Ketika saya datang ke Universitas Boston pada 2005 untuk kuliah, saat itu sedang marak debat teori evolusi vs “intelligent design”. Tetapi saat itu saya belum “ngeh” soal teori evolusi maupun “intelligent design”. Saya betul-betul awam. Tetapi saya tertarik mengetahui perdebatan ini. Saya cari infonya di internet. Saya baca sebisa saya. Salah seorang tokoh yang banyak saya baca ketika itu adalah: Michael Behe.
Ketika di kampus diadakan debat terbuka antara pendukung “teori evolusi” vs “intelligent design”, saya semangat datang. Saya duduk palimg depan. Saya menikmati debat yang berlangsung selama 1,5 jam di hall besar kampus. Meski jujur saja: banyak yang saya tak paham.
Di kelas tentang “comparative religion”, juga diputar film “Inherit the Wind” mengenai “Pengadilan Scopes” yang terkenal itu. Ini adalah pengadilan yang terjadi pada 1925 terhadap seorang guru sekolah yang mengajarkan teori Darwin di kelas. Dia dituduh meyebarkan ajaran yang anti kekristenan.
Saya, ketika itu, tidak tahu, kenapa kok orang ramai-ramai bicara soal teori evolusi kembali. Saya juga tidak mencari info saat itu. Baru sekarang ini saya paham, kenapa pada 2005 itu orang banyak bicara soal teori evolusi di Amerika. Ternyata ada kasus. Kasus pertama: pada 2004, sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Smithsonian Institute di Washington menerbitkan artikel yang ditulis oleh Stephen Meyer. Artikel itu mengajukan teori ttg “intelligent design”. Masyarakat ilmiah Amerika marah karena artikel itu. Kemarahan komunitas ilmiah itu kemudian menjadi kontroversi nasional dan menarik minat sejumlah media ilmiah, termasuk “Chronicle of Higher Education”. Ternyata buntutnya panjang. Editor jurnal itu, Richard Stenberg, kehilangan pekerjaannya di jurnal itu.
Pada saat yang hampir bersamaan (Desember 2004), muncul berita heboh di Inggris. Antony Flew (w. 2010), seorang filsuf Inggris, menyatakan: dia meninggalkan ateisme yang ia “peluk” selama ini. Alasannya antara lain: ditemukannya elemen “intelligent design” dalam struktur DNA.
Pada bulan yang sama, ada kasus lain di Amerika. Sebuah sekolah di kota Dover, Pennsylvania, mengumumkan rencana untuk mengizinkan anak-anak sekolah di sana mempelajari teori “intelligenti design” bersama teori evolusi yang standar. Keputusan ini langsung menjadi kontroversi luas.
Peristiwa-peristiwa ini semua baru saya ketahui sekarang setelah membaca bukunya Stephen Meyer, “Signature in the Cell” (2009). Stephen Meyer adalah direktur Discovery Institute dan salah satu tokoh penting yang mempromosikan teori “desain cerdas” selain Michael Behe.
Sekarang saya jadi paham, kenapa saat saya memulai kuliah di Universitas Boston pada 2005 itu, perkara teori evolusi dan “intelligent design” menjadi heboh sekali. Ternyata ada rentetan peristiwa yang menyebabkan kehebohan ini. Di pusat kehebohan ini adalah teori “desain cerdas” itu.
Inti kritik teori “intelligent design” adalah sederhana: berdasarkan data-data ilmiah yang ada, kehidupan tidak mungkin muncul melalui mekanisme seleksi alam yang random seperti dikemukakan Darwin. Terutama setelah ditemukannya teori tentang DNA oleh Watson dan Crick pada 1953.
Inti teori DNA adalah sederhana: setiap kehidupan (makhluk organis) tersusun melalui susunan DNA yang sekarang ini divisualisasikan dalam gambar Helix Kembar ini. Susunan DNA ini menyerupai kode informasi/bahasa yang berurutan (sekuens) yang mengandung informasi tertentu.
Setiap informasi, sesuai teori Claude Shannon, tidak mungkin muncul dari proses random. Informasi pasti muncul dari akal yang cerdas. Tidak mungkin kera dibiarkan sendiri mengetik lalu, melalui evolusi pelan-pelan, akan jadi buku novel. Nobel hanya bisa lahir dari akal yang cerdas.
Setelah debat soal teori evolusi di hall Universitas Boston pada 2005 itu, saya sudah tidak memperhatikan lagi soal intelligent design. Saya sibuk dengan hal-hal lain. Perhatian saya soal ini muncul kembali setelah maraknya arus “new atheism” belakangan yang dipicu oleh buku-buku Richard Dawkins.
Richard Dawkins menulis buku yang menjadi viral, “The God Delusion” (2006). Buku ini mempromosikan ateisme dan mengkritik kepercayaan pada Tuhan sebagai “delusi”, angan-angan yang keliru. Dawkins sendiri, “by training”, adalah seorang biolog. Mulailah saya tertarik lagi pada teori evolusi.
Saya sendiri santri yang belajarnya hanya kitab-kitab fikih saja. Jadi saya tidak mengerti soal sains. Tetapi saya membaca banyak buku-buku sains populer sebagai hobi pribadi. Kadang terpikir pada saya, “Kenapa dulu ndak belajar sains saja ya? Ternyata menarik!” Tetapi itu hanya angan-angan saja.
Setelah membaca banyak buku-buku tentang sains populer, terutama buku-buku tentang asal-usul kehidupan, saya sekarang ini cenderung pada pandangan ini: bahwa kehidupan tidak mungkin muncul melalui mekanisme acak seperti menjadi konsensus sains modern sekarang ini.
Sebagai santri yang belajar kalam (teologi Islam) dan teologi-teologi dalam agama lain (seperti Kristen; terutama teologi Tomistik/Thomas Aquinas), saya lebih bisa menerima pandangan tentang “non-randomness of life’s origins”. Hidup hanya mungkin muncul via akal cerdas (intelligent design).
Saya tahu, pandangan seperti yang dikemukakan oleh teori “intelligent design” itu dianggap sebagai “heterodoksi” atau (katakan) “kesesatan” dalam komunitas ilmiah sekarang. Karena itu orang-orang seperti Stephen Meyer, Michael Behe, dll. dianggap sebagai promotor pseudo-sains.
Perdebatan seperti ini biasa dalam setiap disiplin keilmuan. Dalam teologi juga ada mekanisme untuk mengisolasi paham-paham yang dianggap melenceng, lalu dilabeli “sesat”, heterodoks. Dalam komunitas sains modern, terutama dalam hal teori evolusi, juga ada proses serupa: mekanisme pendisiplinan.
Opini yang menarik, namun agak keliru mengatakan perdebatan evolusi – ID tahun 2005 karna urusan baru-baru tahun itu. Perdebatan disana sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak 1980-an. Pemicunya banyak, salah satunya seperti distribusi Of Pandas and People yang digunakn untuk menggantikan buku biologi umum. Kemudian ada juga karna stampel di belakang buku, dll. Mengenai asal usul kehidupan, saya harap anda tak banyak membaca buku para pemercaya ID, sebab masalah asal usul kehidupan sangat kompleks. Setidaknya hingga sekarang kita berhasil membuktikan bahwa asam amino atau building block terbentuk lewat mekanisme abiogenesis non teologis.