Nama Imam al-Ghazali sudah tidak asing lagi di kalangan muslim Indonesia. Namanya sangat harum berkat karya-karyanya yang mengagumkan. Ulama yang berjuluk Hujjatul Islam ini dianggap mampu mengawinkan syari’at dengan tasawuf yang tercermin dalam karya masterpiecenya Ihya Ulumuddin. Sebelumnya, tasawuf selalu dicurigai dan selalu berkonfrontasi dengan ahli hadis dan fiqih.
Sebagian besar umat Islam pasti menganggap Imam al-Ghazali adalah orang Arab. Namun, faktanya beliau terlahir sebagai orang Persia di Tus, Khurasan, Iran. Itu artinya bahasa Arab menjadi bahasa asing yang dipelajarinya karena bahasa ibunya adalah Farsi. Walaupun demikian, keulamaannya diakui di seantero dunia Islam.
Kehidupan Imam al-Ghazali sangat menginspirasi. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya yang meninggal dunia. Ia beserta adik laki-lakinya yang bernama Ahmad Ghazali dititipkan kepada salah seorang teman ayahnya untuk dididik. Pencarian ilmunya dilanjutkan ke Jurjan atau Gorgon, yang sekarang terletak dekat laut Kaspia.
Dari Jurjan, ia meneruskan pendidikannya ke madrasah Nidzamiyah cabang Nishapur di bawah bimbingan guru besar Imam Juwaini atau yang dikenal dengan Imam Haramain. Di sana namanya mulai dikenal karena kecerdasannya, hingga terbiasa menggantikan Imam Haramain ketika beliau berhalangan mengajar. Berita ini terdengar oleh wazir atau Perdana Menteri Nizhamul muluk dari dinasti Seljuk.
Ia kemudian diminta untuk mengajar di madrasah Nizhamiyah pusat di Baghdad sampai memegang jabatan rektor. Setelah cukup lama mengajar, ia merasakan keresahan yang luar biasa. Ilmu yang dipelajarinya selama ini tidak mampu membuat hatinya tenang. Padahal, keilmuannya tidak diragukan lagi. Ia ahli dalam bidang teologi, mantiq, fikih, sampai filsafat. Kegelisahan ini mendorongnya untuk meninggalkan semua jabatan struktural di madrasah untuk mencari kebenaran yang dapat membawanya mengenal Tuhan.
Ia kemudian mengembara ke negeri Islam di bagian barat. Beliau pergi ke Yerusalem, Damaskus, Mesir, hingga menunaikan haji ke Mekkah. Bahkan, di Damaskus beliau tinggal lama dan bermeditasi di salah satu menara masjid di sana. Beliau menempuh jalan seorang sufi untuk menemukan hakikat kebenaran. Ilmu yang melalui logika sudah dipelajarinya, tetapi ia tidak dapat berjumpa Tuhan dengan itu. Lalu, beliau terjun ke dunia tasawuf yang ilmunya diperoleh melalui rasa dan akhirnya beliau menemukan apa yang dicarinya
Namanya yang masyhur kontras dengan jejaknya yang seakan menghilang. Dalam buku-buku sejarah hanya dikatakan bahwa beliau meninggal di Tus. Informasi terkait keberadaan bukti fisik tempat persemayaman terakhir beliau sangat terbatas. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, saya berusaha untuk mencari jejak-jejak beliau di kampung halamannya, di kota tua Tus.
Tus merupakan kota tua yang letaknya dekat dengan kota besar Mashad, provinsi Khurasan Rezavi, Iran. Provinsi ini berbatasan langsung dengan Herat di Afganistan. Untuk mencapainya, dari Tehran kita dapat naik bus atau kereta tujuan Mashad. Jika sudah sampai di Mashad, kita hanya perlu naik angkutan kota atau taksi yang dapat ditempuh sekitar 1 jaman. Penumpang nanti berhenti di halte Ferdowsi sebagai halte terakhir dari trayek bus tersebut.
Dari sana, kita dapat berjalan kaki menyusuri rumah-rumah penduduk sampai ke ladang-ladang mereka. Di tengah ladang itu, kita akan menemukan sebuah bangunan yang dikelilingi oleh kawat besi dan beratapkan asbes. Di tempat itulah, sang Imam dimakamkan. Makamnya masih sangat sederhana, hanya gundukan tanah tanpa ada variasi lain sebagai ornamen untuk memperindah seperti pada makam tokoh lainnya.
Di sana hanya ada papan informasi yang mengabarkan bahwa ini adalah makam yang diduga kuat milik Imam al-Ghazali. Berdasarkan informasi yang tertulis, makam ini ditemukan pada tahun 1995 oleh petani yang sedang menggarap ladangnya. Memang di sekeliling makam adalah ladang gandum yang luas. Ketika mengolah lahan, si petani menemukan bangunan kuno yang tertimbun tanah. Ia kemudian melaporkannya ke pemerintah. Setelah dilakukan penggalian, di dalam bangunan tersebut ditemukan peti yang berisi kitab karangan Imam al-Ghazali.
Di sana ada empat makam yang saling berdekatan. Menurut penuturan juru kuncinya, yang paling besar adalah makam Imam al-Ghazali . Kemudian, di sampingnya terdapat makam istri, anak, dan muridnya. Jangan kaget, ketika kita menemukan suasana sepi tanpa pengunjung di sana. Boleh dikatakan makam Imam al-Ghazali belum terawat secara maksimal. Hal ini mungkin karena komplek ini masih dalam proses pemugaran. Keadaan ini tentu sangat kontras dengan ketokohan beliau sebagai ulama yang sangat disegani pada masanya.
Jadi, makam Imam al-Ghazali saat ini masih dapat dikunjungi. Letaknya di kampung halaman beliau di Thabaran kota tua Tus. Bagi para pembaca yang ingin berziarah ke sana tidak perlu khawatir dengan keamanan karena masyarakatnya sangat ramah. Selamat berziarah.