Salah satu ajaran kebijaksanaan yang terus menempel dalam diri saya sejak mepelajarinya pertama kali dalam kitab Ta’limul Muta’allim (kitab pedagogik yang populer di pesantren) adalah berikut ini, “Ana ‘abdu man ‘allamani, walaw harfan wahidan.”
Kalimat ini, konon, berasal dari Sayidina Ali, khalifah keempat dalam Islam yang oleh Kanjeng Nabi disebut sebagai “gerbang kota ilmu” itu. Makna kebijaksanaan ini adalah sebagai berikut, “Aku adalah hamba atau budak bagi siapa pun yang mengajarkan ilmu kepadaku, walau sehuruf saja.”
Kalimat ini, bagi saya, mewakili cara pandang yang khas dalam tradisi Islam klasik terhadap ilmu dan orang-orang yang menyebarkannya. Sekurang-kurangnya ada dua pengertian penting di sana. Pertama, kebijaksanaan ini mengajarkan satu hal amat penting: bahwa ilmu amatlah berharga.
Pandangan seperti ini mungkin tampak aneh saat ini. Di tengah-tengah banjir informasi sekarang, pengetahuan seperti mengalami “inflasi”. Di dalam era ketika buku-buku yang telah berubah format menjadi buku-digital (baca: ebook) bisa diperoleh secara gratis hanya dengan satu-dua klik saja, pengetahuan tampak kehilangan harga.
Inilah zaman yang ditandai dengan ciri berikut: Siapa saja bisa baca apa saja (asal memiliki koneksi internet, tentunya!). Sesuai dengan hukum besi “suplai dan permintaan”, manakala sesuatu tersedia melimpah, tentu harganya merosot, nilainya “ambyar”. Inilah nasib informasi dan pengetahuan sekarang.
Zaman saya kecil dulu, sebuah buku menjadi amat berharga, karena sukar diperoleh. Saya akan membaca buku itu huruf demi huruf, paragraf demi paragraf, dengan sabar, dengan khusyuk dan takzim, hingga tamat. Karena buku lain belum tersedia, sementara semangat membaca masih menyala-nyala, saya kadang harus membaca buku itu berulang kali, seperti mendaras Al-Qur’an.
Sekarang, di tengah kelimpahan buku dan informasi, pengalaman membaca yang “sakral” itu hilang! Saya kadang kangen pada “firdaus indah” yang pernah saya alami justru pada saat buku sedang langka itu. Apakah ini yang disebut “the curse of abundance,” kutukan kelimpahan?
Kebijaksanaan dari Sayidina Ali tadi, bagi saya, mengingatkan kembali: bahwa apa pun yang terjadi pada pengetahuan, ia tetaplah sesuatu yang berharga. Tentu saja nilai pengetahuan yang diperoleh via daring, yang kita pelajari secara “langsung” melalui seorang guru, secara “muwajahah”, face-to-face, jelas berbeda. Tetapi ilmu tetaplah ilmu: ia adalah barang yang amat berharga.
Karena itu, dan ini adalah pengertian kedua yang terkandung dalam kebijaksanaan Sayidina Ali di atas, seorang guru yang telah menjadi sarana bagi transmisi atau pemindahan ilmu hingga sampai kepada kita, dengan sendirinya memiliki kedudukan yang juga amat terhormat.
Seseorang yang membawa barang berharga, akan “tertulari” oleh nilai yang terkandung dalam barang ia bawa itu. Jika Anda membawa surat yang ditulis oleh, misalnya, Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur itu), tentu saja Anda akan tertulari oleh “barakah” atau nilai di dalam surat tersebut. Anda akan memperoleh “kramat gandul”.
Kira-kira demikianlah “logic” atau alasan di balik kalimat bijaksana yang diucapkan oleh Sayidina Ali itu. Ketika Anda mendapatkan pengetahuan atau ilmu dari seserang, persis pada momen itu terjadi hubungan yang “spesial” antara Anda dan orang itu: hubungan yang “keramat”. Anda telah menjadi “budak” bagi orang itu.
Istilah “budak” di sini janganlah ditafsirkan secara keliru, seolah-olah seorang murid harus “manut tanpa bisa berpendapat lain”. Ini jelas pengertian yang salah. Dalam sejarah intelektual Islam, sangat lumrah seorang murid berbeda pendapat dengan guru. Menghormati guru bukan berarti menutup sama sekali pintu untuk berbeda pendapat.
Kata “budak” di sini harus dimaknai dalam konteks kultur bangsa Arab pada abad-abad pertama Islam. Seseorang yang menjadi budak bagi orang lain dan kemudian oleh yang terakhir ini dimerdekakan, ia, dalam budaya masyarakat Arab dahulu, akan memiliki hubungan khusus dengan mantan majikannya itu.
Hubungan itu, dalam tradisi Arab, disebut wala’. Artinya: mantan budak tersebut terikat oleh hubungan khusus yang mirip hubungan kesedarahan atau kesukuan. Bekas budak itu seolah-olah menjadi bagian dari “kabilah” atau “keluarga besar” sang mantan majikan. Itulah hubungan yang disebut wala’. Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab klasik, seorang budak/mantan budak disebut juga “maula”, artinya, seseorang yang terikat hubungan wala’ dengan mantan majikan.
Seorang murid/santri yang telah menerima ilmu dari seorang guru/kiai, ia terikat dalam hubungan khusus semacam ini. Santri itu telah menjadi bagian dari “keluarga besar” sang kiai. Hubungan ini akan terus bertahan hingga kapan pun. Seorang santri yang “sowan” kepada guru atau kiainya, ia seperti sedang mengunjungi keluarganya sendiri.
Inilah, menurut saya, makna kalimat Sayidina Ali yang masyhur itu.
Tentu saja, makna ini, sekarang, sudah mengalami “desakralisasi”, kehilangan kekeramatan, seiring dengan inflasi yang terjadi pada ilmu dan pengetahuan secara umum. Hubungan antara murid dan guru pelan-pelan seperti bergeser menjadi hubungan yang sifatnya agak “kontraktual”: seperti penjual dan pembeli.
Keadaan ini tentu amat kurang menyenangkan bagi orang-orang yang tumbuh dalam tradisi Ta’limul Muta’allim seperti saya. Meminjam istilah terkenal dari Karl Marx, keadaan ini telah menimbulkan “entfremdung,” keterasingan, dan alienasi pada diri saya. Dan setiap alienasi akan membawa kesedihan dan ketidak-nyamanan.
Saya kira, tradisi menghargai ilmu dan guru seperti digambarkan oleh Sayyidina Ali itu tetap layak dipertahankan dan dihidupan lagi sekarang. Inilah, mungkin, salah satu cara untuk memulihkan kembali “pesona” kepada dunia yang sudah mengalami de-sakralisasi terlalu jauh.
Inilah proses (untuk meminjam dengan sedikit modifikasi istilah dari Max Weber) “re-enchantment of the world”.
Sekian.