Aceh yang kini menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan Syari’ah Islam, ternyata dalam sejarahnya banyak melahirkan perempuan-perempuan hebat. Bahkan, kerajaan Aceh Darussalam pernah berada di bawah kepemimpinan perempuan dalam beberapa periode. Dan salah satu tokoh perempuan Aceh yang mempunyai peran penting dalam melawan penjajah dan menjadi ulama adalah Teungku Fakinah.
Teungku Fakinah lahir tahun 1856 M di Desa Lam Diran Kampung Lam Beunot (Lam Krak), dari pasangan Tengku Asahan dan Tengku Fatimah. Ayahnya adalah keturunan bangsawan, sedangkan ibunya adalah salah satu putri ulama besar. Sejak kecil, Teungku Fakinah belajar tentang agama seperti baca tulis Al-Qur’an dari kedua orang tuanya. Dalam buku Srikandi Atjeh, H. M. Zainuddin menjelaskan bahwa beliau belajar memahami berbagai kitab di Dayah Lam Krak sampai berumur 20 tahun. Hal tersebut membuatnya menjadi seorang perempuan yang alim. Hingga akhirnya beliau menikah dengan seorang perwira dan juga ulama ternama, yaitu Tengku Ahmad pada tahun 1872 M.
Tahun 1873 M, Belanda di Pantai Cerm In dan melancarkan agresi militer yang pertama ke Aceh. kedatangannya pun disambut dengan perlawanan dan perang oleh Tengku Ahmad bersama pemuda Aceh lainnya yang sudah terlatih di Dayah Lam Pucok. Perlawanan sengit oleh para pejuang Aceh dilakukan, hingga banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Di pihak Aceh beberapa orang tokoh pejuang, seperti wakil komandan pasukan Rama Setia, lmum Lam Krak, dan Tengku Ahmad, serta sejumlah prajurit lainnya gugur dan syahid dalam medan pertempuran. Syahidnya Tengku Ahmad, membuat sang istri yaitu Teungku Fakinah menggantikan posisinya, baik sebagai pimpinan Dayah Lam Pucok maupun selaku pimpinan pasukan perang.
Demi menjaga harga diri bangsa dan meneruskan perjuangan suaminya, Teungku Fakinah langsung mengadakan kampanye untuk membangkitkan semangat jihad ke seluruh daerah Aceh Besar. Beliau mengajak kaum wanita untuk ikut membantu peperangan, dan mengusahakan pengumpulan dana untuk kepentingan perang melawan penjajah. Dalam buku Peranan Tokoh Agama dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 di Aceh, dijelaskan bahwa, setelah usahanya berhasil, Teungku Fakinah membentuk pasukan wanita yang awalnya hanya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid dalam perang. Hingga akhirnya banyak juga wanita yang masih mempunyai suami ikut bergabung menjadi anggota pasukannya. Kondisi harga diri masyarakat pribumi yang diinjak-injak membuat jihad melawan penjajah dilakukan oleh semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketika pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel J .W. Stempoort dengan jumlah yang besar menyerang benteng-benteng pimpinan Tengku Fakinah di daerah Lam Krak pada 9 Uni 1896 M. Serangan itu disambut dengan perlawanan yang gigih selama dua bulan. Walaupun pada akhirnya kalah melawan Belanda, Teungku Fakinah dan pasukannya mampu menghambat usaha Belanda untuk menduduki daerah Lam Krak, dan membuat Belanda baru bisa menduduki Lam Krak pada Agustus 1896 M, setelah perang berkepanjangan. Ketika Lam Krak dikuasai Belanda, Tenugku Fakinah bersama pasukannya mundur ke Kuta Cot Ukam, kemudian ke Gleyeueng dan ke lndrapuri. Ketika Aceh Besar jatuh juga di tangan Belanda, Teungku Fakinah bersama pasukannya pindah ke Pidie, dan kemudian pindah ke Tangse.
Di Tangse, bersama ulama lainnya, Teungku Fakinah mendirikan dayah darurat untuk mendidik putra-putri Aceh. Tidak lama setelah dia bermukim di Tangse, Belanda menyerang daerah tersebut, dan kali ini pada bulan April 1899 M Belanda dapat menguasai daerah tersebut. Teungku Fakinah bersama pasukannya pun kembali mengungsi ke daerah Pase, dan selanjutnya menuju ke daerah Gayo untuk melanjutkan perang gerilya melawan penjajah. Selain berperang melawan penjajah, Teungku Fakinah bersama para wanita Aceh saat itu juga membangun benteng perlawanan atas perintah Tengku Cik di Tiro. Benteng tersebut terletak di Kuta Cot Weue. Beliau juga menjadi panglima dalam mempertahankan benteng itu dari kepungan tentara Belanda.
Walaupun berkali-kali mendapatkan kekalahan, bahkan harus kehilangan sang suami. Teungku Fakinah tidak patah semangat dalam jihad melawan penjajah. Tahun 1911 M setelah bergerilya melawan Belanda di Lam Krak, beliau membangun kembali dayah yang porak poranda akibat peperangan. Dayah tersebut diberi nama Dayah Lam Diran. Dayah yang berkembang pesat tersebut kemudian memberikan pengaruh besar bagi perlawanan rakyat Aceh dalam jihad melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, dayah tersebut juga memperkuat keagamaan masyarakat Aceh agar tidak terpengaruh dengan berbagai pengaruh dari para penjajah. Sehingga masyarakat tetap teguh membela agama dan bangsanya.
Teungku Fakinah adalah ulama perempuan Indonesia asal Aceh, seorang pendidik dan panglima perang untuk menentang Belanda. Bersama rakyat Aceh, beliau berperang sebagai upaya membebaskan kaum pribumi dari tekanan penjajah, dan juga termotivasi atas kepentingan agama, yakni menyelamatkan keutuhan agama yang dipeluk oleh masyarakat dari kaum penjajah. Teungku Fakinah juga sosok yang tidak mau berdiam diri di kediamannya, beliau bahkan hilir mudik ke seluruh sepertiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta bantuan dalam rangka membantu peperangan melawan Belanda.