Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari sahabat Anas RA pernah ditanya ihwal berjabat tangan di kalangan para sahabat Nabi. “Apakah hal itu (berjabat tangan) dilakukan oleh sahabat Nabi?, tanya Qatadah kepada salah satu sahabat senior (kibar al-shahabat) Nabi itu. Anas menjawab, “Ya!”. Sedangkan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Anas bin Malik mengatakan, “Pada saat orang-orang Yaman datang menemui Nabi Muhammad SAW, Nabi bersabda: Telah datang (menemuiku) orang-orang Yaman. Mereka adalah orang yang datang menemuiku dengan berjabat tangan”.
Dua riwayat hadis di atas menunjukkan bahwa tradisi salaman dalam Islam sudah berlangsung sejak era Nabi Muhammad masih hidup. Terkait dengan redaksi akhir dari hadis kedua “Mereka adalah orang yang datang menemuiku dengan berjabat tangan”, para ulama berbeda pendapat. Apakah kalimat itu dari Nabi atau tambahan dari Anas bin Malik. Bagi yang berpendapat bahwa redaksi tersebut tambahan dari Anas, mereka berargumen bahwa tradisi berjabat tangan bukan berasal dan diawali oleh orang-orang Yaman. “Sebab, berjabat tangan merupakan tradisi klasik orang-orang Arab. Nabi Muhammad SAW sendiri juga melakukannya (sebelum orang-orang Yaman datang)” tutur Ahmad Hatibah dalam Syarah kitab Riyadussalihin.
Berjabat tangan memang merupakan tradisi klasik yang bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Arab. Melainkan juga tradisi multikultural yang panjang dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sebuah artikel bertajuk “Egalitarian greetings: the social spread of the handshake in urbanizing Britain, 1700–1850” Penelope J. Corfield mengatakan bahwa sejak masa purba manusia saling berpegangan tangan dan menyentuh tangan manusia lainnya. Praktik berjabat tangan ditemukan di semua budaya dan semua era. Hal ini ia kukuhkan dengan bukti relief yang tersimpan di Museum Baghdad. Relief yang ditaksir berasal pada abad sembilan sebelum Masehi ini menggambarkan Raja Babilonia yang tampak sedang merentangkan tangan di atas telapak Raja Asyur. Meski demikian ia berpendapat bahwa berjabat tangan dipopulerkan oleh kelas menengah kaum Quaker di Inggris.
Terlepas dari pendapat Corfield di atas, praktik berjabat tangan dalam tradisi Masyarakat Islam terus berlangsung. Misalnya dalam tradisi tarekat dimana seorang murid menjabat tangan mursyidnya dalam proses pembaiatan. Atau dalam konteks pesantren, berjabat tangan dilakukan oleh para santri saat bertemu dengan sesama santri lain maupun dengan ustadz maupun pengasuh pesantren. Dalam konteks lain, tradisi berjabat tangan juga dilakukan oleh Masyarakat Muslim di Indonesia di hari raya sebagai bagian dari acara halal bi halal.
Di dalam Islam, berjabat tangan bukan hanya sekadar sebuah tradisi yang tidak memiliki nilai ibadah. Dalam sebuah riwayat, Nabi bersabda:
«إنَّ المسلمَ إذا لقِيَ أخاهُ فأخذ بيدهِ تحاتَّتْ عنهُما ذنوبُهما كما يَتحاتُّ الورقُ عن الشجرةِ اليابسةِ في يومِ ريحٍ عاصفٍ وإلَّا غُفِر لهما ولو كانتْ ذنوبُهما مثلَ زبَدِ البحرِ»
“Sesungguhnya seorang Muslim itu jika bertemu Muslim lainnya lalu mengambil tangan dan menyalaminya maka berguguranlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan dari pohon yang telah mengering pada saat angin kencang, atau diampuni dosa- dosa mereka meskipun dosa-dosa mereka itu sebanyak buih di laut.”
Hadis ini memberikan penegasan bahwa berjabat tangan yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan penuh ketulusan dapat melebur dosa-dosa yang telah dilakukan kepada saudaranya.