Sedang Membaca
Warung Kecil Juga Penting
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Warung Kecil Juga Penting

Beberapa kali saya membaca dan mendengar “keluhan” (maksudnya sebetulnya positif, yaitu keluhan agar ada perubahan menuju arah yang lebih baik); ya, keluhan tentang betapa sedikitnya minat publik terhadap kegiatan ngaji online yang diampu oleh kiai-kiai NU.

Sementara video-video pengajian yang dibuat oleh, sebut saja, kalangan “sana” (saya ndak usah menjaskan makna kata “sana” ini) jauh lebih viral, jauh lebih banyak di-klik, jauh lebih mendapatkan perhatian.

Saya membaca “keluhan” ini sebagai oto-kritik yang niatnya pastilah, ndak saya ragukan lagi, baik. Yang mengeluh seperti ini sebagian adalah sahabat dan rekan saya sendiri. “Ngaji Ihya’ sampeyan kalah jauh dibandingkan ustadz itu, Mas. Kalau ustadz itu yang ngaji, view-nya bisa ribuan.”

Keluhan ini tentu memiliki tujuan yang mulia: kalau bisa mbokya pengajian-pengajian ala kiai pesantren itu viral seperti yang lain-lain. Saya tentu berharap ngaji-ngaji yang” mendalam” ala pesantren itu bisa “meledak” dan menggaet ribuan, atau malah ratusan ribu view atau subscribers. Makin luas peminat ngaji-ngaji seperti itu, insyaallah akan makin memperbaiki mutu kehidupan keberagamaan kita.

Tetapi, saya memegang prinsip sendiri yang hingga sekarang masih saya anut. Prinsip saya adalah ini: “warung kecil juga penting”. Sebab, memiliki “warung besar” juga ada resikonya sendiri.

Baca juga:  Muhammad Abid Al-Jabiri dan Maroko

Resiko warung besar: njenengan harus melayani kebutuhan orang yang makin beragam, dan kualitas kadang harus diturunkan agar sesuai dengan “selera” orang banyak. Njenengan sendiri akan kehilangan kebebasan. Njenengan akan didikte oleh “konsumen”.

Memiliki warung kecil keuntungannya adalah: Kita bisa membuat “produk” yang lebih sesuai dengan keinginan kita sendiri. Memang produk itu tak akan laku sekeras produk warung-warung “besar”. Tetapi yang “membeli” produk kita, walau kecil, adalah orang-orang yang memang satu “frekwensi” secara “rohaniah” dengan kita.

Memiliki warung kecil membuat kita lebih independen. Kita tidak didikte oleh “pasar”. Penyakit “rohani” orang-orang yang memiliki warung besar adalah: cemas kalau pangsa pasar kita merosot.

Tetapi, prinsip saya ini jangan diberlakukan secara “gebyah uyah” untuk semua kasus. Tentu saja warung besar yang “menyuguhkan” ngaji keagamaan ala pesantren perlu ada. Dan kalau ada yang berjuang untuk membuat hal seperti itu, saya dukung.

Hanya saja, saya lebih nyaman dengan warung kecil. Sebab, dengan warung kecil ini saya tidak didikte oleh selera umum, dan saya bisa “menyuguhkan” produk-produk yang agak sedikit “berat” untuk dikunyah.

Sepertinya ini sudah hukum pasar: gerai yang menjual “makanan-cepat-saji” biasanya cenderung menyedot lebih banyak kosumen. Sementara warung-warung kecil yang menawarkan makanan yang agak “berkelas” biasanya susah menjadi besar.

Baca juga:  Jejak Spiritualitas Gus Dur di Tahun Politik

Ini hanya soal pilihan; atau, jika mau memakai ilmunya Imam Ibn Atha’illah dalam kitab Hikam, ini perkara “maqam” saja. Ada orang-orang yang maqam-nya memang ya bikin warung kecil, ada yang dikersakke (dikehendaki) bikin warung besar. Kalau sudah di sana maqam-nya, dijalani saja.

Sebab, semua jenis maqam itu perlu ada di dunia ini, agar kehidupan seimbang. Dan, percayalah, orang yang bahagia adalah yang berjalan seturut dengan, bukan memberontak terhadap maqam yang sudah “dianugerahkan” kepada dia.

Jadi, sekali lagi, “warung kecil” juga penting ada.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top