Poligami menjadi fenomena berantai tiada putusnya hingga detik ini, seakan-akan mirip gunung es terbalik. Mayoritas perempuan di Indonesia tidak setuju dengan adanya hal ini, banyak alasan dan pertimbangan mereka suguhkan guna menepisnya. Meski begitu, ada pula segelintir orang berpihak di kanan seolah mencoba menggaungkan kembali fenomena ini.
Kiai Hafidin, begitulah kiranya orang-orang akrab memanggil. Sosok mentor berbayar dengan segudang pengalaman soal berpoligami, agaknya sedang mengundang perhatian publik. Menurut informasi yang saya tangkap dari kanal Youtube Narasi Newsroom, beliau memiliki empat istri yang masih terhitung muda juga sekitar 25 anak. Sambil disorot kamera beliau menjelaskan bahwasanya program kelas poligami sudah diikuti sekitar 50 pemudi. Program kelas poligami ini tujuannya guna membentuk keluarga idaman sesuai syariat. Namun, siapa yang tahu apabila memang ada udang di balik batu dengan dalih syariat ? barang tentu hal ini bisa dikendarai tujuan lain tanpa kita sadari.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk berstatus cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan 1,46% dari total populasi Indonesia yang sedang mencapai 272,29 juta jiwa. (databoks.katadata.co.id 23/11/2021). Data ini sungguh fantastis, hampir sebagian besar penyebab terjadinya perceraian adalah poligami atas ketidakadilan yang berlaku.
Selain itu, ada pula dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sehingga tata kelola kekeluargaan tidak bisa dikontrol secara penuh. Dilansir dari Insertlive.com (23/11/2021) Kiai Hafidin pernah menikahi enam wanita, namun beliau bercerai dengan dua istrinya dengan alasan menopause. Menarik bila kita menguliknya dari sisi ini. Jelas sudah terbukti dahulunya beliau pernah bercerai sementara, alasan bercerainya pun kurang bisa dicerna akal sehat.
Ada banyak pasangan yang bisa menjaga kesetiaan dalam rumah tangganya hingga seumur hidup. Seperti dalam film Habibie dan Ainun disutradarai oleh Hanung Bramantyo berhasil mengemas tentang kesetiaan berlandaskan kesejatian cinta sesungguhnya. Meskipun berbentuk film tetapi diangkat dari kisah nyata Habibie dan Ainun. Beliau pernah berkata walaupun raga telah terpisahkan oleh kematian, namun cinta sejati akan tersimpan secara abadi di relung hati.
Tak harus memiliki banyak istri untuk merasakan kebahagiaan sejati, tetapi justru kesederhanaan hati dan rasa bersyukurlah yang membuat hidup lebih berarti lagi. Intinya memang ada kekeliruan masyarakat dalam memandang Kiai Hafidin hanya dengan mata telanjang bukan dari sisi gelapnya saja sekalipun beliau seorang kiai. Tak melulu label kiai membuat seseorang melupakan sisi gelap dari putihnya.
Tanpa cinta kecerdasan itu berbahaya dan tanpa kecerdasan cinta itu tidak cukup, begitulah Eyang Habibie berpesan. Cinta dan nafsu memang tidak bisa lagi dipisahkan terlebih lagi apabila terbingkai dengan nafsu di balik tabir syariat. Lain halnya bila syariat, cinta, dan kecerdasan menyatu guna membentuk kesatuan utuh sesuai tuntunan yang diajarkan. Oleh karena itu ketiga elemen itu dapat memberikan. Sebagai wanita muslimah, saya meyakini memang poligami syariat. Tetapi tidak bisa dipungkiri lagi apabila di balik syariat itu ada tujuan lain. Kita harus cerdas dalam memilih suatu opsi sebab, langkah kita ditentukan dari situ. Sekarang kita melihat langkah Kiai Hafidin merintis program kelas poligami bagi para pemudi serta mencekoki doktrin poligami sebelum mereka matang secara fisik, mental, dan finansial.
Ada baiknya kita melihat dan mendengar liputan wawancara, kira-kira dengan pengakuan satu bulan bila ada sepuluh pertemuan dikalikan dengan sepuluh juta totalnya seratus juta hasil dari keuntungan beliau. Setelah kita takjub, barangkali pernah terpikir ternyata poin pentingnya ialah meraup keuntungan dengan label Kiai serta dengan keilmuan poligami yang beliau miliki.
Baik saya kuatkan dengan pernyataan beliau yang menyepelekan izin dari istri untuk menikah lagi, padahal meski hanya sekadar izin tetapi hal ini sebagai cara menghargai perasaan istri. Gus Baha mengatakan bahwa wanita itu paling tidak bisa menahan rasa kecewa teramat sangat dengan suaminya, apalagi dipoligami tanpa seizinnya.
Menurut beliau wanita itu adalah makhluk satu-satunya yang tidak bisa menyimpan benci terhadap laki-laki. Gus Baha juga menambahkan bahwa dahulu Nabi Muhammad berpoligami dikarenakan ingin menolong para janda yang ditinggal mati suaminya. Oleh karenanya salah satu tanda kenabian adalah ketika Nabi Muhammad memiliki istri banyak. Jadi, Nabi Muhammad berpoligami bukan hanya menjalankan syariat tetapi menolong juga menyejahterakan umat.
Gus Baha khawatir apabila kejadian poligami dilakukan seorang kiai ini bisa menjatuhkan label nama kiai tersebut seperti yang dulu pernah terjadi. (Portaljember.com 23/11/2021) Dari sinilah, kita sebagai perempuan dapat menemukan benang merah bahwasanya poligami itu anjuran juga ajaran tetapi memiliki batasan sesuai tuntunan. Harus jelas juga alasan mengapa poligami itu dijalankan jadi tak serta merta dilakukan tanpa kejelasan mutlak.
Saya tidak melarang adanya poligami hanya saja tidak setuju apabila penerapannya disalahgunakan. Poligami ialah bagian dari syariat tetapi juga harus diberikan batasan tertentu agar penyalahgunaan itu tidak kembali terjadi. Tidak perlu pula muluk-muluk mengurus masa depan rumah tangga orang lain dengan memberikan bimbingan yang kurang perlu, seperti halnya kelas poligami.
Malahan program kelas poligami ini justru menguras waktu, tenaga, dan uang bahkan paling parah lagi bisa mempengaruhi mental generasi muda seolah dimatangkan sebelum waktunya. Justru seharusnya generasi muda diberikan pembimbingan pranikah secara legal dan resmi agar tidak mudah tergoda dengan iming-iming kurang bermutu. Ditambah lagi jika tokoh agama dan tokoh adat turut serta memberikan dukungan dalam pelaksanaannya.
Lebih bagus lagi apabila program kelas poligami yang dilakukan Kiai Hafidin diberhentikan oleh Komnas Perempuan serta Pemerintah. Hal itu bisa membantu memberikan dukungan lebih dalam rangka melucuti segala macam doktrin eksternal yang bisa menggerogoti generasi muda. Dengan begitu generasi muda memiliki benteng kekuatan agar tidak lagi muda terpapar hal bersifat eksternal serta menjurus kepada hal-hal yang menyimpang.