Ancaman terbesar bagi spesies manusia di masa depan adalah otomaton bernama Artificial Intelligence (AI, kecerdasan buatan), yakni komputer yang bisa berpikir sendiri. Demikian kata Yuval Noah Harari, sejarawan yang kondang karena mengarang dua buku super-laris, “Sapiens” dan “Homo Deus” (kayaknya belum ada versi Indonesianya ya?).
Saya bukan saintis dan tak paham lekuk-mekuk dunia sains modern. Tetapi berdasarkan “feeling” saya sendiri, hingga sekarang saya kok masih skeptis bahwa manusia mampu menciptakan “kesadaran”.
Manusia bisa menciptakan alat cerdas seperti komputer atau super-komputer. Tetapi komputer tetaplah komputer, bukan organisme hidup yang berkesadaran.
Kesadaran yang basisnya adalah (memakai bahasa agama) “roh” adalah wilayah misteri, sekurang-kurangnya sampai sekarang. Kesadaran, menurut saya (mungkin saya salah), tak bisa diciptakan manusia. Kemampuan manusia paling jauh hanya menciptakan alat untuk menolong dirinya.
Ciri khas alat adalah dia bekerja berdasarkan program yang diinjeksikan pihak lain ke dalamnya. Manusia tentu saja bisa diprogram seperti pernah dilakukan oleh rejim-rejim totaliter-fasistik dulu. Tetapi manusia, cepat atau lambat, akan menolak pemograman seperti itu.
Penolakan seperti itu muncul karena dalam diri manusia ada daya misterius bernama “roh”. Dari sana muncullah kehendak dan kebebasan.
Mesin, komputer atau kecerdasan buatan rasanya kok sulit dibayangkan akan memiliki resistensi yang bersumber dari kehendak bebas seperti ini.
Dulu, kata para penulis sejarah filsafat modern, ketika Copernicus mengemukakan teori tentang bumi yang mengelilingi matahari (heliosentrisme), manusia seperti dilengserkan (dethronement) dari posisi uniknya sebagai pusat semesta. Sebab bumi yang menjadi rumah manusia ternyata bukanlah ada di pusat semesta.
Fisika teoretis modern pada tahun 30an datang dengan gagasan baru yang membuat proses pelengseran manusia ini menjadi kian akut. Einstein datang dengan teori, yang kemudian dibuktikan benar melalui pembuktian ilmiah, bahwa alam raya ini bukanlah alam raya statis seperti digambarkan dalam mekanika Newtonian.
Alam raya terus mengalami pengluasan, “expanding”. Alam raya bisa dikiaskan dengan sebuah balon super-raksasa (“plembungan”, dalam bahasa Jawa di kampung saya di Pati dulu) yang dipompa terus dan kian membesar, “expanding universe”. Gagasan ini membuat bumi tempat berpijak manusia hanyalah titik kecil yang ndak ada artinya sama sekali.
Tetapi, kata seorang “theoretical physicist” asal Brazil Marcelo Gleiser dalam “The Island of Knowledge”, kedudukan manusia mengalami pemulihan kembali (re-enthronement) dalam diskursus astronomi mutakhir. Ini terkait dengan fakta bahwa hingga sekarang belum ditemukan adanya “kehidupan organis”, baik yang berkesadaran atau tidak, di seluruh alam raya, di luar planet bumi ini.
Hingga saat ini, manusia masih satu-satunya wujud berkesadaran yang punya kehendak bebas di alam raya ini. Belum ada “sentient being” selain manusia di alam raya.
Tetapi kita tak tahu apa yang terjadi di masa depan. Sains modern masih “berjihad” terus mencari makhluk lain di alam raya lain, walau sampai sekarang belum tersua.
***
Ini, sekali Lagi, tentu pendapat orang awam di bidang sains.
What will really unfold in the long long long future, we do not know. But, yes, science is one of (not the only) the best achievement of human’s consciousness.