Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Soal Seksualitas dalam Film Bumi Manusia

Ini adalah bagian ketiga (dua bagian di Facebook saya) dan terakhir dari catatan saya tentang film Bumi Manusia (selanjutnya BM). Baik dalam dua catatan terdahulu maupun dalam catatan ini, saya sengaja lebih memilih untuk membahas aspek-aspek non-sinematografis yang, menurut saya, layak dipercakapkan. Dalam tulisan terakhir ini, saya akan membahas aspek yang mungkin agak sensitif, yaitu seksualitas dalam film BM.

Aspek ini, menurut saya, layak dibicarakan, antara lain karena masalah ini menyita porsi yang sangat besar dalam “obsesi sosial” kita sekarang, terutama di “era hijrah” saat ini.

Ada dua adegan yang mungkin membuat sebagian penonton bertanya-tanya, karena tampak “aneh”. Pertama, saat Nyai Ontosoroh mengantarkan Minke ke beranda rumah, untuk kembali ke Surabaya, setelah bermalam di rumahnya. Saat itu, Nyai Ontosoroh bertanya kepada Minke, Apakah betul ia telah mencium Annelies, puterinya itu. Minke mengangguk, untuk kemudian diikuti dengan permintaan Nyai Ontosoroh agar dia menunjukkan kembali bagaimana dia mencium Annelies. Adegan ini langsung membuat banyak penonton tertawa. Bagi saya, ini salah satu adegan yang menarik dalam film BM ini.

Adegan kedua adalah saat Nyai Ontosoroh menjumpai Minke dan Annelies yang belum diikat oleh perkawinan itu tidur berdua, dalam keadaan separoh telanjang. Tentu saja mereka telah melakukan perbuatan “dosa”. Alih-alih marah dan naik pitam (sesuatu yang pasti akan kita lihat dalam sinetron yang dibuat di zaman ini), Nyai Ontosoroh malah membetulkan letak selimut mereka berdua, agar “tidak masuk angin”. Dia tidak marah. Dia justru menampakkan wajah senang, karena Annelies, puterinya itu, telah mendapatkan lelaki yang pantas.

Dilihat dari sudut pandang moral zaman ini, tentu saja kita akan bertanya keheranan: Bagaimana mungkin Nyai Ontosoroh justru senang melihat anaknya terlibat dalam perbuatan “dosa”? Kenapa dia tak marah? Orang tua macam apa dia ini?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, dilihat dari kaca mata agama, jelas sangat valid. Sebagian catatan teman-teman yang telah menonton, juga menyinggung masalah ini. Inilah yang mendorong saya untuk “menginterogasi” asumsi-asumsi moral di balik novel dan film BM. Tentu saja Hanung sebagai sutradara hanyalah menggambarkan apa yang ada dalam novel PAT. Karena itu, kita layak untuk menelisik lebih jauh: kira-kira wawasan moral-seksual seperti apa yang dipakai oleh PAT dalam novel Bumi Manusia? Atau lebih jauh lag; wawasan moral apa yang dianut oleh PAT sebagai seorang manusia?

Saya jelas tidak tahu jawaban yang pasti atas pertanyaan ini. Yang jelas, PAT bukanlah seseorang yang mengikuti wawasan moral ala kaum santri. Ia justru memiliki pandangan yang agak sinis pada kalangan terakhir ini. Dunia PAT, di mata saya, mungkin agak menyerupai dunia Minke: dunia yang bergerak antara kejawaan yang abangan dan keeropaan yang sekular. Kedua dunia ini jelas memiliki pandangan moral-seksual yang berbeda dengan kalangan santri.

Baca juga:  Puisi, Novel, dan Ruang Akhirat

Kembai ke pertanyaan awal: Wawasan moral-seksual apakah yang dipakai oleh PAT dalam novel BM? Sekurang-kurangnya ada dua dugaan yang bisa diajukan. Pertama, saya mencoba melihatnya dari sudut status Sanikem alias Nyai Ontosoroh sebagai “nyai”, atau gundik yang dikawini oleh seorang bule Belanda. Posisi seorang “nyai” dalam masyarakat kolonial memang unik. Posisi ini, menurut saya, bisa menjadi pintu masuk untuk menjawab teka-teki hubungan “haram” Minke-Annelies yang tampaknya direstui oleh Nyai Ontosoroh ini.

Banyak studi tentang institusi “nyai” dalam masyarakat kolonial. Pada 2008, misalnya, sarjana Belanda Reggie Baay menerbitkan sebuah buku, “De Njai: Het concubinaat in Nederland-Indië” (Nyai: Soal Perseliran di Hindia-Belanda. [buku ini, kalau tak salah, sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu]).

Buku Baay, secara garis besar, menggambarkan posisi “nyai” dalam masyarakat Hindia-Belanda saat itu sebagai kelas sosial yang menempati posisi yang ambigu: Di satu pihak, mereka dipandang secara negatif sebagai perempuan pribumi cantik yang malas, penuh tipu-daya, dan hanya menjadi obyek seksual “tuan-tuan Belanda”. Di pihak lain, mereka juga digambarkan secara positif sebagai perempuan pribumi yang “prigel”, mau bekerja keras, dan loyal pada tuannya.

Pandangan semacam ini tidak saja ada di kalangan orang Belanda pada saat itu, melainkan juga di kalangan warga pribumi sendiri. Dalam salah satu adegan di film ini, digambarkan bagaimana orang-orang desa yang ada di luar perkebunan Nyai Ontosoroh melontarkan komentar sinis pada nyai itu. Dalam pandangan orang pribumi, “nyai” dipandang sebagai orang yang sudah tak lagi terikat dengan moralitas-agama kaum pribumi. Mereka sudah menjadi bagian dari komunitas orang-orang “kafir”. Karena itu, orang-orang Muslim pribumi tidak mempunyai ekspektasi moral apapun kepada para nyai, sebab mereka sudah menjadi “liyan”, orang lain.

Dalam posisi seperti ini, kita sebagai penonton yang menyaksikan film BM ini di “era hijrah” sekarang juga tak bisa berharap apa-apa dari Nyai Ontosoroh dari sudut moral-seksual. Nyai Ontosoroh hidup di era yang lain, di era ketika masalah moral-seksual justru tidak menjadi masalah dalam komunitas para “nyai”. Kedudukan “nyai” yang berada di posisi “tengah-tengah” –tidak sepenuhnya menjadi bagian dari komunitas moral Muslim-pribumi, juga tidak menjadi bagian dari Eropa—membuat mereka justru memiliki “kemewahan” untuk menikmati kehidupan seksual yang lebih longgar.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (2): Masa Khulafaur Rasyidin

Itu menerangkan kenapa Nyai Ontosoroh bersiap “santai” saja melihat puterinya tidur bersama laki-laki yang bukan suaminya. Bahkan ia meminta kepada lelaki itu, yakni Minke, untuk memeragakan kembali bagaimana ia mencium puterinya.

Ini dugaan pertama.

Dugaan kedua adalah menyangkut posisi sosial Nyai Ontosoroh sebagai, kemungkinan besar, seorang Muslim abangan. Bahwa Nyai Ontosoroh adalah seorang Muslim, itu jelas sekali. Ini tergambar dalam pernikahan puteri mereka yang menggunakan tata-cara Islam. Ketika pengadilan Belanda memutuskan bahwa perkawinan Minke-Annelies tidak sah, Minke kemudian menggunakan dokumen yang dikeluarkan oleh penghulu Muslim sebagai dasar untuk mendukung keabsahan perkawinannya.

Minke sendiri juga tampak bukan datang dari keluarga santri (jika memakai taksonomi sosial yang dibuat oleh antropolog Clifford Geertz). Dia datang dari keluarga priayi. Ayahnya adalah seorang bupati Bojonegoro. Dalam laporan antropologis Geertz, kelas priayi ini digambarkan sebagai orang-orang yang lebih akrab dengan praktek kebatinan Jawa atau kejawen, ketimbang syari’at kaum santri. Dalam film BM, aspek kekejawenan ini tergambar dalam “wejangan kebijaksanaan” yang diberikan oleh ibu kandungnya Minke (“Ngalah iku mulya wekasane”, misalnya). Dalam pandangan saya, sosok ibu kandung Minke (sejauh tergambar dalam film-nya Hanung) melambangkan aspek “kejawen” yang menjadi ciri khas kaum priayi Jawa itu.

Dalam masyarakat abangan, aspek-aspek moral-seksual tidaklah seketat dalam masyarakat santri “putihan”. Ini bukan berarti bahwa tidak ada “hukum moral” dalam masyarakat abangan menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan. Sama sekali tidak. Hanya saja, corak moralitas yang berkembang di sana berbeda dengan kalangan santri. Saya menduga bahwa cara pandang Nyai Ontosoroh mengenai hal ini bisa diringkaskan dalam dua kata: cinta dan kepercayaan. Asal seseorang sudah yakin betul bahwa ia telah mencintai lawan jenisnya, dan kedua pasangan telah saling percaya, maka formalitas “akad nikah” hanya mengikut saja. Apa gunanya formalitas jika tanpa “ruh” di dalamnya.

Jika kita baca telaah antropologis Geertz dalam bukunya “The Religion of Java”, akan tampak sekali bahwa meski ada perbedaan antara konsepsi moral kaum abangan dan santri, tetapi keduanya sebenarnya saling membutuhkan. Mereka saling tergantung. Ini tergambar dalam proses akad nikah Minke-Annelies yang menggunakan hukum Islam.

Dengan kata lain, meskipun kaum abangan menganut moralitas seksual yang lebih longgar daripada kalangan santri, tetapi untuk mengesahkan hubungan seksual, mereka tetap membutuhkan “legitimasi” dari kaum santri. Film BM sebetulnya mengangkat suatu data antropologis yang menarik: yaitu interdependensi, “imbrikasi” (saling keberkaitan) antara kalangan santri-abangan-priayi.

Baca juga:  Lapis-lapis Penghayat Kepercayaan

Yang menarik, ada suatu adegan dalam film BM ini di mana digambarkan seorang hakim Belanda mengkritik Nyai Ontosoroh karena membiarkan puterinya berhubungan dengan Minke, padahal mereka bukanlah suami-isteri (dalam pengertian: tidak disahkan hubungan mereka menurut hukum Eropa!). Di balik kritik ini, tentu terselip “asumsi puritan” dalam pandangan orang-orang Belanda tentang seksualitas.

Di sini, Nyai Ontosoroh langsung menyerang balik hipokrisi bangsa Eropa tentang soal ini. Kritik Nyai Ontosoroh kira-kira bisa diringkaskan sebagai berikut: “Kalian, wahai orang-orang Eropa, begitu peduli soal moral dalam hubungan Minke-Annelies, tetapi kalian melakukan hal yang lebih tak bermoral, yaitu menceraikan mereka, padahal mereka sudah menikah menurut hukum Islam. Kalian merampas harta yang merupakan jerih payah kami selama bertahun-tahun, hanya karena kalian menganggap pernikahan saya dengan suami saya yang orang Eropa itu tidak sah. Karena saya hanyalah pribumi dan seorang gundik. Kalian munafik!”

Kemunafikan Eropa ini juga diperparah dengan fakta lain: Robert Mellema, anak pertama Nyai Ontosoroh yang merasa lebih Eropa ketimbang orang Belanda sendiri, padahal di dalam dirinya ada darah pribumi juga, telah memperkosa adiknya sendiri, Annelies. Peristiwa ini telah meninggalkan “trauma” yang mendalam pada Annelies, sehingga dia menjadi pribadi yang secara moral-psikologis sangat rapuh. Mungkin peristiwa ini yang membuat Annelies lebih memilih Minke, pribumi coklat, tinimbang Robert Suurhoff yang menaruh hati pada Annelies sejak awal. Bagi Annelies, kehormatan bukan terletak pada kepribumian atau keeropaan, melainkan pada sikap etis. Dia melihat sikap etis ini justru pada Minke yang pribumi.

Dalam soal seksualitas, kita melihat suatu kontras dalam film BM: antara bangsa Eropa yang seolah-olah “puritan” dari sudut moral-seksual, tetapi sejatinya munafik, dan pribumi abangan yang berjuang mempertahankan cinta-murni yang memang cenderung agak “permisif”, tetapi toh secara formal telah disahkan oleh hukum Islam.

Intinya: “Moral hypocrisy vs true love.”

Dalam setiap bagian dalam novel dan film BM ini, kita memang melihat kemarahan pribumi (baca: Pramoedya Ananta Toer) melihat kemunafikan moral bangsa Belanda pada saat itu. Tetapi, seperti saya tulis sebelumnya, walau kecewa karena “moral hypocrisy” ini, bangsa pribumi tetap memandang Eropa dengan kekaguman, karena di sanalah ada kemajuan, “idea of progress”, kemoderenan, rasionalitas. Di sinilah kita melihat ambiguitas dalam hubungan antara pribumi dan Eropa.

Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Hai Kak… Aku membaca tulisan ini dan mendapatkan begitu banyak ilmu dan wawasan baru terkait nilai moral, khususnya nilai seksualitas serta kemunafikan orang Belanda. Boleh aku cantumkan link-nya di blogku? Terima kasih.

Komentari

Scroll To Top