Sedang Membaca
Tren Musik Religi di Bulan Ramadan
Untung Wahyudi
Penulis Kolom

Pendidik dan Pengurus Rumah Baca “Untung Pustaka”, Sumenep.

Tren Musik Religi di Bulan Ramadan

  • Musik religi bisa membuat pendengarnya mampu merenungkan makna yang terkandung dalam lirik lagu dan meningkatkan nilai-nilai keimanan dalam hati para pemirsanya.

Tak bisa dimungkiri bahwa perkembangan musik di Tanah Air bisa dibilang cukup pesat. Berbagai genre musik diminati masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi. Bahkan, beberapa stasiun televisi dengan rutin menyelenggarakan aneka kompetisi untuk menjaring seniman-seniman baru yang berkualitas.

Sebut saja Indosiar yang sejak 2014 tak pernah absen menggelar kompetisi musik dangdut yang dikemas dalam acara Dangdut Academy, Dangdut Pantura, dan Liga Dangdut. RCTI lewat acara Indonesia Idol, dan MNCTV dengan Kontes Dangdut Indonesia (KDI).

Namun, dari sekian banyak genre musik yang ada, musik religi nampaknya memiliki tempat tersendiri, khususnya menjelang dan pada saat bulan Ramadan. Musik-musik bernuansa islami akan mudah kita jumpai atau dengarkan di tempat-tempat yang sebelumnya, mungkin, jarang diperdengarkan. Seperti di swalayan, supermarket, atau mal-mal yang pengunjungnya juga berjubelan di saat bulan Ramadan.

Dewasa ini, musik religi Indonesia ngetren dengan lagu-lagu gambus yang dibawakan oleh Nisa Sabyan, vokalis grup musik Sabyan yang namanya melejit lewat video klip Youtube. Videonya ditonton puluhan juta kali dalam waktu yang relatif singkat.

Hal ini menunjukkan bahwa musik religi sebenarnya memiliki daya tarik yang luar biasa. Orang dewasa, bahkan anak kecil berusia tiga tahun, begitu hafal dengan lagu-lagu Nisa Sabyan seperti Ya Maulana, Rahman Ya Rahman, Deen Assalam, Ya Jamalu, Ya Habibal Qalbi, dan judul lainnya.

Sebelum kehadiran musik-musik gambus modern yang dikemas dengan nuansa populer booming, Hadad Alwi dan Sulis lewat grup Cinta Rasul juga pernah hits. Awal 2000-an, Cinta Rasul sangat ikonik dan menjadi idola anak-anak Muslim di Indonesia.

Bahkan, di sejumlah daerah, sudah lazim diadakan lomba musik Cinta Rasul dengan lagu-lagu Hadad Alwi dan Sulis sebagai lagu wajib peserta.

Waktu itu, siapa yang tidak tahu lagu berjudul Ummi, Ya Thaybah, Sidnan Nabi, Abi, I’tiraf, dan lagu-lagu lain, yang begitu manis dibawakan oleh Sulis? Pemirsa musik islami waktu itu begitu familiar dengan lirik-lirik yang sangat mudah untuk dihafalkan.

Baca juga:  Pribumisasi Islam: Budaya Penghormatan Pada Empat Pemimpin di Madura

Musik Religi di Pesantren

Berbicara tentang musik religi, sebenarnya di pesantren-pesantren sudah lebih dulu ngetren. Para santri begitu akrab dengan selawat Nabi yang dibawakan dengan musik rebana atau hadrah. Santri yang memiliki vokal bagus biasanya dilatih untuk serius sehingga menjadi vokalis andalan grup hadrah yang dibentuk.

Perkembangan selawat yang diiringi musik hadrah pun mulai berkembang. Selain hadrah, di beberapa pondok pesantren juga dibentuk grup selawat Al-Banjary. Tak jauh beda dengan selawat hadrah, dalam Al-Banjary juga dilantunkan selawat, namun dengan aransemen musik yang agak berebeda.

Alat musik yang dipakai bukan hanya rebana, tetapi juga dilengkapi dengan gendang, ketipung, bahkan keyboard alias organ tunggal. Modernisasi dalam musik religi memang begitu kental, sehingga aransemen musik yang digubah juga terdengar estetis.

Di pesisir utara Jawa Timur, tepatnya di Tuban, kelompok musik Langitan dengan penuh semangat mengolah khazanah musik sufi dari pelosok tanah Arab menjadi sajian yang enak didengar, dan cukup memperoleh banyak pendengar. Sedangkan di Bojonegoro, komunitas santri setempat juga sempat mengeluarkan album Nurul Dhalam, berisi seni terbangan klasik, berirama pelan, dan syahdu.

Kelompok musik santri lain, yang kemudian merasuk ke kampung-kampung, kampus-kampus dan sekolah-sekolah adalah musik nasyid. Musik yang semula dikenal sebagai musik perlawanan bangsa Palestina dan Afghanistan, kemudian mengalami transformasi menjadi musik modern yang populer dan enak didengar.

Kelompok yang paling fenomenal dalam hal ini adalah Raihan dari Malaysia. Lagu-lagunya seperti Gema Alam, Senyum, I’tirof, dan sebagainya menjadi sangat akrab di telinga anak-anak muda.

Kehadiran kelompok Raihan juga menginspirasi hadirnya grup-grup nasyid di Tanah Air. Waktu itu mulai bermunculan grup nasyid seperti Snada (Satu dalam Damai), The Zikr (Secercah Harapan), Izzatul Islam (Tak Sekadar Kata), Saujana (Kembara Cinta), dan beberapa grup lainnya.

Baca juga:  Banyak Jalan Menuju Dakwah

Peluang Bisnis Musik Religi

Selama ini, sebagian orang mungkin meremehkan nilai bisnis musik-musik religi. Padahal, dengan penduduk mayoritas Muslim, pasar Indonesia bisa menjadi lahan basah bagi musik-musik religi. Hal ini telah terbukti sejak zaman Cinta Rasul yang mampu meraup keuntungan besar dari hasil penjualan kaset dan VCD. Grup-grup band yang biasa merilis single religi saat Ramadan pun turut merasakan bagaimana lagu-lagu mereka begitu laris. Sebut saja grup band Wali, Ungu, bahkan Syahrini dan Inul Daratista juga pernah merilis single religi saat momentum Ramadan.

Pro-Kontra Musik Religi

Musik religi memang banyak diminati. Lagu-lagu yang hits nyaris setiap hari diputar di pusat-pusat perbelanjaan. Dari pelosok desa, hingga ibu kota, lagu-lagu religi senantiasa menghiasi ruang pendengaran kita. Namun begitu, ada juga juga yang tidak setuju dengan kehadiran musik religi atau musik-musik islami yang dikemas dengan modern.

Saat booming dan digandrungi masyarakat, Cinta Rasul pernah menerima kritik dari masyarakat. Ada sebagian masyarakat, terutama yang berpikir tentang hitam-putih, yang tidak setuju jika selawat Nabi dilantunkan dengan musik modern atau nuansa pop, sebagaimana dibawakan Hadad Alwi dan Sulis. Namun, Hadad Ali berusaha menjelaskan, kenapa dia begitu antusias membawakan selawat dengan iringan musik modern.

“Saya hanya ingin apa yang kami bawakan itu dapat menyentuh jiwa pendengar. Bila untuk sampai ke pendengar harus dengan cara pop, ya, itu harus dilakukan. Sekali lagi yang penting tujuannya.” tegas Hadad Alwi kepada wartawan majalah Fadilah, majalah sastra pesantren di Yogyakarta.

Apa yang menjadi tujuan Hadad Alwi ternyata membuahkan hasil. Kehadiran Cinta Rasul, pada waktu itu, telah menjadi angin segar bagi dunia musik “yang terpinggirkan”. Selawat yang tidak banyak dilirik para produser rekaman karena dianggap terlalu religius, atau mungkin kampungan dan tidak marketable, dicitrakan demikian rupa oleh Hadad Alwi, sehingga mampu menembus dunia internasional.

Baca juga:  Musik Sufi di Panggung Ramadan

Namun, yang terpenting dari kehadiran musik religi adalah bagaimana mendekatkan masyarakat dengan nilai-nilai keislaman. Keberadaan musik religi diharapkan tak hanya sekadar hiburan yang melenakan, sebagaimana musi-musik non religi yang identik dengan hal-hal erotis.

Musik religi bisa membuat pendengarnya mampu merenungkan makna yang terkandung dalam lirik lagu dan meningkatkan nilai-nilai keimanan dalam hati para pemirsanya. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top