Permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masail setidaknya terkelompokkan menjadi tiga jenis, maudlui’iyah, waqi’iyah dan qonuniyah. Maudlu’iyah merupakan jenis masalah yang bersifat tematik atau konseptualis. jawaban yang dituju pun berbentuk draf pembahasan secara utuh yang terkonsep. Terdiri dari definisi, dalil, dan penjabaran konsep tersebut.
Masalah waqi’iyah ialah masalah yang berupa isu-isu aktual yang butuh untuk segera dijawab dan diketahui hukumnya. Sehingga biasanya jawabannya hanya terfokus pada masalah yang ditanyakan. Sedangkan qonuniyah adalah persoalan yang berkaitan dengan perundang-undangan.
Metode pembahasan dalam bahtsu masail setidaknya terpetakan menjadi dua, Qouli dan Manhaji. Metode Qouli (tekstualis) adalah pembahasan masalah dengan mencarikan jawabannya pada keterangan tekstual yang tertera dalam turats, atau jika obyek pembahasan tersebut tidak ditemukan dalam turats maka dianalogikan dengan dengan salah satu obyek pembahasan yang telah dirumuskan hukumnya disana. Cara yang kedua ini sering disebut dengan ilhaq al masail bi nadzairiha (menganalogikan beberapa masalah dengan mencari titik persamaannya).
Tentunya dalam model ilhaq, ada bebarapa syarat yang harus dipenuhi. Yakni kerangka obyek masalah yang tertera dalam turats harus wujud dalam obyek masalah yang dibahas, seperti ‘ilat (alasan hukum dikeluarkan), dlowabit (standar) dll. Kedua Metode inilah yang banyak berlaku di lingkungan bahtsul masail.
Berbeda dengan metode qouli, metode manhaji (metodologis) ialah proses istinbath hukum (menggali hukum) dengan cara mengikuti metodologi fikih para imam madzhab (ushul fikih). Metode ini dilaksanakan jika obyek pembahasan tidak ditemukan hukumnya dalam ‘ibarat (keterangan tekstual) kitab, dan tidak memungkinkan melakukan ilhaq Al-masail.
Namun, metode ini masih jarang dipakai. keengganan serta sikap tawadu’ para kiai yang menjadi salah satu faktornya. Juga metode qouli dan ilhaqi dirasa masih tetap dapat menjawab pelbagai masalah aktual. Terbukti jika melihat banyaknya bahtsul masail waqi’iyah (pembahasan hukum masalah-masalah aktual) akan ditemukan rumusan yang sangat relevan dan solutif, meski dihasilkan melalui metode qouly maupun ilhaqi.
Seluruh metode pengambilan hukum dalam bahtsul masail pada dasarnya tetap merujuk pada alqur’an dan hadits sebagai sumber primer syariat. Namun dalam praktiknya, proses penggalian tersebut menggunakan maraji’ (reverensi) berupa kitab kitab salaf yang ditulis oleh para pakar fikih terdahulu. Dengan merujuk ke kitab-kitab para ulama’ tentu hukum yang di hasilkan akan lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan, karena kitab-kitab tersebut ditulis oleh para pakar yang mengusai seluruh cabang keilmuan islam secara mendalam, terutama ilmu fikih. Selain itu, kitab-kitab tersebut telah melalui telaah dari generasi ke generasi sehingga diakui kevalidannya (mu’tabarah).
Mengapa harus memakai kitab kuning dan tidak langsung ke Al-Qur’an dan Hadits? Logikanya, ketika anda sakit pasti akan datang kepada dokter spesialis sesuai penyakit anda. Ketika mobil anda rusak, anda akan mendatangi teknisi mesin yang mahir. Apalagi dalam masalah hukum islam. Kepakaran dan keahlian merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi seseorang untuk menggali hukum langsung dari Al-Quran dan Hadits.
Al-Qur’an dan hadits pasti benar, namun apakah pemahaman kita sesuai dengan yang dimaksud dalam dua warisan nabi tersebut? Maka dari itu, dibutuhkan akal yang cerdas dengan penguasaan keilmuan yang tinggi serta hati bersih yang bebas dari keterkaitan hawa nafsu untuk merumuskan hukum langsung dari al qur’an dan hadits. Sejarah mencatat, sangat sedikit ditemukan orang-orang memenuhi kriteria sebagai mujtahid karena syarat-syarat yang harus dipenuhi sangat ketat.
Syarat – syarat mujtahid sangat banyak. Diantaranya harus memahami ayat ayat yang menjelaskan hukum beserta tafsirnya, ilmu-ilmu Al-Qur’an mencakup asbabun nuzul (sebab diturunkanya sebuah ayat), nasikh-mansukh (revisi ayat dan hukumnya), ‘am – khos (kajian kata yang bersifat umum dan khusus), mutlaq-muqoyyad (kajian tentang ayat yang diberi batasan dan tidak), mujmal-mubayyan (jenis-jenis kata global dan sebaliknya), manthuq-mafhum (jenis kata yang maknanya eksplisit dan implisit). Juga masih banyak lagi cakupan ilmu -ilmu alquran yang tertuang dalam kitab-kitab ilmu tafsir.
Selanjutnya, mujtahid harus menguasai hadits-hadits yang bermuatan hukum beserta syarah-nya, serta ilmu hadits baik riwayah maupun diroyah, yang mencakup jarh wa ta’dil (kajian tentang standar perawi hadits yang riwayatnya bisa diterima), mutawatir – ahad (kajian tentang kepastian kebenaran hadits berasal dari nabi , dengan meneliti jumlah perawinya), jenis-jenis hadits yang bisa dijadikan sumber hukum serta yang tertolak seperti shahih, shahih li ghoirih, hasan, hasan lighoirih, dloif, mursal, maudlu’, marfu’, munqothi’. Serta kajian-kajian ilmu hadits lain yang dibahas dalam kitab-kitab musthalah al hadits.
Kemudian mujtahid juga harus memaham qiyas (analogi) beserta konsepnya meliputi, qiyas jally (analogi yang jelas), qiyas khofy (analogi yang samar), ‘ilat (alasan serta sesuatu yang menunjukan kapan hukum harus diberlakukan), masalikul ‘ilat (metode penggalian ‘ilat) yang jumlahnya juga banyak, tahqiqul manath, maqis-maqis ‘alaih (obyek-obyek penganalogian) beserta konsepnya. Syarat berikutnya, mujtahid juga harus mengerti konsep ijma’ (konsensus) yang mencangkup ijma’ qouly (konsensus dengan pernyataan), ijma’ fi’li (konsensus dengan praktik nyata), ijma’ sukuti (konsensus yang mencakup keduanya). Mujtahid harus pula memahami secara mendalam dilalah (muatan makna) dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, apakah bersifat dhonni (muatan makna yang bersifat dugaan Kuat) atau qhot’i (muatan makna yang bersifat pasti).
Belum lagi harus memaham maslahah mursalah (konsep kemaslahatan yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran-Hadits), istishab (hukum asal segala sesuatu), istihsan, ta’arudl baina dalilain (pertentangan antara dua dalil dan konsepnya), konsep tarjih (mengunggulkan sebuah dalil), ikhtilaf baina ulama‘ (perbedaan pendapat ulama’), serta syarat-syarat lain yang bisa ditemukan dalam kitab-kitab ushul fikih.
Dan tentunya karena semua itu berbahasa arab, maka harus menguasai seluruh cabang ilmu Bahasanya, diantaranya nahwu (gramatikal Arab), shorof (morfologi), lughot (makna-makna baku kata), bayan, dan ma’ani. Bagaimana sulit bukan? Menghafal syarat-syaratnya saja sangat sulit, apalagi memahaminya secara mendalam.
Oleh karena itu, menggali hukum dari Al-Quran dan Hadits jelas bukanlah sesuatu yang mudah. Maka, cara paling akurat dan aman dalam menggali hukum dari keduanya adalah dengan melalui maraji’ yang berupa kitab-kitab kuning yang ditulis oleh para mujtahid yang menguasai syarat-syarat diatas serta telah diakui validitasnya (mu’tabarah). Senada dengan firman Allah:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.“QS. An Nahl: 43.
Pembahasan bahtsul masail yang dilaksanakan secara kolektif tentunya memberi keunggulan tersendiri bagi hasil pembahasannya. Karena tidak jarang, dalam sebuah masalah yang dibahas tihak hanya menyangkut satu bab fikih saja. Seperti dalam hukum membuat dan mengoperasikan pabrik plastik yang dapat mencemari lingkungan. Pembahasan ini, dari segi ekonomi akan menyangkut bab tasharaful mulak ( ketentuan penggunanan hak milik pribadi), dari segi keselamatan jiwa akan membahas konsep daf’u dlarar (menolak bahaya), serta jika terbukti menimbulkan korban jiwa akan membahas bab jinayah (tindak pidana) dan bab-bab lainya yang saling berkaitan.
Dalam bahtsul masail, juga tidak hanya membahas soal hukum suatu masalah saja, namun sering juga dibahas prosedur penerapan hukumnya (tathbiq), yakni agar rumusan tersebut bisa direalisasikan namun tetap sesuai dengan kondisi sosial masyarakat serta perundang-undangan yang berlaku.
Perubahan zaman yang terus bergerak tentu akan terus memberikan peluang terbukanya perbedaan gaya hidup manusia dalam segala bidang serta masalah baru yang tidak pernah terjadi dimasa lalu. Bahtsul masailpun juga senantiasa sigap dan respon mengikuti perkembangan tersebut. Permasalahan aktual akan langsung dibahas oleh aktifis bahtsul masail baik di LBM Nahdlatul Ulama maupun forum-forum bahtsul masail yang diselenggarakan oleh pondok-pondok pesantren.
Yang patut diperhatikan, masyarakat awam sangat menanti hasil-hasil keputusan bahtsul masail tersebut. Oleh karena itu sosialisasi hasil-hasil bahtsu harus dilaksanakan secara massif. Baik produk bahtsul masail NU maupun pondok-pondok pesantren. Sangat sayang jika masyarakat umum tidak mengetahui rumusan-rumusan fikih yang begitu kuat dan dalam tersebut. Jangan sampai mereka hanya mengkonsumsi konten-konten yang justru kurang maslahat dari kalangan non Ahlu Sunah Wal Jamaah namun telah gencar di ekspos melalui dunia maya dengan sistem sosialisasi yang tertata dan terstruktur rapi.