Salah satu ciri pendidikan di pondok pesantren adalah sistem pengajarannya yang menggunakan kitab kuning secara berjenjang. Para santri diberikan materi pelajaran dari berbagai disiplin ilmu dari mulai kitab yang paling ringkas, sederhana, dan tipis sampai dengan kitab-kitab yang rumit, penjelasannya panjang, dan berjilid-jilid.
Dalam kurikulum pembelajaran bidang ilmu fikih, misalnya, para santri akan diberikan materi Pelajaran kitab fikih yang paling sederhana. Materi paling dasar pembelajaran kitab fikih di sejumlah pondok pesantren biasanya dimulai dengan belajar kitab fasalatan. Sesuai dengan nama judulnya, kitab ini berisi seputar tata cara melakukan ibadah salat baik salat wajid (fardlu) maupun salat sunnah. Selain itu, kitab ini juga menjelaskan tentang ibadah-ibadah yang dilakukan sebelum maupun setelah salat seperti azan, wudu, dan bacaan do’a-do’a serta wirid seusai menunaikan salat.
Setelah mengkhatamkan kitab fikih paling dasar ini, para santri melanjutkan kitab-kitab lainnya yang lebih luas pembahasannya. Untuk membekali para santri dalam memahami ilmu fikih, terutama, tata cara beribadah, beberapa pondok pesantren memilih kitab-kitab tipis dan ringkas lainnya. Karena kurikulum pondok pesantren bersifat independen, maka pilihan kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren tidak tunggal. Meski demikian, kitab-kitab dasar dalam bidang keilmuan Islam yang diajarkan di pondok pesantren biasanya menggunakan kitab-kitab karangan ulama asal Hadramaut, Yaman.
Salah satu kitab fikih dasar yang digunakan sebagai materi pelajaran fikih di pondok pesantren adalah kitab “Masail al-Ta’lim” atau yang juga dikenal dengan nama “Muqaddimah Hadhramiyah fi Fiqhi As-Sadah Asy-Syafi’iyyah”. Kitab ini disusun oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ba fadhal al-Hadhrami. Seorang ulama asal Hadhramaut yang lahir pada tahun 850 Hijriyah dan wafat pada tahun 918 Hijriyah.
Kitab ini berisi tentang pembahasan seputar fikih ibadah. Seperti lazimnya kitab-kitab fikih mazhab Syafi’i kitab ini dimulai dengan penjelasan tentang tata cara bersuci (thaharah), salat, puasa, zakat, haji dan umrah. Mengapa pembahasan fikih lainnya seperti muamalat, munakahat, dan jinayat tidak dibahas di kitab ini? Konon, kitab ini pada dasarnya belum sempat diselesaikan oleh penulisnya. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ba fadhal wafat sebelum menulis secara tuntas kitab yang juga memiliki nama lain Muqaddimah Ba Fadhal ini.
Meski belum sempat dirampungkan semuanya, kitab ini tetap memiliki keistimewaan tersendiri. Di antaranya adalah bahwa kitab ini diberikan komentar oleh ulama-ulama besar mazhab Syafi’i. Tidak tanggung-tanggung, dua ulama Syafi’iyyah kesohor seperti Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 973 H) dan Imam Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H) menulis karya komentar atas kitab ini. Sebagaimana diketahui, keduanya dalam mazhab Syafi’i merupakan dua ulama yang memiliki reputasi tinggi dan termasuk mujtahid fatwa bagi mazhab tersebut.
Imam Ibn Hajar al-Haitami menulis karya komentar atas kitab Muqaddimah Hadhramiyah ini dengan memberi judul “al-Minhaj al-Qawim”. Kitab ini beredar cukup luas dan diajarkan di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Sementara Imam al-Ramli menamakan karya syarahnya ini dengan “al-Fawaidl al-Mardliyah”. Kitab yang disebut terakhir ini di Indonesia tidak sepopuler kitab al-Minhaj al-Qawim-nya Imam Ibn Hajar.
Dalam konteks Indonesia, kitab Masail al-Ta’lim atau Muqaddimah Hadhramiyah ini sudah cukup lama beredar. Temuan manuskrip-manuskrip atas kitab ini membuktikannya. Misalnya, dalam manuskrip koleksi British Library, manuskrip kitab Masail al-Ta’lim diperkirakan berasal dari abad 17 Masehi. Bahkan manuskrip tersebut sudah menggunakan terjemah antar liniear baris dengan aksara pegon. Menurut Ronit Ricci, manuskrip tersebut merupakan salah satu manuskrip tertua yang terdapat aksara pegon Jawanya.
Kitab Muqaddimah Hadhramiyah ini semakin populer terutama pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 berkat karya super komentar (hasyiyah) atas kitab Minhaj al-Qawim yang merupakan syarah atas kitab Muqaddimah Hadhramiyah. Kitab hasyiyah ‘ala Minhaj al-Qawim ini ditulis oleh ulama Nusantara kenamaan Syaikh Mahfudz al-Tarmasi. Dalam cetakan terbaru yang dirilis oleh penerbit Dar al-Minhaj, kitab tersebut terdiri dari tujuh jilid tebal. Artinya, kitab matan yang sebelumnya sangat ringkas, sederhana, dan tipis ini bisa menjadi karya yang sangat tebal berkat karya-karya lain yang mengomentarinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa tradisi penulisan komentar atas kitab matan merupakan bagian penting dalam sejarah intelektual Islam. Sebuah tradisi yang sudah seharusnya dilanjutkan oleh para santri di Indonesia.