Sedang Membaca
Sajian Khusus: Ulama Perempuan Melawan Penjajah

Alumni Perguruan Islam Mathali'ul Falah Kajen, Pati dan Unisula Semarang. Saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Asal dari Jepara dan saat ini sedang berdomisili di desa wisata Tempur, Keling, Jepara.

Sajian Khusus: Ulama Perempuan Melawan Penjajah

Whatsapp Image 2022 01 26 At 00.12.35

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.

Syukur alhamdulillah kita haturkan. Selawat dan salam kita lantunkan.

Pembaca setia alif.id, dalam edisi khusus ke-102 ini kami menyajikan tulisan mengenai perjuangan ulama perempuan pada abad 18-19 yang ditulis oleh Ulfatun Naili.

Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama, dan para santri yang mempunyai andil besar. Baik itu di masa penjajahan Belanda, maupun di masa penjajahan Jepang. Sayangnya, perjuangan para ulama dalam kemerdekaan bangsa Indonesia seringkali terpinggirkan dalam bahasan sejarah perjuangan bangsa. Padahal para ulama mempunyai pengaruh terhadap pola pikir masyarakat, bahkan mampu mengkobarkan semangat jihad melawan penjajah.

Supaya tidak menjadi generasi bangsa yang hancur di masa depan karena buta dengan sejarah pendahulunya. Maka, penulisan-penulisan terhadap perjuangan para ulama dalam kemerdekaan bangsa Indonesia harus terus dilakukan. Tujuannya supaya perjuangan para ulama dalam melawan penjajah tidak hilang begitu saja dan bisa menjadi bukti bagi generasi mendatang bahwa, ulama bukan hanya orang yang mampu berceramah di mimbar-mimbar keagamaan atau hanya mengisi majlis taklim saja. Tetapi, mereka juga mempunyai kepekaan dan kepeduliaan terhadap lingkungannya dalam memberdayakan, memobilisasi, dan mencerdaskan masyarakat yang didasari dengan nilai-nilai agama Islam.

Kata ulama sering diartikan sebagai orang yang ahli agama Islam atau memiliki ilmu pengetahuan tentang agama Islam dan mempraktekkan nilai-nilai tersebut. Atau mereka menggunakan ilmunya untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah swt, mengajar, membimbing dan memimpin masyarakat, memimpin dayah atau pesantren. Ulama adalah pewaris Nabi, penyambung estafet misi yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Baca juga:  Sejarah Surau di Minangkabau: Dari Ninik Turun ke Mamak, dari Mamak Turun ke Kamanakan

Menurut Jajat Burhanuddin dalam Ulama Dan Kekuasaan “Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia”, perlawanan para ulama terhadap penjajahan di Indonesia hampir terjadi di semua wilayah Indonesia. Misalnya di Jawa, gerakan perlawanan terhadap Belanda yang didukung oleh kalangan ulama adalah Perang Jawa (1825-1830 M). Dalam perang tersebut, ulama dan komunitas santri pesantren menjadi kelompok utama yang menjadi garda terdepan perjuangan. Mereka memberi justifikasi religius kepada pemimpin perang waktu itu, yaitu Pangeran Diponegoro. Konflik yang semula konflik internal Keraton Jawa pun berubah menjadi peperangan yang berdimensi keagamaan melawan penjajah.

Contoh lainnya adalah pemberontakan Banten pada tahun 1888 M. Di mana para ulama termuka Banten waktu itu, seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Mardjuki, dan Haji Wasid adalah para tokoh utama yang memimpin perlawanan dan menyatakan perang tersebut sebagai sebuah jihad melawan kolonial. Dan mereka semua mempunyai latar belakang pernah belajar di Mekkah.

Aktivitas anti-kolonial, tidak hanya terjadi di Jawa tetapi juga terjadi di daerah luar Jawa seperti Aceh, Sumatera, dan daerah lainnya. Di Aceh, para ulama Dayah memainkan peran sentral dalam perjuangan melawan kekuatan Belanda. Dayah merupakan sebutan untuk lembaga pendidikan tradisional Islam di Aceh, kalau di pulau Jawa sama halnya dengan pesantren.

Baca juga:  Bagaimana Orde Baru Merancang Hoaks Seputar Pancasila?

Kiprah ulama dan santri dalam mengusir penjajah tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka terlibat dalam perjuangan melawan penjajah sejak lama sampai masa kemerdekaan, bahkan pasca kemerdekaan. Bahkan di tahun 1943-1945 M, hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah Laskar Hisbullah dan Sabilillah. Pada kurun waktu tersebut, banyak kegiatan pondok pesantren diisi dengan berlatih perang dan olah fisik. Peristiwa-peristiwa pelawanan sosial-politik terhadap penjajah, pada umumnya juga banyak dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji (tengku).

Salah satu peran besar para ulama dan santri yang populer sampai saat ini, adalah saat para ulama se-Jawa dan Madura berkumpul di kantor Ansor Nahdlatul Ulama (ANO) pada 21 Oktober 1945 M. Setelah rapat darurat sehari semalam, tepat pada 22 Oktober 1945 M dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan kemudian dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad.” Hal tersebut dilatar belakangi adanya Agresi Militer II Belanda yang mencoba ingin kembali menjajah bangsa Indonesia.

Namun jauh sebelum banyak pesantren terbentuk, dan pesantren masih menjelma menjadi kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Ternate-Tidore, Padang, Minangkabau dan juga Aceh, telah melakukan perlawanan terhadap penjajah. Di Aceh pada waktu itu, bahkan telah menjalin komunikasi dengan Kesultanan Turki Utsmani untuk menggalang dukungan dan bantuan.

Baca juga:  Telaah Jaringan Tegalsari dalam Proses Islamisasi di Wilayah Madiun Selatan

Para ulama memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia di tengah harga diri dan martabatnya yang sedang diinjak-injak penjajah, dan dicap sebagai inlander atau bangsa rendahan. Dan oleh para ulama dibangkitkan kembali semangatnya dengan gerakan perlawanan bersenjata hingga jalur diplomasi. Hingga keyakinan akan syahid memberikan keberanian kepada masyarakat untuk melawan kaum penjajah yang menganggap dirinya sebagai ras kulit putih yang unggul.

Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh kaum lelaki saja, tetapi juga dilakukan oleh para ulama dan pejuang dari kaum perempuan dengan caranya masing-masing. Kaum perempuan mempunyai peran besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jasa dan peran mereka dalam kemerdekaan tidak bisa diabaikan begitu saja, dan harus diabadikan untuk selamanya.

Sayangnya, tidak banyak sejarah perjuangan yang membahas detail peran dan perjuangan para ulama, apalagi para ulama dari kalangan perempuan. Sekali lagi, ulama mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, baik itu dari laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut sebagai bukti, bahwa Ulama bukan hanya orang yang ahli dalam agama Islam, tetapi mereka mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.

 

Selamat membaca.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top