Sebuah hadis yang termuat dalam kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslim di Afrika Utara itu), cukup menarik. Hadis ini bercerita tentang seorang Tabi’in yang salat sambil bermain-main. Nama Tabi’in ini ialah Ali bin Abdurrahman al-Mu’awi.
Dalam hadis ini dikisahkan bahwa al-Mu’awi sedang salat. Pada saat duduk untuk tasyahhud, dia tidak meletakkan tangannya di atas kedua pahanya, sebagaimana lazimnya seseorang yang sedang duduk tasyahhud.
Al-Mu’awi justru membiarkan kedua tangannya bermain-main dengan kerikil (istilah yang dipakai dalam hadis tersebut adalah: al-hashba’). Tindakannya ini kemudian dilihat oleh Abdullah bin Umar, seorang sahabat agung, putera khalifah kedua Umar bin Khattab.
Begitu selesai salat, al-Mu’awi kemudian didekati oleh Ibnu Umar dan diberi tahu bahwa tindakannya itu salah. Lalu Ibnu Umar memberitahu tentang bagaimana persisnya Kanjeng Nabi dahulu salat, dan bagaimana beliau ber-tasyahhud.
Kata Ibnu Umar: Ketika duduk, Kanjeng Nabi meletakkan telapak tangan kanan di atas paha kanan, seraya menggenggam jari-jarinya, dan memberi isyarat dengan jari yang terletak di sebelah jari jempol. Dan Nabi meletakkan telapak kiri di atas paha kiri.
“Demikian Kanjeng Nabi dulu salat,” kata Ibnu Umar.
Ali ibnu Abdurrahman al-Mu’awi ini adalah seorang Tabi’in (yakni: generasi yang lahir setelah generasi sahabat Kanjeng Nabi) di Mesir. Ia meninggal pada 272 H. Leluhurnya adalah Malik bin Mua’wiyah dari kabilah al-Aus (salah satu dari dua kabilah utama di Madinah), dan karena itu ia disebut sebagai al-Mu’awi.
Di tinggal cukup lama di Madinah. Dan karena itulah ia menjadi sumber riwayat dari beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya yang mayshur itu: al-Muwatta‘.
Al-Mu’awi adalah salah satu perawi hadis yang terpercaya (bermoral), alias tsiqah. Dia meriwayatkan hadis melalui dua jalur sahabat: yaitu Ibnu Umar dan Jabir ibnu Abdullah.
Apa yang menarik dari kisah ini? Di mata saya, kisah kecil ini mengandung informasi yang menarik tentang bagaimana praktek riil yang terjadi di generasi awal dalam sejarah Islam; bahwa generasi awal Islam yang disebut “salaf” itu sangat manusiawi sekali.
Di antara mereka ada orang-orang yang mungkin masuk dalam kategori “awam” dan belum tahu tentang tata-cara yang sederhana dalam salat, seperti kisah al-Mu’awi ini.
Kisah ini juga sekaligus menggambarkan bahwa kehidupan keagamaan di masa awal Islam itu tidaklah “serem” seperti gambaran yang dimiliki oleh sebagian kalangan Islam saat ini.
Kehidupan keagamaan di masa awal Islam ini kurang lebih mirip dengan keadaan sekarang. Di antara mereka bahkan ada juga yang salat sambil main-main.
Tentu saja, generasi Tabi’in tetaplah generasi terbaik dalam sejarah Islam, bukan karena mereka salat dengan amat khusyuk seperti malaikat, tetapi karena kemurnian iman mereka sebagai generasi yang berinteraksi langsung dengan sahabat-sahabat Nabi. Sekian. (aa)