat tema ‘Marwah’ atau dignity dan fokus pada isu Sudan dan Palestina.
Menurut Direktur Board MIFF, Putut Widjanarko, panitia menerima 1.500 film yang didaftarkan dari seluruh penjuru dunia dan mengerucut pada 16 finalis. Dari jumlah tersebut, panitia memilih 76 film panjang dan 163 film anak-anak dari berbagai negara.
Isu Palestina dan Sudan dijadikan fokus MIFF 2024 karena banyak persimpangan ide-ide kemanusiaan yang patut dipertanyakan.
“Ada pameo yang katanya jika Palestina belum merdeka maka rasanya kemerdekaan kita belum lengkap, karena masih diupayakan dan tujuannya untuk mencapai kondisi martabat yang setara bagi semua orang,” ujar Ekki Imanjaya, mewakili Board MIFF 2024.
“Goodbye Julia” (2023) dipilih menjadi film pembuka. Konflik-konflik pribadi antarmanusia dalam kisah ini berlatar perang saudara di Sudan Utara yang dihuni oleh mayoritas Muslim dan Sudan Selatan yang warganya beragama Kristen.
Sutradara Mohamed Kardovani sukses menampilkan film berlatar konflik bersenjata ini dengan subtil. Kisahnya diawali dengan kehidupan tak normal saat pecah perang saudara di Sudan.
Sepasang suami istri di Sudan Utara mempekerjakan Julia, seorang perempuan Sudan Selatan, sebagai asisten rumah tangga. Tanpa diketahui Julia, suaminya ternyata tewas ditembak pria yang mengizinkan istrinya mempekerjakan Julia di rumah mereka. Dari sini konflik demi konflik bergulir, ditutupi kebohongan yang berlapis-lapis dengan kejutan di sana sini.
Resolusi Konflik
Sutradara Garin Nugroho memuji “Goodbye Julia” karena mengangkat film berlatar perang yang tidak selamanya harus ditampilkan secara fisik, melainkan dari kisah pribadi dua tokoh utama perempuan.
“Ini kan (kisahnya) tentang resolusi konflik dengan sangat terbuka tapi tidak (ditampilkan) dengan propaganda. Nah ini berbeda dengan film-film kita yang sangat ‘hitam putih’ jika mengangkat persoalan resolusi konflik, sangat mendoktrin. Lalu kalau filmnya (dibiayai) LSM ya tematik LSM banget. Kalau film ini ada tujuan yang bisa sampai ke penonton. Kisah subtil yang personal. Resolusi konflik selain penyelesaian yang konvensional juga dapat melalui cara-cara semacam ini,” ungkap Garin.
Dua film karya Garin Nugroho yang berlatar konflik adalah ‘Puisi Tak Terkuburkan’ (2000) dan ‘Aku Ingin Menciummu Sekali Saja’ (2002). Keduanya dibuat dalam bentuk feature panjang karena ia lebih ingin menonjolkan aspek kemanusiaan yang tidak disertai metode-metode terukur yang lazim dalam penyelesaian konflik.
Madani International Film Festival 2024 akan berlangsung pada 3-6 Oktober 2024. Beberapa lokasi pemutaran film adalah Taman Ismail Marzuki dan Auditorium Kampus Binus Alam Sutra. Selain itu ada sejumlah program bincang-bincang film di Auditorium Kampus Universitas Paramadina Cipayung.
Festival film Madani sudah berlangsung selama 7 kali, dan menjadi sebuah praktik baik moderasi beragama di Indonesia. Tema-tema yang disuguhkan memantik nalar kritis dalam kehidupan berbangsa, sehingga para penonton yang mayoritas muslim kota mampu menerapkan dalam laku keseharian. Toleran, harmonis, menerima perbedaan, mengutamakan kemanusiaan, tidak merasa benar sendiri dalam beragama, dan masih banyak lagi.
Para penonton festival film ini bahkan diharapkan lebih peka dalam menyikapi kemanusiaan global. Apa yang terjadi di Palestina dan Sudan diharapkan mampu mengulik jiwa kemanusiaan, tidak hanya solidaritas untuk dua negara itu, namun juga solidaritas antarwarga bangsa. Jika festival film seperti ini bisa merambah kota-kota lain, efeknya bisa lebih besar bagi kehidupan keberagamaan dan kemanusiaan kita.
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.