Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin jilid pertama, terutama dalam bab tentang keutamaan ilmu (fadlilat al-‘ilm), al-Ghazali membagi ilmu secara garis besar ke dalam dua golongan: ilmu-ilmu agama (‘ulum syar’iyyah) dan ilmu-ilmu yang non-agama (‘ulum ghair syar’iyyah).
Perbedaan pokok antara kedua ilmu ini hanya satu saja: yang pertama bersumber dari wahyu, yang kedua bersumber dari penalaran dan pengalaman manusia (“al-tajribah”, dalam istilah yang dipakai oleh al-Ghazali). Walau yang satu ilmu agama, dan yang lain non-agama, bukan berarti yang kedua tidak penting. Bukan itu maksud Imam Ghazali, sebagaimana disalah-pahami oleh sebagian pihak.
Saya akan membahas ilmu jenis kedua, sebab ini relevan dengan apa yang mau saya sampaikan dalam tulisan ini. Menurut al-Ghazali, ilmu-ilmu yang bersifat non-agama dibagi ke dalam dua bagian lagi. Yang pertama, ilmu-ilmu yang terpuji (‘ulum mahmudah), dan layak, bahkan harus dipelajari; kedua, ilmu-ilmu yang tak terpuji (‘ulum madzmumah) dan harus dihindari karena akan membawa mudarat.
Contoh untuk ilmu jenis kedua ini (yaitu: ilmu yang tak terpuji) adalah ilmu sihir. Tetapi contoh yang lebih relevan di era post-truth sekarang ini adalah: ilmu propaganda yang sengaja dipelajari untuk “menyesatkan” publik. Ilmu seperti ini haram dipelajari, kecuali jika kita kaji dengan “nawaitu” untuk menangkalnya.
Sementara itu, ilmu-ilmu non-agama yang terpuji dan layak dipelajari, juga dibagi dua lagi. Pertama, ilmu-ilmu yang harus dipelajari secara fardu kifayah (artinya: minimal harus ada satu orang yang mempelajarinya; jika tidak, seluruh umat Islam menanggung dosa kolektif). Kedua: ilmu-ilmu yang tidak masuk dalam kategori fardu kifayah, melainkan hanya disarankan saja untuk mempelajarinya (fadhilah).
Contoh yang secara eksplisit disebut oleh al-Ghazali untuk jenis ilmu-ilmu non-agama yang terpuji dan fardu kifayah untuk mempelajarinya adalah ilmu kedokteran (al-thibb). Ada contoh-contoh lain yang disebut, tetapi saya “jlongi”, loncati saja, karena tak relevan dengan pembahasan di sini.
Saya ingin mencoba meng-kontekstualisasi-kan keterangan al-Ghazali ini dengan situasi sekarang. Di era wabah virus corona sekarang, kita bisa mengatakan bahwa status mempelajari ilmu virus (virologi) dan mikrobiologi yang menjadi dasar dari ilmu virologi itu adalah fardu kifayah. Maknanya: Jika tak ada satupun umat Islam yang mempelajari ilmu ini, semua orang Islam akan menanggung dosa kolektif. Mininal ada satu orang yang mempelajarinya. Makin banyak, makin baik.
Ilmu mikrobiologi dan virologi menjadi sangat penting saat ini, karena merebaknya virus akan menjadi pemandangan reguler di masyarakat modern di masa-masa mendatang. Kita harus siap menghadapi resiko hidup di era modern saat ini. Salah satunya adalah resiko menyebarnya virus dari waktu ke waktu, dan persebaran ini akan kian cepat, kian luas karena globalisasi komunikasi dan transportasi.
Inilah harga yang harus kita bayar untuk hidup di era modern, bahkan pos-modern ini. Kita tak mungkin kembali ke zaman batu, kata Yuval Noah Harari dalam artikelnya baru-baru ini di Times.
Pandemi corona ini bukanlah satu-satunya; ia bukan virus yang akan selesai setelah vaksin-nya kelak ditemukan (hingga sekarang belum ditemukan; masih uji-coba terus). Jenis virus lain akan muncul terus, dengan mutasi baru, dan ancaman yang mungkin jauh lebih mematikan. Sebagaimana dunia manusia mengalami evolusi, begitu juga dunia super-super-super mikro seperti virus: dia akan berevolusi, bermutasi dari waktu ke waktu. Itulah “sunnatul-Lah” yang tak bisa kita hindari.
Selain mempelajari ilmu virus dari aspek “hard science”-nya (yaitu ilmu mikro-biologi), kita juga wajib secara fardu kifayah untuk mempelajarinya dari aspek “soft science”-nya, yaitu ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu dan manajemen untuk mitigasi: mengurangi dampak-dampak penyebarannya, dan bagaimana menangani stres sosial karena pandemi itu.
Dalam kerangka yang kedua ini, mempelajari sosiologi modern mengenai soal globalisasi dan resiko-resikonya, hukumnya juga fardu kifayah. Kita tidak bisa hanya mempelajari virus dari sudut biologi dan kedokteran saja, tetapi juga harus melihat dampak-dampak sosialnya. Buku-buku karya para sosiolog seperti Zygmunt Bauman, Ulrich Beck, dan Anthony Giddens (tiga nama yang paling penting dalam kajian tema ini) mengenai “risk society” wajib secara fardu kifayah untuk dibaca.
Mari kita semua bahu-membahu untuk menjadi solusi dalam mengatasi wabah sekarang ini. Kontribusi minimal adalah: kita tinggal di rumah, jangan terlalu banyak membiarkan diri berada di tengah kerumunan; sering-sering “ghasl-ul-yad” alias cuci tangan dengan sabun atau disinfektan. Ini langkah sederhana tapi krusial untuk memutus siklus penyebaran virus.
Dengan tidak jatuh sakit karena mau melakukan “social distancing” dan langkah-langkah seperti ini, kita sudah berkontribusi besar, karena mengurangi beban dokter dan pekerja medis yang sekarang mati-matian sedang bertempur di lini depan untuk “melawan” pandemi ini.
Tentu saja, jangan lupa: banyak membaca istighfar dan salawat. Salawat apa saja. Menurut Kiai Abdul Hamid Kendal, satu-satunya doa yang bisa dibaca tanpa ijazah apapun adalah salawat. (RM)