Nyai Ahmad Dahlan adalah istri pendiri organisasi Muhammadiyah. Nama aslinya adalah Siti Walidah, lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872 M. Beliau adalah putri dari KH. Muhammad Fadlil, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Ibunya dikenal dengan sebutan Nyai Mas, dan berasal dari Kampung Kauman juga.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, Siti Walidah sejak kecil hidup di lingkungan keluarga yang menekankan pelaksanaan ajaran Islam dengan penuh ketaatan dan disiplin tinggi. masa kecil Siti Walidah banyak diisi belajar mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab agama beraksara Arab-Jawa (Arab Pegon). Sejak kecil juga tidak pernah mendapatkan pendidikan sekolah umum, karena pandangan masyarakat Kauman saat itu sekolah di sekolah milik Belanda haram dan masyarakat Kauman yang religius juga menolak segala sesuatu yang datang dari Barat.
Pada tahun 1914 M, Siti Walidah mendirikan Sopo Tresno, yaitu lembaga pendidikan dan pergerakan kaum perempuan yang kemudian berubah menjadi Aisyiyah. Beliau dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya. Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui Sopo Tresno, pasangan ini memperlambat Kristenisasi di Jawa yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.
Sopo Tresno sendiri dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah. Dan perjuangan Siti Walidah selalu berdampingan dengan perjuangan Ahmad Dahlan sang suami. Dalam perjuangan melawan penjajah, mereka berdua tidak mengambil sikap konfrontatif namun pendekatan kompromis. Karena Muhammadiyah yang bukan partai politik juga dianggap oleh pemerintah Kolonial Belanda merugikan kepentingan mereka.
Yunus Anis dalam bukunya Nyai A. Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisiyah Pelopor Pergerakan, menjelaskan bahwa tujuan Siti Walidah mendirikan lembaga pendidikan perempuan adalah untuk mencerdaskan masyarakat, dan menjadi sarana jihad melawan politik kolonial Belanda yang ingin membodohi rakyat agar selamanya hidup dalam cengkeramannya. Melalui cara itulah, perjuangan Muhammadiyah kepada tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan.
Ahmad Dahlan dan istrinya juga tidak mengambil sikap menentang secara terang-terangan pemerintah kolonial Belanda, sebab banyak yang diharapkan dan dipelajari serta diambil manfaatnya untuk kemerdekaan. Karena untuk menyebarluaskan pendidikan, tetap membutuhkan subsidi dari pemerintah Belanda. Beliau juga belajar banyak dari cara Belanda menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Langkah yang tidak knfrontatif terlihat dipersatukannya sekolah yang didirikannya dengan Volks School. Bahkan, mereka kadang sengaja mengajak murid-muridnya melihat bagaimana orang Belanda menyebarkan ajaran agamanya.
Seperti yang dijelaskan dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, ketika Indonesia di bawah Jepang, keadaan rakyat tidak jauh beda. Bahkan semakin menyedihkan. Termasuk organisasi Aisyiyah yang didirikan Nyai Ahmad Dahlan yang tidak boleh berorganisasi sendiri sebagai organisasi wanita. Sehingga untuk menyiasati hal tersebut, Aisyiyah sempat ditiadakan dan digabungkan dengan Muhammadiyah. Apalagi saat itu anak-anak sekolah diharuskan hormat kepada matahari. Nyai Ahmad Dahlan pun melakukan perlawanan dengan melarang murid–muridnya untuk mengikuti keinginan pemerintah Jepang. Akibat hal tersebut, tentara Jepang mendatanginya namun beliau tidak mau menemuinya.
Di masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945-1946 M, Nyai Ahmad Dahlan yang dalam keadaa sakit pun masih memikirkan perjuangan bangsa. Beliau menganjurkan kepada anak didiknya yang dulu tinggal di asrama putri yang didirikannya untuk segera berangkat berjuang, dan supaya memberikan contoh teladan. Sebagai kaum wanita yang ada di garis belakang, mereka harus mempersiapkan segala yang dapat diberikan untuk membantu garis depan seperti penyelenggaraan dapur umum, pemeliharaan kesehatan, pengobatan bagi orang banyak, menyabarkan dan menenangkan masyarakat. Beliau berulangkali berwasiat supaya berjuang dilandaskan dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan sepi ing pamrih (ikhlas karena Allah), dan memohon kemenangan kepada Allah. Itulah di antara jasa dan peran Nyai Ahmad Dahlan, yaitu menjadikan pendidikan sebagai artikulasi perlawanan dan perjuangan melawan penjajah untuk mewujudkan kemerdekaan.