Sedang Membaca
Tradisi Kiai “Ngepek Mantu” Santri Kinasih

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI tahun 2020-2024. Sekarang diamanahi sebagai Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Kemenag RI.

Tradisi Kiai “Ngepek Mantu” Santri Kinasih

Pak Waryono

Salah satu faktor utama yang menguatkan sebuah institusi pondok pesantren sekaligus menopang keberadaannya adalah adanya jaringan yang menghubungkan satu pondok pesantren dengan lainnya. Hal ini sebagaimana diulas dengan sangat baik sekali dalam karya klasik dari seorang antropolog kenamaan, Prof. Zamakhsyari Dhofier. Dalam bukunya berjudul “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai”, Dhofier menganalisis bahwa salah satu kekuatan pondok pesantren adalah adanya jaringan-jaringan yang menghubungkan antar pondok pesantren.  Jaringan tersebut mewujud dalam banyak ragam. Di antaranya adalah jaringan yang menghubungkan dalam aspek keilmuan, aspek jaringan tarekat dan jaringan kekerabatan.

Jaringan kekerabatan yang menghubungkan antar pondok pesantren merupakan satu fenomena yang masih relatif lestari. Hal ini sebagaimana dapat kita saksikan dewasa ini, para pengasuh pondok pesantren besar di Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki hubungan perkawinan dengan pondok pesantren lainnya. Kiai pondok pesantren A menikahkan puterinya dengan putra pengasuh pondok pesantren B. Atau bahkan yang juga terjadi adalah masih dalam lingkungan pondok pesantren itu sendiri. Selain itu, praktik lain yang juga cukup lazim di dalam tradisi pondok pesantren adalah seorang pengasuh menikahkan putrinya dengan santri senior, lebih-lebih santri kinasihnya.

Kita bisa menengok sejarah bagaimana praktik menikahkan putri seorang kiai dengan santri senior merupakan sebuah tradisi yang di pondok pesantren yang sudah berlangsung cukup lama. Biasanya, tidak cukup santri senior yang biasanya diambil menantu oleh kiai, melainkan memiliki ketentuan tertentu seperti keahlian dalam bidang ilmu tertentu. Hal demikian bukanlah sesuatu yang ganjil, bahkan bisa jadi pilihan yang memang harus dipilih oleh kiai untuk menyiapkan kader penggantinya. Lebih-lebih jika sang kiai tidak memiliki keturunan anak laki-laki.

Baca juga:  Manuskrip Nusantara: Mutiara yang Terabaikan di Leiden

Bahkan dengan adanya tradisi “ngepek mantu” santri senior yang dianggap alim secara keilmuan ini menjadikan pondok pesantren terus bertahan di satu sisi. Di sisi lain, estafet perjuangan dan pengabdian kepada ilmu dan masyarakat dapat terus dijalankan. Sebab, kita juga bisa melihat betapa tidak sedikit pondok pesantren yang dulu pernah menjadi kiblat keilmuan harus mengalami fase mati suri karena kekosongan pengasuh pasca wafatnya sang kiai.

Jika kita merunut lebih jauh lagi, tradisi menikahkan putri seorang tokoh dengan “murid” kinasih sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan sejak masa Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW menikahkan putri kesayangannya, Siti Fatimah dengan Sayyidina Ali. Selain pernikahan yang masih dalam satu kekerabatan, pernikahan Sayyidina Ali dengan Siti Fatimah juga bisa kita maknai sebagai pernikahan anak seorang guru dengan “murid” terbaiknya. Konon, dalam riwayat-riwayat yang mungkin masih perlu dibuktikan kebenarannya, Imam al-Gazali juga pernah menikahkan putrinya dengan Imam Zamakhsyari, penulis kitab tafsir legendaris “kitab al-Kasyaf” itu.

Jadi, tradisi menikahkan putri seorang kiai pondok pesantren dengan santri senior yang telah dipilih olehnya ini merupakan sebuah tradisi yang mengakar cukup kuat dalam sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Bahkan sejak risalah Islam itu dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top