Pagi di suatu musim semi menyambut saya di Isfahan. Dengan sisa-sisa tenaga karena perjalanan yang panjang, saya tetap bergairah untuk merasakan petualangan di tempat yang baru. Berbeda dengan Tehran yang sepi, Isfahan tetap ramai walaupun saat ini sedang nowruz dan hari libur.
Rupanya, tidak berlebihan jika kota ini dijuluki sebagai nisf-e jahan atau separuh keindahan dunia. Terkait julukan ini, Isfahan berhutang banyak kepada Shah Abbas, raja dinasti Safawi yang membangun Isfahan menjadi kota yang cantik dan artistik. Isfahan menjadi ibukota dinasti Safawi yang terakhir setelah dipindahkan dari Qazvin. Peristiwa ini terjadi sekitar akhir awal abad 17 M.
Jika Yazd dikenal dengan bangunan tradisionalnya yang eksotik, Isfahan lebih populer dengan warisan arsitektur Islam Persia yang memukau bagi setiap mata yang memandang. Salah satu bukti keindahan Isfahan termanifestasikan pada sebuah komplek yang disebut Meydan Emam atau Naqsh-e Jahan yang berarti pola dunia. Kompleks tersebut adalah sebuah square atau alun-alun luas warisan dinasti Safawi yang terletak di tengah kota.
Mata saya terpukau ketika pertama kali menyaksikan lapangan dengan rumput hijau yang luasnya mencapai 9 hektare ini. Lapangan ini dikelilingi oleh empat bangunan yang saling berhadapan satu sama lain searah mata angin. Bangunan-bangunan tersebut adalah masjid Emam, masjid Syaikh Luthfullah, istana Ali Qafu, dan bazar. Semuanya begitu menakjubkan dan memanjakan mata.
Secara penampilan yang paling menonjol dari keempat bangunan tersebut adalah masjid Emam atau disebut juga masjid Syah. Masjid ini dibangun pada masa dinasti Safawi dengan rajanya yang bernama Shah Abbas. Selain membangun istana, hal lain yang dilakukan oleh raja adalah membangun masjid. Menurut catatan masjid ini dimulai pembangunannya tahun 1611 dan selesai tahun 1629 M.
Konon, masjid ini merupakan representasi sempurna yang menampilkan keagungan arsitektur Islam Persia. Keindahannya tercermin dari ubin mozaik yang menampilkan tujuh warna dan tulisan-tulisan kaligrafi yang menghiasi kubah dan dindingnya. Karena nilai sejarah dan keindahannya, masjid ini juga termasuk ke dalam warisan dunia UNESCO.
Pintu masuk masjid ini berbentuk setengah lingkaran yang mempunyai tinggi 27 meter. Lengkungan pada gerbangnya dipenuhi hiasan dan ubin yang berwarna seperti pirus. Sementara, sisi gerbangnya diapit oleh dua minaret yang berukuran sama tinggi. Dalam istilah Persia, pintu gerbang ini disebut dengan ivan. Biru muda dan biru tua berkolaborasi menampilkan sebuah mozaik yang indah dengan kaligrafi di sisi-sisinya.
Yang paling khas dari arsitektur Persia tentu saja kubahnya. Kubahnya dilapisi oleh marmer berwarna warni yang didominasi warna biru. Ketika kubah ini tersorot matahari, maka akan memantulkan cahaya kemilau seperti pirus, sebuah batu mewah yang terkenal dari Persia. Tinggi kubahnya sendiri mencapai 53 meter dengan ketebalan sampai 14 meter.
Bangunan penting lain yang mengelilingi Naqshe Jahan adalah istana Ali Qapu. Ali dalam bahasa Persia bermakna great atau agung, sementara Qapu berarti gerbang. Ali Qapu ini merupakan istana pada masa dinasti Safawi. Tingginya mencapai 48 meter dan mempunyai enam lantai.
Istana ini digunakan untuk berbagai keperluan dari mulai pemerintahan sampai pertunjukan hiburan. Selain pertunjukan musik, dari atas istana, dahulu para raja biasa juga menyaksikan kegiatan yang berlangsung di lapangan seperti permainan polo, balap kuda, dan perayaan nowruz.
Tepat di seberang istana Ali Qapu sebelah timur lapangan berdirilah satu masjid yang bernama masjid Syaikh Lutfullah. Menurut informasi, nama Luthfullah dinisbatkan pada salah satu guru agama yang diundang oleh kerajaan untuk mengajar di sana.
Masjid ini cukup unik karena penggunaannya yang terbatas hanya untuk keluarga kerajaan. Bahkan, ada jalan bawah tanah yang menghubungkan istana Ali Qapu dengan masjid ini, sehingga keluarga kerajaan yang ingin beribadah tidak terlihat oleh masyarakat yang lalu lalang di alun-alun.
Namun, sekarang akses yang menghubungkan keduanya sudah ditutup. Sementara untuk umum, masjid yang digunakan adalah masjid Emam. Oleh karenanya, masjid Luthfullah menjadi misteri bagi masyarakat sebelum dibuka untuk umum setelah berakhirnya kerajaan.
Masjid Luthfullah ini karena fungsinya untuk kerajaan, berbeda dengan masjid Emam yang ada di sampingnya. Masjidnya tidak memiliki minaret ataupun halaman di dalamnya. Masjid ini hanya ditandai dengan satu kubah yang memancarkan warna-warni ketika tersorot matahari. Sementara, gerbang depannya dihiasi dengan ornamen dalam mozaik yang didominasi warna biru.
Bangunan terakhir yang berada di sisi utara lapang adalah bazar bozorg atau bazar besar Isfahan. Bazar ini merupakan tempat masyarakat melakukan aktifitas perniagaan. Sampai sekarang bazar ini masih difungsikan sama seperti awal mula berdiri.
Barang-barang yang dijual bermacam-macam dari mulai rempah-rempah, alat-alat rumah tangga, pakaian, hingga karpet Persia yang terkenal mahalnya. Bazar ini merupakan salah satu bazar tertua dan terbesar yang berada di kawasan ini.
Keempat situs sejarah yang mengelilingi alun-alun ini mempunyai filosofi. Bangunan yang saling menyambung itu menyimbolkan ikatan yang erat antara ulama, raja, dan masyarakat. Masjid mewakili ulama dan keilmuan yang memberikan fondasi spiritual, istana menjadi milik raja sebagai simbol pemerintahan, dan bazar tempat dimana masyarakat melakukan perniagaan bermakna kemakmuran.
Naqsh-e jahan menjadi representasi keindahan dan kemegahan arsitektur Islam Persia di Isfahan. Tak salah jika tempat tersebut menjadi sumber inspirasi dan kebahagian warganya. Warga yang bahagia akan lebih mudah menebar senyum dan kebaikan. Dan wajah-wajah itu pula yang saya saksikan di tempat bersejarah ini.