Kemaren sore, saya “mudik” ke kampung saya di Cebolek, Pati, bersama “Mbak Admin”, dan anak-anak, melewatkan liburan akhir tahun, liburan yang ternyata “modot-moler” berkepanjangan. Sesampai di rumah masa kecil itu, hal pertama yang saya lakukan adalah membongkar beberapa koleksi buku saya yang saya simpan di kampung.
Ada banyak kitab dan buku yang langsung membangkitkan kenangan masa lalu yang, entah kenapa, masa lalu itu kok selalu terasa indah.
Mata saya kemudian tertumbuk pada kitab yang menjadi teks perkuliahan di kampus tempat saya belajar dulu — kampus Saudi Arabia yang ada di Jakarta: LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab); kitab “Awdhah al-Masalik”, sebuah kitab syarah atau komentar atas Alfiyyah (kitab seribu bait tentang tata bahasa Arab yang sangat populer di pesantren).
Kitab ini ditulis oleh seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab) terbesar terakhir dari Mesir, yaitu Ibnu Hisyam al-Anshari (w. 761 AH/1360 AD) (jangan dijumbuhkan dengan Ibn Hisyam pengarang kitab sirah Nabi yang terkenal itu; keduanya adalah dua sosok yang berbeda dan dipisahkan oleh rentang waktu yang amat panjang). Secara krono-historio-komparatif, Ibnu Hisyam al-Anshari ini hidup sezaman dengan raja terbesar Majapahit, Prabu Hayam Wuruk yang berkuasa pada 1350-1389 AD.
Melihat kitab ini, kenangan saya langsung terbang ke masa lalu, sekitar tiga puluh tahun lampau, saat saya belajar di universitas “cabang” dari Saudi Arabia yang berlokasi di kawasan Jl. Salemba Raya itu. Saya mempelajari kitab syarah Alfiyyah ini hingga khatam, di bawah asuhan seorang dosen asal Saudi: Ustaz Ahmad al-Nahari (semoga Allah memberinya umur panjang). Kitab ini terdiri empat jilid, dan saya membutuhkan empat tahun untuk mengkhatamkannya, dari sampul ke sampul. Saya sungguh menikmati kitab ini.
Saya adalah pecinta nahwu/sharaf (tata bahasa Arab), kecintaan yang ditanamkan secara mendalam oleh ayah saya, Kiai Abdullah Rifai, pendiri Pondok Pesantren Mansajul Ulum di desa Cebolek.
Saya mencoba membolak-balik kitab ini, dan di sana saya menjumpai sejumlah catatan, “taqrirat” atau “hawamisy”, baik catatan yang saya nukil dari keterangan dosen, ataupun catatan yang saya buat sendiri untuk mempertegas pemahaman saya atas kitab ini.
Tak saya sangka, kitab ini saya pelajari sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Dalam sampul kitab ini, tertera penanggalan yang saya buat: 1410 AH. Secara fisik, jilidan kitab ini sudah rusak. Tetapi bau kertasnya membawa kenangan yang indah, kenangan tentang masa lampau ketika saya masih langsing (hahaha…) dan penuh dengan mimpi untuk mengubah dunia.
Begitu cepat waktu berlalu. Begitu cepat. Hari ini, saya berulang tahun. Dan saya ingin mengenang sosok yang menanamkan kecintaan yang mendalam pada ilmu, terutama ilmu nahwu. Tak lain adalah ayah saya sendiri, almarhum Kiai Abdullah Rifa’i. Semoga Allah melapangkan kuburnya dan membalas semua amal baiknya, serta mengampuni segala kekhilafannya.
Ayah sayalah yang menempa saya secara spartan dalam tradisi belajar yang keras, dan menjadikan saya seperti saat ini.