Sejak tahun 2015 Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan hari santri pada tanggal tersebut telah melalui proses yang cukup panjang. Salah satunya adalah dengan melakukan berbagai diskusi, musyawarah dan focus group discussion (FGD) yang dilakukan oleh Kementerian Agama dengan melibatkan berbagai stake holder seperti elemen organisasi masyarakat.
Pada dasarnya peringatan Hari Santri Nasional memiliki kemiripan dengan peringatan kemerdekaan negara Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Hal ini lantaran keduanya sama-sama diperingati dalam rangka meneguhkan kemerdekaan Negara Indonesia. Jika 17 Agustus 1945 adalah hari dimana Presiden Soekarno membacakan proklamasi kemerdekaan, maka pada tanggal 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari serangan Sekutu.
Istilah hari santri nasional juga sebenarnya tidak bertujuan untuk mempolarisasi bangsa Indonesia, apalagi membuatnya menjadi eksklusif. Istilah santri di sini tidak merujuk pada trikonomi yang dibuat oleh Clifford Geertz yang memetakan Masyarakat Jawa menjadi tiga: santri, priyayi dan abangan. Hal yang perlu dikedepankan dalam peringatan Hari Santri Nasional adalah perjuangan bersama. Bukan untuk mengklaim bahwa yang paling besar kontribusinya terhadap negeri ini adalah kelompok ini dan itu.
Oleh karena itu saya memaknai santri dalam peringatan Hari Santri Nasional ini secara lebih luas. Santri, menurut saya, adalah siapapun yang menempuh jalan kesalehan. Dengan demikian, makna hakikat santri tidak hanya mereka yang sedang atau pernah belajar di pesantren. Melalui pemaknaan ini, santri tidak harus menutup diri secara eksklusif dengan menutup mata pada peran dari orang-orang yang memiliki kesamaan rasa dan nasib seperjuangan dalam mempertahankan negara Indonesia kala itu.
Peringatan Hari Santri Nasional bukan sekadar sebagai sebuah peringatan sejarah, apalagi meromantisasinya. Yang jauh lebih penting dari peringatan hari santri adalah bagaimana para santri mampu membuktikan peran dan kontribusinya bagi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam konteks sekarang, para santri yang kini telah mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara melalui berbagai regulasi diharapkan secara bersama-sama dengan elemen bangsa lainnya untuk membangun negeri ini. Kini, para santri pondok pesantren memiliki peluang yang sama dengan para pelajar lainnya untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang selanjutnya, bahkan bisa mendaftarkan diri menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan lain sebagainya.
Peringatan hari santri juga dimaksudkan untuk meningkatan rasa memiliki Indonesia. Sebab, merawat, memandu, dan menjaga Republik ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang merasa memiliki Indonesia. Agenda terbesar hari santri, oleh karena itu, bukan yang mencerminkan dari santri oleh santri dan untuk santri. Tetapi dari santri, oleh santri, untuk Indonesia. Saya pribadi cukup yakin santri bisa melakukan ini dengan baik.
Kini, santri yang berdiaspora di berbagai negara baik di Barat maupun Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan semakin meningkat tajam. Tidak hanya pada jurusan-jurusan agama, melainkan studi-studi lain seperti ekonomi, teknik, dan bahkan sains juga semakin banyak. Mungkin lima hingga sepuluh tahun yang akan datang, kiprah para santri yang melanjutkan belajar di berbagai disiplin keilmuan ini baik di dalam maupun di luar negeri ini akan semakin terlihat nyata. Meski demikian, saya tetap berpesan pada mereka agar tetap tidak menghilangkan jati dirinya sebagai santri. Sebagai santri, kita tetap santri. Kapan dan dimanapun berada santri “aja ilang santrine”.