Pengantar: Sejak tanggal 21 Januari 2019, kami menurunkan 20 esai terbaik hasil seleksi Sayembara Menulis Esai Tingkat SMA/Sederajat yang digelar pada akhir tahun 2018. Setelah pemuatan lima besar, 15 esai berikutnya dimuat berdasarkan urutan abjad nama penulisnya. Tulisan ini adalah tulisan terakhir dan lebih pekat unsur feature, namun kami pilih karena gagasan dituangkan dengan baik sekaligus pengkaderan tulisan jurnalistik.
——
Kemajuan teknologi telah merubah tatanan dunia. Perubahan ini tidak sesingkat tepung terigu berubah menjadi roti melainkan lebih dari itu. Dapat dikatakan bahwa tahun- tahun ini teknologi menjadi poros dunia. Mengapa demikian? Sekarang apapun yang dilakukan pasti menggunakan gadget. Dahulu untuk mengirimkan pesan ke sanak saudara yang jaraknya sangat jauh harus menunggu beberapa hari. Sekarang hanya dengan kedipan mata pesan dapat dikirim ke orang lain yang berbeda benua sekalipun.
Perkembangan teknologi memang memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat memungkiri bahwa dengan semakin canggihnya teknologi ini segala hal dapat dilakukan hanya dengan sekali sentuhan. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa perkembangan teknologi ini juga memberikan dampak negatif bagi para pemuda.
Hal serius yang harus dijadikan poin penting untuk segera ditemukan titik terangnya adalah melunturnya budaya membaca di kalangan pemuda. Dibandingkan memegang buku yang tebal mereka lebih asyik bermain online game dan surfing di akun media sosial.
Generasi Net, sebutan untuk “generasi menunduk” ini lebih tertarik pada layar dan enggan membaca bahkan sekadar melirik buku yang tipis sekali pun. Dapat dikatakan bahwa kehidupan mereka hanya berputar pada dunia maya. Jika hal ini tidak segera di atasi, bagaimana nasib Indonesia pada tahun 2035 mendatang?
Menurut studi “Most Littered Nation In The World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Hal ini sungguh memprihatinkan dan data ini pun masih kerap dikutip media massa. Jika hal ini tidak segera diatasi bisa jadi tahun mendatang Indonesia menduduki peringkat terakhir.
Berekembang pesatnya teknologi tidak diimbangi kesadaran pemuda sekarang untuk tetap melestarikan budaya membaca buku. Seharusnya mereka sadar bahwa tanpa adanya buku dan ilmu pengetahuan segala teknologi canggih sekarang ini tidak akan ada.
Kita punya contoh yakni Presiden Ketiga B.J. Habibie. Dia adalah sosok yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Mr. Crack, sebutannya, ini pada masa kecilnya lebih senang belajar dan membaca buku daripada bermain dengan teman sebayanya. Sekarang dapat kita lihat prestasinya bagi penerbangan dunia.
Teknologi canggih sekarang juga tidak hanya menjaring kawasan kota saja melainkan di desa-desa kecil pun gadget bukan merupakan barang yang mewah lagi. Hal ini merupakan tantangan yang besar, yakni bagaimana cara menjaring anak-anak desa maupun kota untuk mengobarkan semangat literasi dengan cara yang asyik dan menarik.
Rumah Baca Sang Petualang
Satu upaya kongkrit adalah mendirikan rumah baca di perkampungan. Dengan adanya rumah baca ini anak-anak di pedesaan akan semakin giat membaca. Hal ini telah diterapkan di Desa Tirtosuworo, Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah. Seorang putra bangsa yang hanya lulusan SMP berhasil mendirikan rumah baca yang dinamai Rumah Baca Sang Petualang.
Kampung Literasi merupakan julukan yang tepat bagi Desa Tirtosuworo. Pasalnya kampung yang terletak di kota gaplek ini telah dikenal secara nasional sebagai kampung edukasi. Di kampung ini tinggal pemuda yang bukan lulusan S-1 atau pun S-2.
Dia adalah Wahyudi, seseorang yang menebarkan benih semangat literasi di kalangan anak-anak desa. Wahyudi merasa sedih karena di desanya tidak ada taman bacaan. Itulah salah satu pemantik bagi seorang Wahyudi.
Awalnya Wahyudi hanya membawa beberapa buku bacaan sambil berjualan keliling. Hal itu merupakan langkah kecilnya untuk mengobarkan semangat literasi di era globalisasi. Setelah berjalan beberapa waktu, aksi Wahyudi ini mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Akhirnya banyak teman-teman Wahyudi yang membantu hingga dibangunlah Rumah Baca Sang Petualang.
Rumah Baca Sang Petualang dilengkapi dengan berbagai macam koleksi buku. Mulai dari buku untuk anak-anak, remaja, hingga orang tua. Wahyudi dan teman-teman juga meletakkan beberapa buku lengkap dengan raknya di masjid dan pos ronda.
Kampung literasi ini sudah mendapat perhatian pemerintah tetapi belum banyak dikenal masyarakat Wonogiri. Hal ini menjadi semacam anomali, ketika gaung “Rumah Baca Sang Petualang” sudah sampai nasional tetapi belum dikenal oleh lingkungan akademisi pada khususnya, dan masyarakat Wonogiri pada umumnya.
Youth Camp Literacy
Kegiatan Youth Camp Literacy merupakan sebuah terobosan yang digadang-gadang mampu memperkenalkan kampung literasi Tirtosuworo di kalangan remaja dan akademisi.
Kemping. Kegiatan ini mungkin sudah tidak asing lagi di pendengaran kita. Apa yang akan terpikirkan jika kita mendengar kata kemping? Mungkin menginap di tenda di tengah hutan dengan api unggun bersama teman-teman. Ya, itu memang benar.
Lantas apa yang terpikir saat mendengar Youth Camp Literacy? Mungkin orang-orang akan merasa heran. Bagaimana mungkin kemping tetapi ada literasinya? Bisa saja. Remaja menjadi sasaran utama karena kegiatan literasi di kalangan remaja semakin ditinggalkan.
Youth Camp Literacy sekaligus mendukung kurikulum terbaru saat ini yang digunakan sekolah, yang menghendaki adanya gerakan literasi di setiap kegiatan belajar siswa. Selain sebagai sarana edukasi, kegiatan ini diharapkan dapat menunjang perekonomian masyarakat dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Youth Camp Literacy adalah semacam wisata edukasi yang mengambil tema “Literasi Tanpa Basa – Basi, Literasi Penuh Aksi”. Peserta menginap selama dua sampai tiga hari di rumah warga di Desa Tirtosuworo. Peserta menjalani serangkaian kegiatan yang dikemas secara apik dan menarik, yakni:
1. Workshop kepenulisan. Program ini menghadirkan seorang penulis atau orang yang berpengalaman dalam hal kepenulisan untuk memberikan penjelasan dan melatih cara menulis yang baik, agar tulisan memiliki bobot dan dapat dinikmati khalayak umum.
2. Pembuatan komik. Peserta diajak untuk membuat komik serta memahami dasar pembuatan komik dengan cara yang asyik.
3. Mendongeng dan story telling. Peserta diajak mendongeng dengan dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di dalam suatu forum terbuka.
4. Eksplorasi kampung literasi. Pengunjung akan diajak untuk menjelajah kampung literasi dan objek wisata yang terdapat di sekitarnya.
5. Outbond. Dalam kegiatan ini peserta diajak bermain sambil belajar dan menerapkan ilmu yang didapatkan di kampung literasi.
Dengan adanya Rumah Baca Sang Petualang serta program Youth Camp Literacy ini diharapkan virus literasi dapat menyebar di seluruh negeri. Hal ini merupakan benih yang akan tumbuh subur dan menaungi literasi Indonesia di tahun 2035 mendatang.