Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.. Hari ini, salah satu tokoh penting NU dan sekaligus senior PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), wafat. Jejak sosok ini dalam NU sangat panjang, dimulai dari persiapan-persiapan menjelang Muktamar ke-27 NU pada 1984 di Situbondo, hingga era 80an ketika Gus Dur menjabat sebagai Ketum PBNU.
Muktamar di Situbondo itu adalah peristiwa penting: ia menjadi “titik balik” dalam sejarah NU, sebab inilah muktamar yang ditandai dengan sejumlah hal menentukan: kembalinya NU ke khittah, meninggalkan gelanggang partai politik, diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, dan terpilihnya Gus Dur sebagai Ketum PBNU untuk pertama kali.
Bersama sejumlah anak muda yang melibatkan sosok-sosok seperti Fahmi Saifuddin (kakaknya mantan Menag Lukman Saifuddin), Slamet Effendi Yusuf, Said Budairy, Masdar F. Mas’udi, dll., Pak Bagdja terlibat aktif dalam persiapan-persiapan menuju muktamar yang fenomenal itu. Tak heran, jika pada tahun 1989, dia diserahi jabatan penting sebagai Sekjen PBNU.
Bersama Said Budairy, dia menghidupkan kembali koran Warta NU dalam bentuk tabloid. Melalui tulisan-tulisannya di tabloid inilah saya, untuk pertama kali, mengenal sosok Ahmad Bagdja. Saya membaca dan mengenal sosok ini ketika saya masih belajar di pesantren di Kajen pada 80an.
Tidak seperti sosok-sosok lain yang lebih “heboh”, entah karena pemikiran atau kiprah politiknya, Ahmad Bagdja tampil sebagai sosok yang berbeda: tenang, tidak menggebu-gebu. Tetapi analisanya atas situasi dan keadaaan amatlah tajam, berkat pengalamannya yang panjang sebagai aktivis mahasiswa di era 70an.
Siapapun yang menulis sejarah aktivisme mahasiswa di era 70an di Jakarta, jelas tidak bisa mengabaikan nama ini. Era 70an kita kenal sebagai periode konsolidasi politik Orde Baru yang penuh dengan gejolak politik (Ingat Peristiwa Malari 1974). Ahmad Bagdja tumbuh dalam era yang bergejolak seperti ini.
Ahmad Bagdja jelas memiliki latar belakang aktivisme mahasiswa yang amat kuat. Dia tumbuh sebagai aktivis mahasiswa ketika dunia kampus mengalami proses “penjinakan politik” oleh Orde Baru pada dekade 70an dan 80an. Dia sendiri kuliah di IKIP Jakarta dan pernah menjabat sebagai ketua Dema (Dewan Mahasiswa) di kampus yang terletak di Rawamangun itu. Dia juga pernah menjadi Ketua Umum PB-PMII pada tahun 80an.
Entah kenapa, ketika saya aktif di PMII DKI Jakarta pada dekade 90an, tokoh-tokoh PMII Jakarta yang menonjol adalah teman-teman dari IKIP: Isa Muchsin, Roisuddin Ilyas, Warida Ahmad, Chatibul Umam Wiranu, Hidayat R. Widatama, Yana Priyatna, dll. Teman-teman IKIP ini memang memainkan peran penting dalam aktivisme mahasiswa NU di era itu.
Pak Bagdja memang sosok yang tidak “gemebyar” tetapi jejaknya akan terus dikenang di NU, di PMII, dan di kalangan aktivis NU. Dia adalah sosok yang diam, tetapi jejaknya mendalam.
Lahul Fatehah…