Sedang Membaca
Indonesia Punya Potensi Besar Menjadi Mediator Konflik Israel-Palestina
Wella Sherlita
Penulis Kolom

Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.

Indonesia Punya Potensi Besar Menjadi Mediator Konflik Israel-Palestina

Indonesia Punya Potensi Besar Menjadi Mediator Konflik Israel-Palestina

Tak mudah untuk memprediksi berapa lama gencatan senjata antara Israel dan Hamas dapat bertahan. Namun ini bukan berarti peranan dunia Islam ‘mandek’ atau gagal dalam menengahi konflik terlama di Timur Tengah itu. Indonesia dan Malaysia bahkan dinilai memiliki potensi besar sebagai mediator. Hal ini diungkapkan oleh Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial dari Universitas Ankara, Turki, Profesor Mehmet Akif Kireçci, usai memberikan kuliah umum bertajuk “Diplomacy Amid Turmoil: Insights from Turkey’s Humanitarian Path for Global Peace” di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (23/1).

“Kekuatan Indonesia dan Malaysia besar, dengan wilayah yang damai dan bisa bekerjasama,” ungkap Kireçci. Namun ia mengakui situasi pascagencatan senjata memang rumit, belum lagi menantikan sikap Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang baru saja dilantik. Sementara di pihak Israel, tidak semua anggota kabinet Netanyahu sepakat akan gencatan senjata dengan Hamas.

Berikut wawancara Alif dengan Profesor Kireçci: 

Alif: Terima kasih atas waktu yang diberikan. Bagaimana Anda menilai sikap dunia Islam mengenai gencatan senjata Israel dan Hamas, apa tantangan terbesarnya dan bagaimana sikap negara-negara Teluk?

Profesor Kireçci: Mereka sangat mempertaruhkan keamanan regional dan batasan waktu yang terikat dengan AS dalam mengangkat isu gencatan senjata ini. Jika mereka bersatu untuk tujuan damai, khususnya negara-negara Teluk, saya kira mereka akan mampu menciptakan tingkat kekuatan sebagai bagian dari sekutu AS. Tapi di lain pihak, kita ingat ada ‘Perjanjian Abraham’ (Abraham Accord) antara negara-negara Arab dengan Israel yang juga membatasi kesediaan mereka untuk mengangkat isu ini. Juga ada persoalan lain terkait persepsi mengenai Hamas. Jadi saya kira mereka tidak seketika merasa nyaman dengan pelibatan Hamas, khususnya pada beberapa negara teluk. Ini persoalan utama, atau bisa juga kedua.

Baca juga:  Jelang Muktamar, Kolaborasi PCINU Siap Jadi Tulang Punggung Transformasi Digital Pesantren dan Nahdliyyin

Alif: Apa yang kiranya bisa menyatukan persepsi mereka, di luar pro kontra mengenai pelibatan Hamas dalam perjanjian gencatan senjata?

Profesor Kireçci: Saya yakin meskipun negara-negara teluk masing-masing memiliki hubungan bilateral dengan Israel, namun tak satupun dari mereka ingin melihat Gaza hancur dan rakyat sipilnya mati terbunuh. Mereka tak ingin menyaksikan ini, jadi mereka harus terus saling berkoordinasi. Saya kira jika kita berbicara mengenai peran dunia Islam maka tak harus dari negara-negara Arab dan Teluk. Menurut saya, suara dunia Islam yang lebih besar bisa berasal dari negara-negara Islam di Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Kekuatan mereka besar, dengan wilayah damai dan lebih kooperatif.  Saya rasa mereka dapat menyuarakan pendapat yang sah karena mereka tidak mempunyai kepentingan apa pun dalam hal ekonomi, keamanan, kekuasaan dan sebagainya. Saya melihat hal ini tidak hanya bersifat kemanusiaan tetapi juga berdasarkan hukum internasional agar negara-negara Muslim di Asia dapat lebih bersuara.

Alif: Dukungan masyarakat sipil dunia begitu besar terhadap Palestina. Solidaritas terbangun dalam masyarakat muslim dan nonmuslim. Apa pendapat Anda mengenai fenomena ini? 

Profesor Kireçci: Saya melihatnya sebagai bangkitnya kesadaran kemanusiaan dari masyarakat dunia. Public consciousness. Ada kecaman besar terhadap apa yang dilakukan Israel di Gaza terhadap warga sipil, dan ada kecaman besar terutama di Amerika Serikat. Publik bertanya-tanya, mengapa pemerintah mendukung kekejaman tersebut? Jadi menurut saya hal ini akan melekat di benak generasi muda selama beberapa dekade mendatang.

Baca juga:  Peran Satgas NU dalam Mengatasi Pandemi di Pesantren: Wawancara Eksklusif dengan dr. Muhammad Makky Zamzami

Alif: Tapi apakah aksi demo mahasiswa dan masyarakat sipil ini turut mendorong proses gencatan senjata, apakah ini ikut menekan pemerintah AS untuk secepatnya mendorong Israel melakukan gencatan senjata?

Profesor Kireçci: Tidak, tidak, Israel tidak peduli dengan demo-demo atau sentimen masyarakat dunia atas apa yang mereka lakukan di Gaza. Saya bertanya-tanya bagaimana mereka merujuk pada kekejaman Jerman terhadap penduduk Yahudi selama Perang Dunia II, dan itu digunakan untuk melegitimasi apa yang mereka jadikan rujukan dalam bertindak. Jadi, di mata generasi muda, legitimasi yang digunakan Israel sudah sangat terguncang dan itu didukung oleh AS. Mahasiswa AS sangat gigih mencari kebenaran tentang apa yang terjadi di lapangan dan mereka sangat berani. Sungguh ironis bahwa dengan prinsip yang sama yang dihasilkan karena kekejaman yang dilakukan terhadap orang-orang Yahudi, orang-orang Yahudi juga melakukan kekejaman terhadap orang Palestina. Jadi menurut saya masih banyak yang perlu diperdebatkan, didiskusikan dan dipikirkan, untuk direnungkan di tahun-tahun mendatang mengenai masalah ini.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top