Iran secara keagamaan selalu identik dengan Syiah. Hal ini ditopang dengan banyaknya hauzeh sejenis pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Hauzeh telah banyak melahirkan ulama atau mullah, pemikir, dan tokoh agama yang mumpuni. Oleh karena itu, tak salah negeri ini dijuluki sebagai negeri para mullah.
Salah satu pembeda hauzeh dengan lembaga keislaman lainnya adalah masih dipelajarinya filsafat. Sebagaimana diketahui, di pesantren Sunni sangat jarang sekali tema filsafat ini dikaji. Ini memungkinkan santri hauzeh untuk dapat membangun argumen dengan lebih sistematis. Dalam mengkaji permasalahan, akal mendapatkan porsi yang besar selain bersandar pada teks-teks keagamaan.
Hauzeh ini berpusat di Qom dan memiliki cabang di berbagai kota di Iran. Yayasan yang menaunginya adalah al-Mushtafa. Walaupun secara madzhab mereka berafiliasi kepada Syi’ah, tetapi itu tidak menjadikan mereka antipati terhadap madzhab lain. Buktinya, mereka membuka hauzeh yang konsen dalam perbandingan madzhab. Hauzeh yang dimaksud terletak di kota Gorgon, provinsi Golestan, Iran.
Jika anda penikmat sejarah Islam, anda akan mengetahui bahwa dalam istilah Arab kota ini dikenal dengan nama Jurjan dengan tokohnya yang terkenal seperti Abdul Qahir al-Jurjani yang ahli dalam sastra Arab. Kota ini juga pernah menjadi tempat belajar Imam al-Ghazali sebelum berguru kepada Imam Haramain di Nishapur. Gorgon sendiri letaknya dekat dengan laut Kaspia dan berbatasan dengan negara Turkmenistan.
Yang menarik dari hauzeh ini adalah di sini diajarkan pelajaran yang berkembang di dunia Sunni. Padahal, ia berada di bawah yayasan al-Musthafa, sebuah yayasan yang bergerak dalam pendidikan Syiah. Jadi, jika ada orang Sunni yang hendak belajar, mereka akan ditempatkan di hauzeh cabang Gorgon.
Di sini pula dipelajari fiqih dari berbagai madzhab walaupun mayoritas condong ke Hanafi sesuai dengan letak kawasan. Sementara untuk bidang ilmu kalam, teologi Maturudiyah menjadi pilihan utama daripada Asy’ariyah. Setelah menempuh pelajaran beberapa tahun, mereka dipersilahkan mengambil spesialisasi bidang kajian yang disukai.
Para santrinya juga mayoritas bermadzhab Sunni dan sebagian Syi’ah. Mereka datang dari berbagai negara seperti Tajikistan, Turkmenistan, Afghanistan, China, Thailand, Indonesia, dan negara-negara Afrika. Mereka hidup bersama tanpa merasa terganggu dengan perbedaan madzhab yang dianut. Tak ada pengelompokkan tempat tinggal khusus untuk madzhab tertentu. Semuanya berada di tempat dan menyantap makanan yang sama.
Guru-guru yang mengajar juga berasal dari kedua madzhab, Sunni dan Syi’ah. Mereka mengajar sesuai dengan kapasitas dan keahliannya. Tak ada ujaran kebencian dan saling cela, atau bahkan saling mengkafirkan satu sama lain. Bagi mereka, perbedaan tak bisa terelakkan karena itu sifatnya sunnatullah. Kita sebagai manusia hanya perlu saling menghormati antar keyakinan yang berbeda tersebut. Karena hanya dengan cara demikian, dunia akan terbebas dari kekacauan.
Ketika waktu solat tiba, mereka melakukannya dengan berjamaah. Mereka menjalankan salat juga dengan tata cara sesuai madzhabnya masing-masing. Imamnya juga terkadang dari Sunni dan terkadang Syi’ah. Keharmonisan semacam inilah yang mahal karena tak semua orang mampu menyikapi perbedaan dengan bijak. Mereka yang di sana sudah menunjukkan keteladanan yang luar biasa terkait perbedaan.
Pesantren atau hauzeh tersebut mengajarkan bahwa perbedaan bukan menjadi sebuah persoalan. Mereka dapat duduk dan belajar bersama tanpa saling curiga terhadap madzhab lain yang berbeda. Tidak ada istilah saling mengkafirkan apalagi sampai melakukan kekerasan. Semuanya dapat belajar dengan damai dan bebas mengekspresikan ritual keagamaannya. Sungguh, ini menjadi fenomena menarik yang jarang ditemukan.