Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, atau lebih dikenal sebagai Bin Baz, adalah ulama paling dihormati di Saudi hingga sekarang. Dialah simbol salafisme modern par excellence, dan “jubir wahabisme” yang paling fasih (selain beberapa ulama lain seperti Syekh Muhammad bin Salih al-Utsaimin [w. 2001], murid dari Bin Baz) dan belum tergantikan hingga saat ini. Dia pernah menjadi “grand mufti” negeri Saudi sejak 1992 hingga wafatnya pada 1999.
Gus Mus mengisahkan sesuatu yang menarik mengenai kunjungan delegasi PBNU di era Gus Dur untuk menemui ulama besar Saudi tersebut. Inilah kisah itu.
Syekh Bin Baz pernah mengirim undangan khusus kepada sejumlah tokoh NU pada 1989, beberapa waktu setelah Muktamar NU di Krapyak. Berangkatlah Gus Dur yang baru terpilih kembali sebagai Ketum PBNU untuk menemui ulama besar Saudi itu. Gus Dur berangkat didampingi oleh lima tokoh NU, antara lain: Kiai Sahal Mahfudz, Fahmi Saifuddin (kakak kandung mantan Menag Lukman Saifuddin), Abdullah Syarwani, dan Gus Mus. Oleh Gus Dur, Gus Mus didaulat sebagai jubir rombongan secara “impromptu”, secara mendadak.
Singkat cerita, terjadilah pertemuan itu: rombongan PBNU diterima di ruang tamu Syekh Bin Baz yang, menurut cerita Gus Mus, luar biasa “buesaaar”. Di ruang tamu itu, ternyata ada banyak rombongan dari berbagai negara. Mereka, satu-satu, dipanggil menemui Syekh Bin Baz. Ketika antrian tamu-tamu hampir habis, dan ternyata belum ada panggilan untuk delegasi PBNU, para kiai itu mulai was-was.
“Jangan-jangan Syekh Bin Baz lupa ada tamu dari Indonesia,” kata Gus Mus sambil nyenggol lututnya Kiai Fahmi Saifuddin.
Setelah semua tamu pulang, datanglah panggilan untuk delegasi PBNU. “Monggo, kalian dipersilahkan ke ruang khusus Syekh Bin Baz,” kata staf yang bertugas memanggil para tamu yang sowan ke ulama besar Saudi itu.
Rupanya, delegasi PBNU dipanggil paling akhir karena akan diberikan “special treatment”: bertemu dengan Syekh Bin Baz di ruang pribadinya yang paling “private”.
Setelah Gus Mus, sebagai jubir rombongan, menyampaikan “unggah-ungguh sak untara”, terjadilah dialog hangat antara delegasi PBNU dan Syekh Bin Baz, tentang banyak hal. Ketika Gus Mus memberi tahu beliau bahwa anggota NU ada lima puluh juta (pada 1989), Syekh Bin Baz “njenggirat”, terperanjat kaget.
“Lima puluh juta?” tanya Syekh Bin Baz dengan nada keheranan yang benar-benar “otentik”. Angka itu, hingga sekarang pun, masih jauh lebih tinggi dari penduduk Saudi (per 2019, penduduk Saudi berjumlah 34 juta). “Bagaimana mungkin ada ormas dengan jumlah anggota yang melebihi jumlah penduduk negara Arab yang besar seperti Saudi?” demikian, mungkin, pikir Syekh Bin Baz.
“Terus, bagaimana kalian membiayai kegiatan organisasi sebesar itu?” tanya Bin Baz.
Mendengar pertanyaan yang tak terduga-duga ini, delegasi PBNU saling memandang, bisak-bisik, mendiskusikan bagaimana menjawab pertanyaan ini. Karena Syekh Bin Baz buta, dia tak melihat “momen bisak-bisik” itu. Gus Mus sendiri kebingungan menjawab, sebab, seperti kita tahu, pembiayaan NU pada era itu memang agak “la yajlis” (لا يجلس), alias tak jelas.
“Ya, kita menarik iuran dari anggota, wahai syekh,” kata Gus Mus mengambil inisiatif secara sepihak, karena tak ada kata sepakat di antara delegasi tentang bagaimana menjawab pertanyaan syekh itu.
Syekh Bin Baz, tentu saja, percaya pada jawaban Gus Mus. Lalu, sejurus kemudian, “Apa yang bisa kami bantu untuk pengembangan NU?” tanya Syekh Bin Baz.
Terjadilah diskusi kembali di antara para delegasi. Dengan agak berbisik, Kiai Fahmi Saifuddin berkata: “Nah, ini kesempatan baik bagi kita.”
“Kalian ini bagaimana, baru ditawari sedikit sudah “njronthol” pengen setor proposal,” Gus Dur menyela. “Jangan langsung diterima dulu lah tawaran ini. Jangan kelihatan, kita ini meminta-minta”.
Gara-gara komentar Gus Dur ini, antusiasme para delegasi akhirnya “kempes”. Untuk menaikkan kembali semangat para teman-temannya, Gus Mus ambil inisiatif mengajukan proposal yang sudah dibawa oleh Kiai Fahmi dan diterjermahkannya ke dalam bahasa Arab.
“Ini ada program yang bisa dibantu, wahai syekh,” kata Gus Mus seraya menyodorkan proposal Kiai Fahmi untuk Lakpesdam NU.
Singkat cerita, ketika rombongan pulang ke Indonesia, dan Gus Mus tiba di “ndalem” di Rembang, tiba-tiba ada sepucuk surat dalam bahasa Arab yang ditujukan kepada Gus Dur dan Gus Mus. Surat itu berasal dari Kiai Misbah mBagilan, adik kandung Mbah Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus). Seperti pernah saya tulis sebelumnya, Kiai Misbah adalah kiai yang “galak”, terus-terang saat mengkritik, tetapi punya hati selembut sutera (menurut penggambaran seorang kiai dari Mranggen, Demak).
Inti surat itu kira-kira demikian: “Haddatsani fulan, haddatsani fulan, haddatsani fulan, aku dapat cerita dari si ini, si ini, si ini bahwa kamu dan Durahman Wahid dapat bantuan dari ulama Wahabi.” Menarik sekali bahwa Kiai Misbah menggunakan “uslub” atau cara yang kerap dipakai dalam tradisi periwayatan hadis: haddatsani, haddatsani, haddatsani…
Kemudian Kiai Misbah bercerita panjang-lebar tentang Mbah Hasyim Asy’ari (kakeknya Gus Dur, pendiri NU), dan isterinya. Suatu hari, kata Kiai Misbah dalam surat itu, isteri Mbah Hasyim mencuci beras di kali dengan “ayakan”, untuk memisahkan antara beras dan kerikil. Tiba-tiba ada banyak bulir emas di antara beras itu. Ketika hal ini dilaporkan kepada Mbah Hasyim oleh isterinya itu, beliau berkata dengan keras, “Buwak!”, buang saja.
Di ujung kisah ini, kemudian Kiai Misbah membubuhkan komentar pendek: “Mbah Hasyim begitu wira’i, menjaga diri dari dunia, kok cucunya mau terima bantuan dari syekh Wahabi.”
Ketika melaporkan surat ini kepada Gus Dur beberapa hari kemudian, Gus Mus berseloroh: “Pancen sampeyan yang bener, Gus. Ketika itu kan sampeyan “ngrawehi”, melarang kami menerima bantuan dari Syekh Bin Baz.”
“Lah la iya, sampeyan-sampeyan tak kandani ora ngandel,” kata Gus Dur sambil tertawa terkekeh-kekeh di telepon.