Sedang Membaca
Nyadar; Upaya Melestarikan Upacara Adat di Sumenep
Untung Wahyudi
Penulis Kolom

Pendidik dan Pengurus Rumah Baca “Untung Pustaka”, Sumenep.

Nyadar; Upaya Melestarikan Upacara Adat di Sumenep

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan adat dan tradisi yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Adat dan kebudayaan setempat kerap kali mengundang kekaguman banyak wisatawan sehingga, tradisi ini layak dilestarikan dan tidak mudah digerus zaman.

Nyadάr adalah salah satu upacara adat di Sumenep yang sampai saat ini masih dilestarikan. Pelaksanaan upacara adat tersebut begitu meriah karena dihadiri masyarakat setempat dan sekitar, bahkan turis asing, yang ingin mengetahui lebih dekat tradisi upacara adat yang begitu kental di salah satu desa di Kabupaten Sumenep.

Nyadάr adalah kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Upacara ini dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Dalam setahun dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang.

Pada Nyadάr ketiga, biasa mereka sebut dengan Nyadάr Bengko. Lokasi upacara adat tersebut berada di Dusun Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Dari kota Sumenep sendiri, untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer ke arah Selatan.

 

Sejarah Nyadάr

Setiap upacara adat atau tradisi yang lestari, lazim mengandung sejarah atau asal-usul. Sesuatu yang layak untuk diketahui oleh masyarakat yang selama ini penasaran dengan sejarah atau asal-usul sebuah adat. Begitu juga dengan upacara adat Nyadάr yang begitu terkenal di Kabupatan Sumenep.

Baca juga:  “Taksu Ubud” Geliat Seniman dan Budayawan Ubud di Masa Pandemi

Pangeran Anggasuto adalah salah satu tokoh masyarakat yang menyelamatkan orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan Pasukan Keraton Sumenep. Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istighasah. Memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab, di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.

Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Tanah di pantai itu begitu lembek sehingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kakinya terisi oleh air laut.

Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kakinya dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih tersebut? Adakah benda putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra)?

Akhir kata, benda itu kemudian oleh Pangeran Anggasuto disebut dengan Bujha, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama bujha atau garam.

Seiring perputaran zaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Di mana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatra. Waktu terus berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Juga cara memindah-mindah air laut.

Baca juga:  Muasal Istilah “Tebak-Tebak Buah Manggis”

Nyadάr pun menjadi napak tilas pelaksanaan upacara adat yang dihadiri oleh masyarakat luas. Mereka berdoa di Bujuk atau Makam Leluhur agar mereka diberi keselamatan dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa. Doa-doa mereka panjatkan karena para sesepuh telah berjasa menemukan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat berupa garam yang sampai saat ini masih bertahan. Garam menjadi salah satu usaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia.

 

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Nyadάr

Penentuan waktu pelaksanaan Nyadάr berdasarkan musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari leluhur Anggasuta. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadάr. Syarat tersebut berkaitan erat dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Pertama, pelaksanaan upacara tidak diperkenankan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid. Kedua, selamatan tidak boleh melebihi besarnya selamatan yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Syarat yang lain adalah para peserta upacara Nyadάr terlebih dahulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Syarat-syarat tersebut mengindikasikan bahwa Nyadάr tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk. Selain itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulullah Saw.

Nyadάr pertama dan kedua dilakukan di sekitar asta Syekh Anggasuto, Syekh Kabasa, Syekh Dukun, dan Syekh Bangsa yang ada di Desa Kebundadap Barat. Pada Nyadάr ketiga dilakukan di Desa Pinggir Papas. Konon, hal ini juga berangkat dari nazar Syekh Dukun, yang juga ingin melakukan syukuran, tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura disebut bengko) atau di antara keluarganya sendiri.

Baca juga:  Folklor dan Sakralitas Danyang

Ada yang khas dari pelekasanaan Nyadάr ketiga ini. Di Nyadάr ketiga, pada malam hari biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Di mana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jatiswara. Konon, cerita Jatiswara mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Cerita kedua tentang Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syariat. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top