Sedang Membaca
Mbah Kiai Ahmad Shodiq: Kiai Sederhana dan Tidak Tergiur Politik
Wahyu Ceha
Penulis Kolom

Kuncen di Komunitas Ngaji dan Literasi Samawi, Banyumas, sedang merampungkan sekolah di Pascasarjana IAINU Kebumen. Menetap di Banyumas, aktifitas keseharian sebagai Tukang Sapu di PCNU Banyumas. Dapat dihubungi melalui Facebook; Wahyu Ceha dan Instagram; wahyu_ceha.

Mbah Kiai Ahmad Shodiq: Kiai Sederhana dan Tidak Tergiur Politik

Langgar Laweyan, Langgar Tertua di Surakarta

Sosoknya memiliki perawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, juga tidak kurus dan tidak gemuk. Tinggi badannya antara 165 cm. Sosok yang sederhana, dengan wajah teduh dan penuh wibawa. Ada kharisma yang memancar dari dalam jiwa. Tentu, sematan tersebut pantas ditujukan kepada Mbah Kiai Ahmad Shodiq Pasirraja.

Pada waktu Kabupaten Banyumas dipimpin oleh Pak Bupati Kol. Inf. R. G. Rudjito (menjabat sebagai Bupati pada tahun 1978-1988 M.) Mbah Kiai Ahmad Shodiq pernah ditimbali oleh Pak Bupati. Saat itu Mbah Kiai Shodiq diundang untuk menghadiri acara Soekarno Agung. Sebelum dijabat oleh Pak Rudjito, Banyumas sempat dipimpin oleh seorang Bupati yang bernama Letkol. Inf. Soekarno Agung (menjabat sebagai Bupati pada tahun 1966-1971 M).

Mbah Kiai Ahmad Shodiq, sebagaimana dituturkan oleh Mbah Zen tidak memiliki banyak celana yang necis, karena lebih sering memakai sarung. Maka pada saat itu, Mbah Kiai Shodiq meminjam celana santrinya, ketika hendak menghadiri acara Soekarno Agung. Tujuan Mbah Kiai Shodiq tidak lain sebagai bentuk menghormati undangan Pak Bupati. Namun hal unik terjadi, masih dari penuturan Mbah Zen, bahwa saat itu Pak Bupati justru memakai sarung, tujuannya juga sama, yaitu menghormati Mbah Kiai Shodiq.

Tentu, dari kisah tersebut mengandung makna, bahwa berlomba saling hormat menghormati dalam kebaikan telah dicontohkan oleh tokoh besar di Banyumas. Bagaimana Mbah Kiai Shodiq memberikan teladan akhlak yang bijak kepada generasi-generasi selanjutnya. Teladan akhlak, yaitu jiwa menghormati sekaligus menghargai seorang pimpinan.

Baca juga:  100 Tahun Soeharto (1): Bocah dan Doa

Selain kisah tadi, Mbah Kiai Ahmad Shodiq bin Raji Mustofa menjadi sosok yang ditakuti oleh Jepang. Pernah pada saat itu, Mbah Kiai Ahmad Shodiq menolak saat disuruh menghadap Pimpinan Jepang. Ini menjadi bukti, bahwa Mbah Kiai Ahmad Shodiq memiliki kecintaan terhadap Tanah Air. Bukan hanya itu, Mbah Kiai Shodiq sering memberikan wejangan kepada masyarakat, terutama kepada pemuda-pemudi agar berani melawan penjajahan. Maka dari itu, sosok Mbah Kiai Shodiq dapat dikatakan sebagai ‘charger’ bagi kawula muda. Wejangannya sering dinanti untuk menambah semangat dan kecintaan terhadap Tanah Air.

Mbah Kiai Ahmad Shodiq merupakan sosok yang sederhana dan tidak tergiur dengan politik. Diungkapkan oleh Mbah Zen, bahwa Mbah Kiai Ahmad Shodiq tidak masuk pengurus organisasi keagamaan apapun, baik NU ataupun Muhammadiyah. Akan tetapi, amaliyah Mbah Kiai Ahmad Shodiq lebih kepada amaliyah orang NU. Artinya, Mbah Kiai Shodiq memilih jalan kultural dalam berdakwah. Begitupun dengan partai politik apapun, tidak tertarik sama sekali dengan partai politik. Mbah Kiai Ahmad Shodiq lebih memilih istikomah dan nyaman dalam syiar agama.

Sejarah kelahiran Mbah Kiai Shodiq kurang bisa dilacak. Namun, menurut informasi dari Mbah Zen, Mbah Kiai Shodiq lahir pada tahun 1917, dan meninggal pada hari Jumat 18 Januari 1980 di Dusun Pasirraja, Desa Bantarsoka, Kecamatan Purwokerto Barat. Selang beberapa hari kemudian tepatnya hanya 110 hari kemudian atau tepatnya tanggal 7 Mei 1980 isrinya yang bernama Nyai ‘Aisyah menyusul menghadap sang Illahi.

Baca juga:  Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (1): Santri Tekun, Teladan Keilmuan

Mbah Shodiq merupakan tokoh yang menyebarkan syiar Islam di Purwokerto dan sekitarnya. Beliau termasuk mursyid tarekat Syadziliyah yang diturunkan dari gurunya Syaikh Ma’ruf dari Surakarta. Ayahnya bernama Mbah Kiai Raji Mustofa, seorang yang sederhana dan selalu mengutamakan untuk mengkaji agama. Mbah Kiai Raji Mustofa mewanti-wanti kepada Mbah Kiai Shodiq untuk mengikuti pola kehidupan ayahnya.

Mbah Kiai Shodiq menikah dengan Nyai ‘Aisyah yang berasal dari Purwokerto dan dikaruniai enam orang anak. Anak-anak Mbah Kiai Shodiq adalah Kiai Ahmad Sonhaji, Nyai Muntamah, Nyai Minifah, Ning Shodiqoh, Ning Fatimah dan Ning Sa’adah. Namun sayang putra-putra beliau tidak dapat meneruskan perjuangan ayahnya dalam mengembangkan Islam, karena putri-putri beliau sudah meninggal dunia, sementara putra laki-laki satu-satunya meninggal pada waktu usianya masih remaja.

Beliau meninggalkan Musholla dengan nama Musholla Langgar Kidul. Musholla yang dijadikan basis dakwah kuktural. Musholla Langgar Kidul menjadi pusat syiar Islam yang dilakukan oleh Mbah Kiai Shodiq pada waktu beliau masih hidup. Kini Musholla tersebut dikelola oleh menantunya yang bernama Kiai Iskandar.

Tulisan ini menjadi ikhtiar membangun kenangan masa silam, tentang kisah dan kiprah yang dilakukan oleh Mbah Kiai Shodiq dalam berjuang menyebarkan syiar Islam. Selain itu, tulisan ini menolak untuk melupakan jasa-jasa yang telah diberikan Mbah Kiai Shodiq Pasirraja.

Baca juga:  Ngangsu Kawruh dari Wong Dzolim: Obituari Abdullah Wong

Sumber Bacaan;

Khusnul Khotimah, Peran Tokoh Agama Dalam Pengembangan Sosial Agama di Banyumas, LPPM IAIN Purwokerto, 2015.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top