Sampai saat ini, praktik pembajakan buku menjadi masalah yang belum bisa diurai. Para pelaku pembajakan buku semakin merajalela dengan beredarnya buku-buku bajakan di pasaran atau toko buku tidak resmi. Padahal, sebagaimana pembajakan karya seni lain seperti kaset, VCD, atau software, hal ini merugikan banyak pihak seperti penerbit, penulis, distributor, dan jaringan toko buku yang menjual buku-buku asli.
Penulis jelas tidak akan mendapatkan pembagian royalti dari buku-buku karyanya yang dibajak. Padahal, jika tidak dijual putus, seorang penulis lazim mendapatkan royalti sebesar 8-10% dari bukunya yang diterbitkan. Penerbit pun demikian. Untuk menerbitkan sebuah buku, penerbit harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk biaya editing, lay out dan desain, membayar editor, membayar royalti penulis, hingga berbagi rabat dengan distributor yang mencapai 50%.
Sebenarnya, apa yang menyebabkan pembajakan buku sampai saat ini sulit diberantas? M. Iqbal Dawami, dalam tulisannya berjudul Pembajakan yang Meresahkan menjelaskan, “Paling tidak ada dua hal yang membuat pembajakan buku sulit diberantas, yaitu lemahnya penegakan hukum dan kronisnya mental masyarakat. Sejak dulu, pembajakan buku sudah ada. Tetapi, sejauh pengamatan saya, tidak ada satu pun kasus terkait masalah tersebut. Misalnya, media memberitakan pembajak buku yang dijebloskan ke penjara. Yang sering terdengar justru aksi sweeping atas buku-buku yang tidak boleh beredar karena isinya dianggap ‘membahayakan’”.
Di sisi lain, menurut Iqbal Dawami, mental masyarakat dalam menghargai buku masih lemah. Masyarakat hanya memikirkan bagaimana mendapat buku yang diinginkan dengan harga yang relatif murah. Hal itu tidak berkaitan dengan isi kantong seseorang, melainkan soal mental membeli buku. Sebab, kenyataannya, ada juga masyarakat yang hidupnya pas-pasan tapi mampu membeli buku-buku asli.
Untuk mengkampanyekan minat baca pada masyarakat dan bagaimana agar mereka tidak ikut terlibat dalam aksi pembajakan buku, Penerbit Erlangga pernah melaksanakan beberapa kegiatan seperti pembagian stiker dan PIN kepada masyarakat, kunjungan media, kerja sama dengan “Asosiasi Pengusaha Photocopy”, kerjasama dengan IKAPI melaksanakan penindakan hukum kepada pedagang dan percetakan buku bajakan.
Selain itu, juga diadakan lomba desain poster “Jangan Bajak Buku” untuk kalangan mahasiswa se-Indonesia. Hasil lomba tersebut dilanjutkan dengan pameran poster “Jangan Bajak Buku” yang dilaksanakan di beberapa kota besar.
Yang jadi incaran para pembajak buku biasanya buku-buku best seller seperti karya Pramudya Ananta Toer, Andrea Hirata, Asma Nadia, Tere Liye, Habiburrahman el-Syirazy, dan buku karya penulis lain yang laris manis di pasaran. Andrea Hirata, dalam sebuah peluncuran salah satu karyanya mengatakan bahwa, Laskar Pelangi dibajak hingga 1 juta eksemplar. Angka yang fantastis dan sangat meresahkan.
Sebenarnya, seperti apa ciri-ciri buku bajakan itu? Sepanjang pengalaman saya bergelut dalam dunia buku (menjual, membaca dan menulis review-nya), ada beberapa hal yang bisa ditemukan pada buku bajakan. Jadi, meskipun disampul rapi pakai plastik, saya langsung bisa membedakan mana yang asli dan mana yang bajakan. Meminjam istilah Langit Amaravati, seorang penulis dan blogger, kita yang militan buku, cukup “sekali lirik” sudah bisa menebak kalau itu buku bajakan.
Harga Jauh Lebih Murah
Dibandingkan dengan buku asli, buku bajakan biasanya dijual jauh lebih murah. Bahkan, perbandingannya hingga 50%. Buat kita yang belum bisa membedakan antara yang asli dan bajakan, sudah harus “waspada” jika melihat harga buku yang tidak wajar. Apalagi, sekarang ada beberapa oknum penjual online yang menjual buku-buku bajakan. Jadi, kita sulit untuk melihat buku yang ditawarkan itu asli atau bajakan.
Pada 2009, ketika saya masih kuliah di Surabaya, saya melihat langsung lapak-lapak yang menjual buku bajakan. Waktu itu masih booming-booming-nya Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, dan Ketika Cinta Bertasbih. Ketiga buku tersebut hanya dijual kisaran Rp25.000-Rp35.000 (bahkan, masih bisa ditawar jika kita beli lebih dari satu judul), padahal harga aslinya mencapai Rp50.000, bahkan lebih.
Memakai Kertas Koran
Dari segi kualitas kertas, memang sangat kentara. Umumnya buku bajakan menggunakan kertas koran yang tipis, sementara buku asli memakai kertas HVS atau Art Paper yang kualitasnya lebih tebal dan bagus. Jadi, meskipun isi dan jumlah halamannya sama, ketebalan buku sangat berbeda dengan yang asli.
Sampul Lebih Pucat
Dari segi sampul juga berbeda. Jika buku asli berwarna cerah, bahkan ada yang didesain timbul, buku-buku bajakan biasanya bersampul lebih pucat. Sangat tampak seperti kualitas fotokopian. Namun begitu, bagi yang belum pernah memegang buku bajakan, tentu akan sulit sekali membedakan antara yang asli dan bajakan.
Lem Jelek Gampang Rusak
Satu hal lagi yang sangat gampang dilihat pada buku bajakan. Kualitas lem sangat jelek sehingga jilidan buku gampang lepas. Jangankan yang tebal hingga 500-an halaman, yang tipis juga punggung bukunya gampang rusak dan lepas.
Demikianlah. Di saat lesunya pasar buku (cetak) yang mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi plus dengan beralihnya ke buku digital (e-book), justru ada oknum yang terus memproduksi buku-buku bajakan yang merugikan banyak pihak. Sebagai pembaca cerdas, seharusnya kita ikut mendukung para seniman dan penulis untuk terus berkarya dengan membeli karya asli mereka, baik versi cetak maupun digital.