Jumat dalam pandangan Islam menjadi hari paling mulia di antara hari-hari lainnya. Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menyebutkan bahwa “rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban (Idul Adha) dan Idul Fitri”. Kemuliaan hari Jumat sangatlah istimewa apalagi hari Jumat yang bertepatan dengan bulan suci Ramadan sudah pasti keberlimpahan rahmat dan keberkahan khusus diturunkan khusus hari itu sebagai bukti kasih sayang Allah kepada kita semua. Justru di saat momen Ramadan ini berlangsung, pemandangan jamaah masjid-masjid dipenuhi jamaah salat Jumat.
Mengubah kebiasaan dengan berangkat ke masjid lebih awal dari biasanya meski panas terik matahari meracuni pikiran dengan kesegaran takjil. Mengubah kebiasaan dengan memperbanyak tadarus dan bersedekah meski tidak lebih dari uang lembaran hijau tua, itu lebih dari cukup. Kuncinya ada pada konsisten dan istiqomah saja.
Bukan hanya ibadah saja yang perlu diistiqomahkan, sikap toleransi juga perlu. Alasan utamanya di bulan April ini, hari Jumat terasa lebih berbeda dari hari lainnya. Hari Jumat yang saya maksud jatuh pada tanggal 15 April 2022. Hari itu menjadi peringatan besar atas wafatnya Isa Al-Masih dalam keyakinan agama Kristen. Layaknya dua tanaman dalam satu pot, antara kaum Muslim dengan pemeluk Kristiani menjalankan amalan masing-masing di hari yang sama tanpa harus dibatasi oleh perselisihan hanya karena perbedaan agama.
Dulu sewaktu saya bersekolah SMA, di perpustakaan sekolah kami memfasilitasi ruang perpustakaan untuk digunakan bagi mereka yang non-muslim agar tenang menjalankan ibadahnya. Bahkan, para pengunjung perpustakaan jumlahnya juga dibatasi dan tidak boleh menganggu mereka. Itu berlaku untuk hari-hari khusus antara Jumat sampai Sabtu.
Maka, di saat saya mulai merantau ke Solo. Saya tidak lagi kaget ketika memperhatikan gereja dan masjid terletak bersebrangan jalan sewaktu melintasi jalan di daerah Kartasura. Sebuah gedung gereja di utara jalan menghadap pertigaan jalan penghubung jalan masuk ke pondok pesantren di Kartasura. Setiap kali hari Jumat, saya melihat mereka beribadah berdendang liturgi.
Sewaktu Jumat bertepatan dengan peringatan wafat Isa Al-Masih, mereka melakukan ibadah lebih pagi dari biasanya. Disediakan pula fasilitas online bagi yang tidak bisa hadir. Ada pula sesi akhir ketika sehabis salat Jumat di masjid sebelahnya dilakukan. Hal ini mereka usahakan sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan suci Ramadan yang tengah digunakan umat Islam memperbanyak amal ibadah. Bukan berarti mereka membatasi ibadah mereka sendiri, tetapi di sini mereka juga memperhitungkan tenggang rasa dan menjunjung toleransi beragama. Tak ingin menang dalam ego merasa paling benar dalam beragama.
Kesempatan beribadah bagi setiap pemeluk agama adalah hak dari masing-masing umat beragama. Toh negara Indonesia bukan negara agama tetapi beragama. Artinya tidak hanya mengakui agama tunggal terhitung sebagai mayoritas, negara kita juga memperhatikan minoritas agama lain. Kunci perdamaian antarumat adalah menjunjung toleransi. Toleransi berbasis nilai-nilai perdamaian dalam bingkai kebhinnekaan.