Nama Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad atau yang populer disebut Imam Al-Ghazali tentu tak asing lagi di telinga kita. Gelar prestisius yang tersemat di depan namanya menegaskan kepakaran dan kedudukannya sebagai salah satu ilmuwan muslim paling terkemuka yang lahir pada abad pertengahan. Gagasan-gagasan jenius yang dituangkannya dalam beberapa karya telah ikut serta meramaikan percaturan wacana sekaligus melengkapi khazanah pengetahuan di masanya dan tetap relevan hingga saat ini.
Namun, kendati berhasil menelurkan puluhan karya hebat dalam segala disiplin ilmu pengetahuan, siapapun pasti sepakat bahwa Ihya’ Ulumiddin merupakan karyanya yang paling fenomenal. Sampai saat ini, kitab setebal empat jilid yang secara umum berisi tuntunan-tuntunan tashfiyatul qulub (penjernihan hati) dan tazkiyatun nafs (penyucian diri) ini, tetap menjadi rujukan utama dalam diskursus tasawuf. Ia terus dibaca, dipelajari, dikaji, diajarkan dan didiskusikan.
Sederet nama-nama ulama telah memberi testimoni tentang keistimewaan dan kedahsyatan Ihya’ Ulumiddin. Imam Nawawi, salah satu pembesar madzhab Syafii’i bahkan pernah membuat pernyataan spektakuler:
كاَدَ الْإِحْيَاءُ يَكُوْنُ قُرْآنًا
“Kitab Ihya’ nyaris saja menyamai Al-Qur’an.”
Puluhan tahun lalu, Ihya’—begitu sebutan akrab kitab ini—mungkin hanya dikenal secara terbatas di kalangan pesantren dan akademisi Islam saja, tapi seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, Ihya’ tidak hanya bisa kita temui di sudut-sudut pesantren, ia hadir menyapa kegersangan batin setiap orang kapanpun dan di manapun. Dari kaum alit hingga elit; mulai forum-forum kecil sampai seminar-seminar berskala besar; baik luring ataupun daring.
Salah satu tokoh yang kini dikenal aktif mengampanyekan Ihya’ adalah Gus Ulil Abshar Abdalla. Beberapa tahun terakhir, cendekiawan yang kini memimpim Lakpesdam PBNU itu memang rutin mengkaji dan mengajarkan Ihya’ Ulumiddin dan karya-karya Al-Ghazali lainnya melalui laman media sosial miliknya. Pembacaan dan penjabaran yang lugas, kontekstual dan kaya akan referensi, membuat kajiannya tak pernah sepi peminat. Terbukti pada setiap edisinya tak kurang dari ratusan orang hadir menyimak. Kajian yang semula hanya digelar secara virtual ini kemudian berkembang mewujud kopdar-kopdar di berbagai daerah di Nusantara.
Namun jauh sebelum itu, di bagian timur pulau Jawa, tepatnya di kabupaten yang berjuluk Bumi Shalawat Nariyah, Situbondo, telah terbentuk sebuah forum yang intens menelaah dan mendiskusikan magnum opus Al-Ghazali itu. Adalah Almaghfurlah Hadratussyaikh KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin—seorang Mursyid Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Ahmadiyah, wafat tahun 2012 di Mekkah—yang pertama kali menginisiasi terlaksananya kegiatan ini.
Kiai Sufyan tidak hanya masyhur sebagai kekasih Allah yang memiliki segudang karamah. Beliau juga merupakan figur ideal seorang ulama dengan semangat intelektualitas yang sangat tinggi. Kitab-kitab yang bertumpuk dan berjejer rapi di kediamannya, lengkap dengan catatan-catatan kecil hampir di setiap halamannya, kiranya cukup untuk membuktikan kapasitasnya sebagai seorang pembelajar sekaligus pengajar yang tekun. Bahkan di tengah kesibukannya menghadiri berbagai macam undangan dan juga menemui tamu yang datang silih berganti, Kiai Sufyan tetap menyempatkan diri mengais hikmah dan pengetahuan dari berbagai literatur.
Di antara sekian banyak kegiatan dan forum peninggalan Kiai Sufyan, baik yang bersifat intelektual maupun spiritual, majelis Ihya’ yang beliau ampu semasa hidupnya, lalu diteruskan oleh putra-putra dan para santrinya sepeninggalnya ini, menarik untuk ditulis. Tidak hanya sebagai pengingat akan pentingnya merawat tradisi intelektual yang telah diwariskannya, melainkan juga—sekali lagi—sebagai bukti akan kecintaannya yang begitu mendalam pada ilmu pengetahuan. Kecintaan yang tidak hanya ingin beliau alami dan rasakan sendiri, tetapi juga ditularkan kepada orang lain.
Majelis Ihya’ terbuka untuk umum. Dilaksanakan rutin setiap hari Jumat. Pada setiap pekannya, forum yang diikuti sekitar seratus lima puluh orang ini berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya. Sebagaimana pengajian di kalangan nahdliyin pada umumnya, forum ini diawali dengan pembacaan tawasul kepada Baginda Nabi, mualif dan para pendahulu. Dilanjut dengan pembacaan Ihya’ Ulumiddin secara bergiliran oleh lima orang yang bertugas dalam setiap pertemuan. Dua pembaca awal biasanya dipimpin oleh masyaikh yang hadir saat itu, sedangkan tiga yang terakhir dilanjut oleh hadirin secara umum. Forum ini selesai menjelang shalat jumat dengan dipungkasi doa dan ramah tamah.
Para tokoh yang hadir bertugas sebagai korektor sekaligus pengurai dan pembabar setiap teks yang dibaca. Anggitan Al-Ghazali itu dikupas secara detail dan mendalam. Dalam keragaman penjelasan dan keterangan inilah akan kita temukan banyak faedah bertaburan. Tidak hanya terbatas pada tema tasawuf dalam perspektif Al-Ghazali, tetapi juga melebar pada disiplin ilmu lain yang termaktub dalam sumber-sumber rujukan karya ilmuwan muslim lainnya.
Karena peserta yang hadir mayoritas adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di dunia pesantren dan kitab yang dikaji berbahasa Arab, maka sintaksis dan gramatikal tentu menjadi pokok pembahasan yang tak boleh luput dari perhatian. Maka tak heran kalau kerap kali ada letupan-letupan perdebatan kecil mengenai nahwu dan sharaf di sela-sela pemaparan materi utama. Siapapun tentu boleh mengutarakan pendapat untuk mencari kata mufakat.
Selain diisi kajian kitab, forum ini juga tak jarang dibarengi dengan rangkaian acara-acara lain, seperti Maulid Nabi, aqiqah, walimah, dan segala hajat tuan rumah lainnya. Dengan begitu, selain menjadi sumber ilmu dan hikmah, majelis Ihya’ ini juga menjelma ladang berkah dan momen perekat ukhuwah.
Alhasil, segala tradisi baik seperti yang Kiai Sufyan tanam dan wariskan, harus terus kita rawat dan lestarikan.