Pagi yang cerah di musim semi menyambut saya dengan hangatnya mentari. Metro, kereta bawah tanah kota Teheran masih sepi dari jejalan manusia yang biasanya tumpah ruah. Pagi itu, saya menuju terminal azadi yang terletak di tengah kota.
Selanjutnya, saya akan melanjutkan perjalanan ke Qazvin, sebuah kota legendaris pada masa keemasan Islam. Kota ini cukup dekat jaraknya dengan Teheran, hanya perlu waktu dua jam perjalanan dengan menggunakan bus untuk sampai di kota ini.
Kota ini sendiri merupakan kota tempat kelahiran perawi hadis terkenal, Ibnu Majah al-Qazwaini yang menyusun kitab Sunan Ibnu Majah. Karya tersebut menjadi salah satu kitab rujukan hadis yang utama karena termasuk ke dalam kutubus sittah, enam kitab-kitab hadis induk selain Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, dan Tirmidzi di kalangan Sunni.
Selain itu, di kota ini juga bersemayam sufi agung adik kandung Imam Ghazali yang bernama Ahmad al-Ghazali. Sayangnya, makam keduanya tidak dapat lagi ditemukan di sini.
Namun, kita tidak perlu khawatir karena ada makam tokoh lain yang dapat dikunjungi di Qazvin. Tempat tersebut dinamakan dengan Peighambarieh, sebuah makam empat nabi dari kalangan Yahudi. Keempat nabi tersebut bernama Sahuli, Salam, Alqia, dan Saloum. Orang lokal menyebutnya Chahar Anbiya yang berarti “empat nabi”. Mereka diyakini sebagai utusan yang membawa kabar kelahiran Yesus dari Yerussalem ke arah timur, hingga sampailah mereka di Persia dan meninggal di kota ini.
Sebenarnya, ada beberapa situs Yahudi di Iran. Selain di sini, ada juga makam Esther dan Mordecai di Hamedan dan Nabi Daniel di kota Shust provinsi Khuzestan. Mungkin sebagian dari kita bingung bagaimana bisa ada kelompok Yahudi yang tinggal di Iran, sedangkan, jarak antara Persia dengan Yerusalem cukup jauh.
Cerita mereka di Persia bermula ketika Cyrus Agung, seorang raja Persia menginvasi Babilonia dan membebaskan para Yahudi yang menjadi budak di sana. Sejak saat itu, banyak Yahudi yang bermigrasi ke Persia untuk menyelamatkan diri dan menghindari penindasan yang dilakukan Babilonia. Kejadian ini berlangsung sekitar 3000 tahun yang lalu. Jadi, Yahudi di Iran mempunyai catatan sejarah cukup panjang. Hingga kini, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat Iran.
Makam keempat nabi tersebut bersebelahan dengan makam Imam Zadeh Saleh ibnu Hasan. Imam zadeh adalah putra dari imam-imam maksum dalam tradisi Syi’ah. Setiap imam yang mempunyai keturunan, kemudian putranya meninggal, maka makamnya akan dirawat oleh masyarakat layaknya seperti wali-wali di tanah Nusantara.
Mereka meyakini tokoh-tokoh tersebut dapat membawa keberkahan, sehingga bisa menambah kekuatan spiritual bagi individu yang menziarahinya.
Oleh sebab itu, tak heran jika komplek ini selalu ramai dipenuhi oleh para peziarah. Selain warga lokal Qazvin, mereka juga datang dari kota-kota lain di Iran. Yang menziarahi tempat ini bukan hanya penganut Syi’ah, tetapi juga dari kalangan Yahudi yang menetap di Iran. Fenomena tersebut sungguh sangat langka karena melambangkan keharmonisan di antara pemeluk agama yang berbeda.
Mereka duduk di satu tempat untuk berkontemplasi dan berdoa dengan syahdu tanpa terganggu dengan keyakinan orang lain.
Ini menjadi satu hal yang menarik karena makam tokoh Yahudi bersebelahan dengan tokoh Islam. Namun, keduanya tetap dihormati dan diziarahi. Mereka seakan sedang memberikan contoh bahwa kerukunan bukanlah suatu hal yang utopis. Tidak perlu membenci orang yang berbeda karena tujuan akhir manusia adalah sama, yaitu menjemput kematian.
Biarlah kelak Tuhan yang menghakimi apa yang menjadi keyakinan kita karena Dia satu-satunya Dzat yang berhak untuk itu. Sementara, manusia hanya perlu berbuat baik terhadap sesama.