Pada abad pertengahan, Islam mengalami fase kemajuan sekaligus fase kemunduran. Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) merupakan penanda puncak kemajuan peradaban Islam yang berhasil mengantarkan Islam meraih masa keemasan dan menghasilkan banyak karya yang mampu mengubah pandangan dunia.
Namun, pascakehancuran Dinasti Abbasiyah, Islam pun mengalami banyak kemunduran dalam banyak hal. Penyebab utamanya adalah masalah sosial-politik.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, salah satu faktor pendukung kemajuan adalah kegiatan masyarakatnya yang lebih konsen pada perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, termasuk dalam bidang estetika.
Pada zaman itu, kegiatan ilmiah masyarakat muslim terbagi dalam tiga lapangan, yaitu: kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam, dan penerjemahan karya-karya dari bahasa asing. Situasi ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Barat (Eropa). Para filsuf-teolog Barat saat itu lebih tenggelam dalam spekulasi teologis daripada perdebatan keilmuan. Baru beberapa abad kemudian, bersamaan dengan umat Islam surut, Barat mulai menggeliat, yaitu sebuah masa yang disebut era pencerahan atau Renaisans, tepatnya abad ke-12. Seperti juga saat peradaban Islam jaya, Barat mulai bangkit dengan dilakukanya penerjemahan teks-teks Aristoteles dari bahasa Arab dan Yunani ke bahasa Latin.
Tulisan ini berusaha menguraikan beberapa warisan pemikiran dan wacana dari tokoh-tokoh ilmuan dan pemikir muslim abad pertengahan dalam bidang estetika. Dalam hal ini estetika adalah filsafat keindahan yang merujuk pada proses pencerapan inderawi, mencakup pengelihatan, pendengaran, sekaligus juga perasaan. Data dan informasi diperoleh dari hasil review buku Sejarah Estetika (2016), Martin Suryajaya.
Berikut ini empat ilmuan dan pemikir muslim abad pertengahan yang memiliki teori estetika:
1. Al-Farabi
Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi disingkat al-Farabi (870-950 M), juga dikenal di dunia Barat sebagai Alpharabius. Dia adalah seorang ilmuan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan.
Selain sebagai ilmuan, Ia juga dikenal luas sebagai seorang seniman. Al-Farabi mahir memainkan alat musik dan menciptakan berbagai instrumen musik. Sistem nada Arab yang diciptakanya hingga kini masih tetap digunakan musik Arab. Al-Farabi juga berhasil menulis buku penting dalam bidang musik yang berjudul, Kitab al-Musiqa.
Ajaran estetika al-Farabi tidak bisa dilepaskan dari metafisika. Menurutnya, mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek inderawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi cahaya itu sendiri. Dalam skema metafisika keindahan berasal dari al-nur atau cahaya Ilahi. Alam semesta dan benda-benda di dalamnya menjadi indah sejauh berpartisipasi dalam keindahan Ilahi. Secara sederhana, benda-benda di alam semesta tidak indah pada dirinya, tetapi indah karena Tuhan yang menciptakanya dan Tuhan adalah puncak keindahan tertinggi.
Sikap al-Farabi terhadap seni menyerupai sikap Plato, filsuf Yunani Klasik yang banyak memrngaruhi pemikirannya. Ia menempatkan kesenian dalam konteks sosial-moralnya.
Dalam wacana tentang musik misalnya, al-Farabi memandang bahwa musik mengandung fungsi untuk mengarahkan jiwa pendengarnya. Dalam hal ini, musik dapat menciptakan perasan tenang dan nyaman.
Musik juga bisa memengaruhi moral, mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit, seperti gangguan psikomatik. Sehingga bagi al-Farabi musik bisa menjadi sebuah alat terapi.
2. Ibnu Sina
Abu Ali Husayn bin Abdullah bin Sina atau Ibnu Sina (980-1037 M). Namanya lebih dikenal dalam tradisi Latin sebagai Avicenna. Dia adalah seorang filsuf muslim, ilmuan, dan dokter kelahiran Persia, sekarang Iran. Ibnu Sina juga dikenal sebagai penulis produktif yang sebagian besar karyanya membahas tentang logika, sastra dan kedokteran.
Pemikiran estetika Ibnu Sina tertuang dalam dua karyanya, yaitu: Kitab al-Shifa dan Kitab al-Najat.
Menurut Ibnu Sina, keindahan dan kegemilangan segala ihwal terdapat dalam segala yang sesuai dengan apa yang semestinya. Dalam hal ini, Ibnu Sina mengajarkan bahwa perkara keindahan terletak pada urusan kodrat. Apabila keindahan dimengerti sebagai kesesuaian dengan apa yang semestinya, maka keindahan menjadi kodrati sebab kodrat adalah kualitas asali yang sudah semestinya dikandung dalam hal-ikhwal. Misalnya, sepasang sendal menjadi indah apabila desainnya mengikuti fungsi-khas atau tujuan dibuatnya sandal tersebut.
Rumusan Ibnu Sina tentang keindahan banyak dipinjam oleh sarjana Latin pada masa abad pertengahan akhir. Dalam terjemahan Latinnya, keindahan dikaitkan dengan decorum, yakni kesesuaian suatu hal dengan tujuan keberadaan hal tersebut.
Dengan demikian konsepsi estetika Ibnu Sina terletak pada aspek hierarkis keindahan, semakin sesuatu itu indah, semakin sesuatu itu intelektual. Dengan menjadi semakin intelektual, hal itu tentunya juga jauh dari dunia material yang berubah-ubah. Karena itu, keindahan tertinggi ada pada Tuhan yang merupakan sumber segala harmoni dan Tuhan adalah sumber keindahan kodrati.
3. Ibnu Haytham
Al-Hazen adalah akronim yang lebih dikenal dalam tradisi Latin untuk menjuluki seorang ilmuan muslim bernama Abu Ali Muhammad Al-Hassan Ibnu Al-Haytham (965-1041 M) yang berasal dari Basra, sekarang Irak.
Kecintaannya pada ilmu pengetahuan kemudian membawa Ibnu Haytham untuk hijrah ke Mesir. Selama di Mesir inilah, ia banyak melakukan penelitian terhadap fenomena cahaya dan menulis Kitab Al-Manazir.
Pada permulaan abad ke-13 Kitab Al-Manazir diterjemahkan ke dalam bahasa Latin: De Aspectibus. Melalui kitab tersebut, Ibnu Haytham membidani lahirnya teori perspektif dalam seni rupa Renaisans. Darinya, para perupa Renaisans belajar cara menghadirkan objek sesuai dengan apa yang mengemuka secara visual. Teori pengelihatan Ibnu Haytham kemudian diterjemahkan ke dalam wacana estetika tentang perspektif linear sebagai titik lenyap.
Selain merumuskan kerangka teori bagi pendekatan Renaisans tentang perspektif visual, dalam Kitab Al-Manazir, Ibnu Haytham juga membicarakan perkara keindahan secara eksplisit.
Al-Hazen menjelaskan bahwa pengelihatan memang mempersepsi keindahan dalam berbagai cara, tetapi semua cara tersebut bertopang pada persepsi sifat-sifat partikular objek. Artinya, keindahan ada di dalam benda itu sendiri, bukan hanya efek selera personal yang subjektif.
Mengenai keindahan, Ibnu Haytham merinci 20 aspek objektif yang menjadi penyebab keberadaanya, yaitu: (1) cahaya, (2) warna, (3) jarak, (4) distribusi bidang, (5) tubuh organik, (6) bentuk, (7) ukuan, (8) kesendirian, (9) keramaian, (10) jumlah objek, (11) gerak, (12) diam, (13) kekasaran materi, (14) kehalusan materi, (15) transparasi, (16) kepekatan, (17) bayang-bayang, (18) kegelapan, (19) kemiripan, (20) perbedaan.
Seluruh apek di atas berperan dalam penciptaan keindahan. Artinya, keindahan mengemuka apabila terwujud perpaduan yang selaras antara 20 aspek tersebut. Dengan demikian, Ibnu Haytham mengartikan bahwa keindahan sebagai keselarasan antar bagian. Keindahan terkadang memang bergantung pada sifat-sifat partikularnya semata, namun kesempurnaanya datang dari proporsionalitas atau harmoni yang terwujud antar sifat-sifat partikular tersebut.
4. Ibnu Rusyd
Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd atau Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Sarjana Barat menuliskan namanya dengan Averus.
Dia adalah filsuf dan pemikir Islam yang berasal dari Andalus, sekarang Spanyol. Karya-karyanya sebagian besar merupakan komentar (atau bisa juga disebut syarah) atas teks-teks Aristoteles. Sehingga di dunia Barat ia dijuluki sebagai “Sang Komentator” dengan penuh hormat.
Gagasan penting Ibnu Rusyd adalah hubungan antara Islam dan Filsafat, di mana menurutnya tiadanya pertentangan antara akal dan wahyu. Berangkat dari gagasan inilah kemudian menjadi ciri khas pandangan estetikanya.
Menurut Ibnu Rusyd, keindahan ditentukan oleh tiga aspek kenyataan fisik, yakni: tatanan (tartib), proporsi (tanasub), dan harmoni (nizam). Sesuatu disebut indah apabila hal itu tertata, mengandung stuktur yang kohesif, dan memiliki harmoni antarbagian. Ketiga aspek ini inheren dalam kenyataan sebagai kodratnya.
Ajaran estetika Ibnu Rusyd –yang juga punya karya di bidang teori fikih– berciri kognitif dan rasional. Sehingga sikap yang tepat saat berhadapan dengan karya seni adalah sikap yang dingin dan tidak emosional. Persepsi karya seni yang dipengaruhi oleh suasana hati dan emosi tidak akan mengantarkan kita pada keindahan sebab kodrat karya tersebut tidak tertangkap.
Pengalaman estetis dalam konsepsi Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman mengamati alam dan mempelajari kodratnya.
Oleh karena itu seniman yang baik bagi Ibnu Rusyd adalah ia yang tidak hanya mampu menghasilkan gambaran yang enak dilihat, tetapi juga mampu menghadirkan kodrat alam dalam karya seni.
Secara sederhana, proses peniruan atas kodrat alam yang dilakukan seniman bukan sekedar proses penyalinan empirik, melainkan pelibatan intuisi rasional tentang kemungkinan-kemungkinan yang inheran dalam alam dan apa yang menjadi kodratnya. Dengan kata lain, seni tidak hanya menggambarkan apa yang ada secara aktual, tetapi juga memperlihatkan apa yang mungkin ada. Kemungkinan-kemungkinan itulah yang digambarkan dalam karya seni dan membuatnya indah.
Kini hampir seluruh penduduk bumi saling terhubung melalui berbagai macam perangkat teknologi. Setiap detik berhadapan dengan berbagai pilihan yang dengan cepat muncul-tenggelam dan hilang-berganti. Disadari atau tidak disadari, dirasakan atau tidak dirasakan kini dunia Timur dan Barat telah melebur dan membaur menjadi satu desa dunia.
Berdasarkan teori keindahan dari empat estetikawan muslim abad pertengahan di atas mungkin dalam benak kita akan muncul sebuah pertanyaan: jadi apa sebenarnya hubungan Islam dengan estetika?
Tentu hal tersebut menjadi persoalan pendidikan selera kita masing-masing dalam konteks pengalaman beragama. Misalnya, kini kita hidup di dunia yang telah menyatu dalam era globalisasi dengan berbagai kemajuan teknologi yang membuat kita mendapat kemudahan secara material. Namun agama tentunya bukanlah pengalaman jasmani yang bisa didapat secara instan.
Pengalaman beragama memiliki kesejajaran dengan pengalaman estetis dalam arti mereka berada pada wilayah yang nonrasional (otentik), kemudian untuk mencapainya diperlukan kemampuan menilai dengan nalar yang jernih, lurus, dan konsisten. Artinya, secara rutin kita harus beradaptasi dengan kesadaran kita sebagai aktivitas pendidikan selera dalam beragama.
Terlebih lagi, bahwa hidup di era sekarang terus memaksa kita untuk memikirkan dan membentuk diri secara terus menerus agar kita mampu mengahadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita. Proses beradaptasi dengan kesadaran inilah yang kita perlukan untuk mengelola kesimbangan antara nalar yang kritis dan hati yang spiritual, agar pada akhirnya pengalaman beragama kita bisa menjadi otentik.