Sedang Membaca
Melenyapkan ke-Akuan Diri di Makam Abu Hasan Kharaqani
Ulummudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Studi al-Qur'an dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Melenyapkan ke-Akuan Diri di Makam Abu Hasan Kharaqani

Negeri Persia dalam rentang sejarah panjangnya telah banyak melahirkan para sufi yang diakui oleh dunia Islam. Di sana, ajaran-ajaran tasawuf tumbuh subur, terutama di daerah yang dikenal dengan nama Khurasan. Salah satu sufi masyhur dari tanah ini adalah Abu Hasan al-Kharaqani yang tempatnya tak jauh dari makam Abu Yazid al-Basthomi.

Berbeda dengan makam Abu Yazid yang terletak di tengah kota Basthom, makam Syekh Abu Hasan berada di desa kecil yang bernama Kharaqan. Dari Basthom ke Kharaqan, perjalanan dapat ditempuh sekitar 25 menit dengan taksi. Taksi adalah satu-satunya alat transportasi yang dapat mengantar peziarah ke sana karena posisinya di perkampungan.

Mungkin tak banyak kalangan yang familiar dengan Syekh Abu Hasan. Seorang sufi yang  hidup sekitar tahun 352 H ini, pada masanya, adalah master sufi yang menjadi rujukan para pencari kebenaran. Sebut saja sufi-sufi lain seperti Abdullah Anshari dan Abu Sa’id Abul Khair pernah mengunjungi beliau untuk bertukar kebijaksanaan. Bahkan, Fariduddin Attar, seorang sufi dari Nishapur, menuliskan sejarah hidup dan ajarannya dalam kitab Tadzkirat al-Awliya

Akan tetapi, yang paling menyita perhatian terkait Abu hasan Kharaqan ini tentu saja hubungannya dengan Abu Yazid al-Bashtomi. Walaupun mereka tidak sezaman, tetapi Abu Hasan mengakui Abu Yazid sebagai gurunya. Mereka mempunyai kontak spiritual yang tak bisa dinalar oleh logika. Oleh karena itu, corak kesufiannya hampir mirip dengan Syekh Yazid. Salah satu komentarnya tentang Abu Yazid adalah, “Siapa pun yang mengikuti Bayazid akan mendapat panduan. Dan siapa pun yang melihatnya dan merasakan cinta dalam hatinya, maka ia akan merasa bahagia.”

Baca juga:  Ngaji Rumi: Kisah Mistis Ahadits Matsnawi, Kitab Induk Para Pengkaji Rumi

Abu Hasan juga sama seperti Abu Yazid tidak pernah mengembara ke luar kampungnya. Selain itu, ada informasi juga bahwa beliau buta huruf. Namun, hal tersebut tidak menghalanginya untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Bahkan, beliau diakui sebagai mursyid ke-7 dalam hirarki spiritual tarikat Naqsyabandiyah meneruskan tongkat estafet Abu Yazid sebagai mursyid ke-6. 

Makam Abu Hasan berada pada sebuah kompleks yang menyerupai taman dimana banyak pepohonan di sekelilingnya. Untuk mencapai makam kita akan menaiki tangga yang tidak terlalu tinggi. Di tengah tangga, kita akan menemukan dua patung beliau.

Pertama, patung beliau yang sedang duduk di atas dua singa. Kedua,  patung beliau yang sedang duduk di atas batu dengan tongkat di tangannya seolah-olah ia sedang memberikan nasihat. 

Sementara itu, makamnya sendiri terletak di dalam bangunan kecil di tengah kompleks. Penjaga makam ini adalah penduduk sekitar yang mayoritas penganut Syi’ah. Tentu ini menarik sekali karena Abu Hasan notabenenya adalah seorang Sunni. Walaupun demikian, perbedaan ini tidak menjadi penghalang untuk saling menjaga. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa di masa hidupnya beliau adalah sosok yang penuh cinta kasih.   

Sama seperti di Syekh Yazid, makam Abu Hasan diziarahi oleh semua golongan baik Sunni maupun Syiah. Bahkan, saat itu di sana ada peziarah yang datang dari Pakistan. Ia sengaja datang ke sini khusus untuk menziarahi sufi-sufi di tanah Persia. Lantas, dia bertanya kepada saya kenapa ini bisa terjadi? Dia menjelaskan bahwa ajaran Abu Hasan bersifat agung dan universal, sehingga dapat diterima oleh semua golongan.     

Baca juga:  Hubungan Sufistik antara Abah Anom, Gus Dur, dan  Prabu Borosngora

Itulah esensi orang beragama dimana kemanusiaan mendapatkan tempat yang utama. Beragama tidak hanya menuntut untuk saleh secara personal, tetapi juga saleh secara sosial. Dengan demikian, agama dapat menjalankan fungsinya dengan baik yakni menjadi rahmat bagi sesama. Terkait dengan kesalehan personal, syair Abu Hasan ini perlu diperhatikan.

Aku bukan rahib. Aku bukan zahid

Aku bukan pembicara. Aku bukan sufi

O Allah, Kau adalah Esa dan aku bersatu dalam keesaan-Mu.

Pada lirik di atas, ia mencoba melepaskan keakuan dirinya. Ia juga berusaha untuk menanggalkan eksistensinya. Ia hanya ingin merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap geraknya. Ia tidak lagi terganggu dan tergoda oleh hal lain kecuali Tuhan. Ia sudah fana bersama sang Pencipta, sehingga hal-hal yang sifatnya duniawi tidak berarti lagi baginya. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top